“Shaum ....”
“Bapaaaakkkk...... maafkan Adi Paaakkk.....” laki-laki itu memeluk Samekto hingga berguncang-guncang.
“Adi.... ikhlaskan hatimu anakku.... kamu adalah monumen bapak yang terakhir. Hanya ada satu harapan Bapak .... jadilah kamu menjadi orang shaleh, panutan umat, jangan sombong. Kenapa? Yang berhak sombong hanya Allah .... , rendah hati terhadap guru-gurumu di pesantren. Bu.... bukankah sekarang kamu sudah jadi Kyai? Puluhan tahun merantau, mestinya sudah .....”
“Mestinya sudah .... mestinya sudaaaah..... dulu Bapak yang menyuruh aku masuk pesantren, ilmu telah banyak di otakku ..... tapi kebaikan terhadap Pak Guru tak ada di hatiku Pak Mektoooo........ aku menelantarkan Bapak, melupakan..... hhh... hhh.....”
“Doakan Bapak ... Adi ....”
“Adi doakan. Selalu Adi doakan Pak. Hari ini juga Bapak aku bawa ke rumahku. Biar Bapak tetap menjadi pelita hidupku ..... “
“Seandainya aku punya anak kandung .... anak sholeh .... akan kuminta jariyah doa...”
“Aku anakmu Pak Guruuuuuuuuuu!!!! Anak kandungmuuuuu!”
“Bapak tak dipercaya Allah untuk mengasuh anak kandung.”
“Jangan bicara begitu Bapaaak.... aku... aku... Adi, anak kandung Bapak .... jariyah untuk Bapak..... Bapak yang telah menjadi washilah bagi aku untuk mengenal ilmu agama yang dalam dan luas, semua karena Bapak. Aku adalah pikiran Bapak. Aku adalah jiwa Bapaaak.....”
“Adi ...... Di ....... “ kata-kata Samekto melemah. Adi Kartiko menggenggam telapak tangan gurunya. Wajah Adi terhenyak. Telapak tangan yang digenggamnya berubah jadi dingin. Anyep.