Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Remaja: Vi, Kunanti Senyummu di Semarang

26 September 2016   00:55 Diperbarui: 27 September 2016   20:10 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kre-pri: Sumber foto asalasah.com

Pukul setengah lima sore terdengar peluit panjang.

Latihan usai. Livia berjalan gontai kepinggir lapangan. Ketika bermain basket tadi, kelihatan energik. Namun kali ini tampaknya tenaganya habis. Maklumlah, ini adalah latihan terakhir untuk menghadapi turnamen dua hari mendatang. Biarpun ia masih kelas X, tetapi kemampuannya cukup menarik pembina untuk dimasukkan ke dalam tim, walaupun masih sebagai tim pelapis. 

Vi, demikian gadis itu biasa dipanggil, mengeluarkan handuk kecil. Tangannya mengelap wajah yang basah oleh keringat secara perlahan. Setelah itu air mineral di dekatnya ditenggaknya beberapateguk.

“Vi!” ada suara memanggil. Gadis itumenoleh.

Dari luar pagar kawat, seorang pemuda tanggung tersenyum sambil kedua tangannya memegang ram kawat. Wajahnya ditempelkan di ram tersebut.

“Apa Kak?” tanya gadis itu ke kakak kelas yang duduk di kelas XI.

“Capek ya?”

“Enggak.”

“Mau aku antar?”

“Nggaak... aku bawa motor!”

“Mudah-mudahan motornya mogok!”

“Iiiiih... apaan sih?!”

“Ntar kalau mogok kan aku bisa boncengin Livi!”

“Iiih enggak mau, malu.”

“Kenapa!”

“Aku mandi keringat niiih.....”

Gadis itu tidak menimpali lebih lama. Iabergegas keluar lapangan basket meninggalkan Haryo, pemuda tanggung tadi, yangmasih berpegangan ram kawat pagar lapangan basket. Vi tidak peduli. Gadis itu langsung menuju ke rest-room untuk membersihkan badan.

Selang seperempat  jam Vi mengeluarkan motornya dari halaman sekolah. Keluar gerbang ia langsung tancap gas menuju rumahnya di Simpeureum. Sekitar satu setengah menit, laju motornya sampai didepan Bank BJB. Gadis itu kaget, ia melihat Haryo di pinggir jalan sedang kerepotan mengeslah motornya. Gadis itu minggir.

“Hallo Kakaaak! Hihihi..... doanya terkabul!” kata Vi menyindir. Haryo menoleh. Demi melihat yang berkata Vi, ia hanya  mendesah dan menggeleng.

“Yaaah...... “

“Makanya jangan suka usil sama orang lain. Mentang-mentang kakak kelas, ke adik kelas seenaknya.”

“Yaaaaaahhh......” sahut Haryo lebih panjang dari yang pertama.

“Selamat berjuang Kak Haaaar! Semoga sukses!” kata Vi sambil tertawa puas.

“Iya.. iya makasih doanya! Ikut nebeng dong!” kata Haryo sambil nyengir.

“Ogah! Nggak!”

“Ntar aku doakan kaya tadi!”

“Doanya akan mbalik tahu! Malah kakak yang mogok!”

“Nggak apa-apa! Aku doakan nanti malam Vi memimpikan Haryo!”

“Huuuuh...... enak saja.”

“Ya enak lah, kalau doanya mbalik, kan aku yang memimpikan Livi! Heheee! Mau dong!”

“Aaaah.... curang! Curang! Sudahlah! Terserah!” kata Vi sedikit ngambek sambil mukanya kelihatan memerah.

“Heheee!” 

Kali ini Vi benar-benar meninggalkan Haryo yang masih sibuk dengan motor mogoknya.  Dari spion gadis itu melihat Haryo memandangi dirinya hingga hilang dari pandangan. Gadis itu sebenarnya ingin menemani, tetapi ia berfikir keterlaluan jika demikian.

***

Pagi hari jam istirahat di Perpustakaan Ganesha SMAN 1 Majalengka. 

Habis makan bakso ia mampir di perpustakaan.Ia membawa satu buah buku di tangannya. Masuk ke perpustakaan pukul sepuluh, hanya beda sedikit dengan jam-jam lainnya. Artinya pengunjung sedikit. Minat baca turun. Baca buku kalah dengan mainin gadget. Hanya orang-orang tertentu saja lah yang dengan kesadaran sendiri mau berkunjung ke perpustakaan untuk mencari tambahan pengetahuan dengan referensi tambahan. Dulu istilahnya kutu buku.  Sekarang jarang sekali siswa yang menyandang gelar itu. 

Vi, mungkin gadis inilah yang layak disebut kutu buku. Kesukannya kepada membaca tampak sejak ketika mulai masuk ke SMA.

“Liviiiiii.......” ada suara berbisik disampingnya ketika Vi sedang memilih buku bacaan.

“Aaaa... aduuuh.... kak Haryo!”

“Ssst... bicara nggak boleh keras-keras.”Kata Haryo seraya memberi isyarat telunjuk di bibirnya.

“Mau cari buku apa?”

“Nggak cari apa-apa, cuma mau nememin anakbasket.”

“Uuuh.... sebel!”

“Ya sudah mau nememin anak penggila buku,si kutubuku!”

“Uuuuh.... sebel!”

“Ya memang, aku sangat suka samakutubuku....”

“Bener suka?”

“Iya! Bener.”

“Mau nemenin kutubuku sejati?”

“Ya mau laaaahhh......”

“Itu .. tuuuh .... di dekat meja kerja,noooh ..... kutubuku sejati! Ibu perpuuus!” kata Vi sambil menunjuk ke arahibu-ibu pengelola perpustakaan. 

“Ya ampuuunn! Liviiiii!” kata Haryo sambil menepok jidatnya. Vi terkekeh melihat kelakuan Haryo menepok jidat. 

Dengan gontai Haryo menjauh dari gadis itu.Ia mengambil kursi kemudian duduk sambil membuka HP-nya. Vi melirik sekilas. Gadis itu menghela nafas dalam, kemudian menggeleng-gelengkan kepala. Setelah mendapatkan buku yang dicari, Vi mengambil duduk di depan Haryo.

“Itu yang aku nggak suka dari Kakak!” kataVi berbisik.

“Apa?”

“Di perpus itu membaca. Mem-ba-ca! Bukan main HP!”

“Dan di perpus itu boleh jadi penasehat!Pe-na-se-haaat!”

“Uuuh... sebel!” Vi manyun kesal.

“Hehehe... maaf ....maaaf Vi, bercanda.”

“Hmh!” 

“Mau baca atau apa?”

“Mau pinjam saja Kak...” kata Vi sambilbangkit.

Ketika Vi beranjak, bergeser dari kursi, tanpa sengaja ada sebuah benda terjatuh keluar dari dalam buku yang dipegangnya. Haryo melihatnya.

“Viiii.... tunggu..... ini apa?” kata Haryo seraya jongkok sambil mengambil benda yang jatuh. Ternyata selembar foto.

“Ooo.... ah apa? Ih itu .... foto.”

“Tadi terjatuh dari bukumu.”

“Iya sini Kak. Makasih ya.”

“Eit ntar dulu. Boleh kan lihat sebentar?’

“Mmm boleh, tapi sebentar saja lho!”

Kre-pri: Sumber foto asalasah.com
Kre-pri: Sumber foto asalasah.com
“Ini foto ... aduuuh Viiii......cantik-cantik banget.”

“Iya. Cantik ya Kak?”

“Ya cantik ya gagah juga... keren banget pokoknya!”

“Aku pantas jadi kaya gitu nggak Kak?”tanya Vi sambil mengulurkan telapak tangan meminta foto tiga orang polwan.

“Ntar dulu ... aku mau nanya dulu. Dudukdulu lagi Vi.”

“Ini hampir masuk Kak.” Kata Vi sambil menunjuk  jam tangannya.

“Lima menit.”

“Apa sih?” tanya Vi yang terpaksa duduk kembali.

“Livi kayaknya ingin jadi polwan ya?”

“Bangeeet......” kata Vi dengan wajah ceria. Haryo tersenyum sambil menggeleng.

“Satu syarat sudah terpenuhi!” kata Haryo membuat Vi terhenyak.

“Syarat yang mana?”

“Mmmh.... mmmh.... “

“Ayo ngomong syarat yang mana?”

“Cantiiik...... ini syarat pertama jadi polwan. Cantiiiik.... hehe... “ kata Haryo seraya menyerahkan gambar tiga polwan cantik, kemudian sambil terkekeh-kekeh berlari meninggalkan Vi yang memerah wajahnya.

Vi tak hendak mengejar Haryo yang sudah melangkah ke luar ruangan, sementara ia harus mencatat buku yang akan dipinjamnya.

Malam hari usai belajar, Vi termenung. 

Gambar tiga polwan cantik memang telah mampu menginspirasi dirinya untuk menjadi polisi. Perlahan ia mendesah. Ia masih punya gambar lain tentang polisi. Gambar  salah satu bagian dari Akademi Kepolisian Semarang. Di depan salah satu ciri nomen klatur, Akademi Kepolisian, dengan barisan taruna-taruni yang menakjubkan.

Vi beranjak dari duduknya. Ia menyeret kursi di depan cermin lemari baju. Ia pandangi wajah dirinya di cermin. Akankah suatu saat aku bisa jadi seperti mereka.....? Gumamnya. Ia berfikir ibaratnya membangun sesuatu, ia harus memulai membangun pondasi. Sebagian telah ia lakukan. Latihan fisik. Vi memang hobby olah raga, terutama basket, jogging dan bersepeda. Membaca, hobby yang melatih refleks saraf otaknya untuk merespon stimulus yang datang. Nilai rapor, telah mulai dirintis dengan minimal rata-rata di atas 7. Nilai UN harus di atas 7 pula, ia telah memasang target dengan menanamkan optimisme yang tinggi. Syarat apa lagi?

“Cantiiik...... ini syarat pertama jadipolwan. Cantiiiik.... hehe... “

Vi tersenyum. Ia melihat wajah sendiri. Wajah Haryo terbayang. Ia tahu, pemuda itu tengah menemukan sebuah kesempatan untuk memuji dirinya. Aaah...., Vi mendesah. Pemuda kakak kelasnya itu memang menyenangkan. Periang. Suka bercanda. Namun datar. Artinya, tak ada riak-riak sebagaimana  layaknya persahabatan antara cowok dan cewek. Tak ada upaya intens. Hanya sesekali kakak kelasnya itu menggoda. Ya seperti tadi siangmengatakan dirinya cantik. Namun dirinya tidak terlalu berfikir atau merasakan secara dalam. Itulah yang disukai Vi, konsentrasi belajarnya full.  Ia tak mau obsesinya memenuhi persyaratan mendaftar ke akademi kepolisian berantakan gara-gara sesuatu yang saat ini belum terlalu penting. Belum terlalu penting? Vi sadar, dirinya masih ABG banget. Baru kelas X SMA. Inilah sebuah kesadaran yang diyakini Vi sendiri akan memperlancar upayanya meraih cita-cita.

***

Akhir Juni 2015.

Sekolah ramai. Orang tua datang mengambil rapor para putra-putrinya. Hari itu kenaikan kelas. Sebuah hari yang monumental bagi seluruh siswa.Sebagian siswa langsung ikut pulang, sebagian orang tua meninggalkan putra-putrinya untuk melanjutkan aktivitas lain di sekolah. Demikian pula Vi. Ruangan kelas X MIPA 4 akan segera ditinggalkan. Di kelas XI tentu harus bersiap mental untuk melakukan penyesuaian dengan teman-teman baru,karena akan dilakukan penyusunan ulang kelas.

Vi, kakak tunggu di depan grahaOSIS..... “ tiba-tiba ada SMS dari Haryo.

Keluar kelas gadis itu berlari kecil menuju tempat yang disebut Haryo. Dari jauh Vi melihat kakak kelasnya sudah menunggu di taman dengan meja dan bangku batu.

“Hai Kak! Tumben jauh-jauh dari timur kesini!”

“Hehe.. iya! Ayahmu sudah pulang?”

“Sudah .... noooh lihat, itu ayah, di depan ruang BK.”

“Kamu nggak ikut pulang?”

“Nggak. Tadinya sih mau pulang bareng ayah, tapi ada keperluan.” Kata Vi sambil duduk di bangku batu.

“Oh maaf, kalau ada keperluan ... aku mengganggu ya?”

“Ah ya enggak laaah.... keperluanku kan nemuin Kakak!”

“Aduuuuhhh......” kata Haryo sambil menepok jidatnya sendiri. Vi tertawa.

“Kenapa?”

“Sampai sekarang belum bisa juga menebak ,siapa Vi yang sesungguhnya.....”

“Aneh ya?”

“Unik. Nggak ada duanya!”

“Uuuuh... biasa .... memuji! Ada apa sebenarnya sih Kak?”

Ditanya begitu Haryo tak segera menjawab. Kedua telapak tangannya ditutukan ke wajahnya hingga beberapa jenak. Vi penasaran melihat polah Haryo.

“Kakak kenapa? Kak? Sakitkah?”

“Vi ...." kata Haryo sambil menurunkan tangannya.

“Ada apa Kak?”

“Livi suka naik ke kelas XI?”

“Iiih aneh, kenapa nanya begitu?”

“Suka nggak?”

“Suka laaah Kak, bersyukur.”

“Beda dengan aku Vi .... kenaikan kelas kali ini bagi aku adalah kenaikan kelas yang hambar.”

“Kenapa? Kak Haryo turun  peringkat? Nggak masuk lima besar lagi?!”

“Bahkan Vi,  bahkan lebih dari itu Viiii...” 

“Maksudnya?”

“Ini .... hari ini adalah Smansa adalah SMA-ku yang terakhir.”

“Maksudnya?”

“Smansa bagi Haryo hanya sampai kelas XI. Kelas XII, aku bukan lagi menjadi anak Smansa ....”

“Kak? Kak Haryo.... apa maksudnya?”

“Aku harus pindah sekolah Vi.” kata Haryo sambil tertunduk.

“Pindah sekolah? Ke mana?”

“Jauh Vi .... ke Purwokerto.”

“Kakaaak.... Pur... wo ... ker ... to....kenapa Kak?”

“Ayahku pindah tugas. Mau apa aku sebagai putranya?”

“Tapi Kak, biarlah  ayah pindah tugas ... Kak Haryo di sini saja ....”

“Surat pengantar pindah sudah jadi.”

“Och!”

“Inilah hari terakhir aku menikmati  suasana Smansa. Smansaku yang masih aku rasakan baru beberapa hari aku miliki. Di Smansa ini aku punya adik kelas yang lucu, yang cita-citanya tinggi, namun berat ..... polisi!”

“Kak...”

“Vi, Livi harus konsentrasi penuh dalam meraih cita-cita. Livi... Livia ... Livia Agustin, hmmm ... anak yang lucu. Kamu masih kecil, nggak boleh pacaran dulu. Perjuangan meraih status polisi sangat berat Vi, syarat administrasi ...... beraaat. Jangan pacaran dulu ya Vi. Jangan rusak konsentrasi belajarmu.”

“Kaak....”

“Jangan pacaran dulu ya?”

“Kak....”

“Jawablah iya adikku yang cantiiik.....”

“Iiii... iya ...”

“Alhamdulillah. Vi, semoga sukses menyertaimu....”

Haryo benar-benar pergi.

Hari itu  merupakan hari yang sangat membuat Vi gelisah. Kepergian Haryo hari itu serasa membuat setengah hatinya hilang. Ada sebuah semangat yang hilang dalam dirinya. Senyum Haryo, canda Haryo, kedewasaan Haryo dalam berprinsip, ya, Vi kehilangan itu semua. 

Jangan pacaran dulu Vi.”  adalah sebuah pesan yang sangat indah. Hanya kedewasaan yang mengucapkanlah yang sanggup mengatakan itu di atas semua kepentingan. Vi berfikir bahwa Haryo adalah sosok calon laki-laki yang ideal. Pesannya sangat sederhana, namun sangat dalam. Haryo hanya menginginkan ia berkonsentrasi dalam mengejar cita-cita.

Kak Haryooo .... seandainya Kakak tahu,Vi mencintai Kakak.....” gumam gadis itu di depan cermin.  Bibir gadis itu bergetar. Matanya terasa panas.  Seperempat sekon kemudian air mata gadis itu meleleh menuruni pipi. Perlahan Vi menyeka dengan punggung tangannya.

 

***

 

Hingga sekarang Vi duduk di kelas XII, perpisahan dengan Haryo menginjak masa sekitar dua tahunan. Waktu selama itu tak ada kontak dengan Haryo. Hanya sesekali. Di tengah kenangan dulu pernah bersama, Vi semakin sadar bahwa perjuangan untuk menembus Akpol Semarang bukanlah gurauan. Ini adalah sebagian dari hidup yang sesungguhnya. Cita-cita harus diformat dari sekarang. Nasehat Haryo dulu sekarang ia rasakan kebenarannya.  Betapa ringan beban dirinya tanpa mempunyai sahabat lebih yang oleh Haryo disebut sebagai pacar. Pretasi harian bagus. Kadang-kadang ia ingin mengucapkan terima kasih kepada pemuda itu, tetapi selalu urung. Iapun tak ingin mengganggu Haryo yang kini telah menjadi mahasiswa Undip.

April 2017.

Usai mengikuti UN jiwa Vi terasa ringan. Plong. Tak ada beban. Prestasi periodik semesteran selalu bagus. Fisik semakin kuat dengan berolah raga. Gadis itu kini tinggal menanti gong terakhir : Hasil UN 2017. Mudah-mudahan melewati passing-grade untuk pendaftaran keAkpol, begitu doanya setiap saat.

Akhir bulan mendadak Vi berbunga-bunga hatinya ketika keluarganya berencana mengadakan perjalan ke Jawa melewati Semarang. Iseng-iseng ia katakan kepada keluarganya ingin menengok calon kampusnya. Dan paling menyenangkan baginya adalah Haryo. Dua tahun terakhir hubungan dengan Haryo hampir tak ada. Namun kali ini bagi  Vi, nama Haryo seakan hidup lagi.  

Sore itu Vi menelpon Haryo.

“Kakaaak..... kangen nih!”

“Alhamdulillah Viiii...... bisa dengar suara adikku ini. Gimana UN,  gampang nggak?”

“Insya Allah Kak. Perjuangan di Smansa tanpa gangguan. Lancaar... sukseeess! Tinggal nunggu hasil UN. Optimis Kak!”

“Syukurlah. Vi belum punya pacar ya?”

“Bener Kak .... nggak punya pacar itu rasanya enteeeeng bangeeet!”

“Hehe.. syukurlah!”

“Kak!  Akhir bulan keluargaku mau lewat Semarang.”

“Oh? Benarkah Vi? Aku tunggu di SimpangLima ya .... ntar aku beritahu tempatnya!”

Simpang Lima Semarang, suatu sore.

Usai menemui keluarga Vi yang beristirahat di Holiday Inn jalan Ahmad Yani, Haryo mengajak gadis itu ke Simpang Lima. Sebuah pusat keramaian yang sangat ikonik dengan kota Semarang. Di sebuah kedai Baso Lapangan Tembak keduanya ngobrol.

Begitu keduanya duduk berhadapan, Haryo tersenyum terus tak henti sambil menatap Vi yang memerah wajahnya.

“Ngapain ngeliatin terus?”

“Kangeeennn... Viiiii....... dua tahun Vi. Adikku semakin cantik saja ....”

“Gombalnya nggak hilang-hilang!”

“Hehe... habisnya aku harus ngomongapa?  Vi  memang  cantik.”

“Terserahlah....”

“Belum punya pacar ya?”

“Sesuai nasehat Kakak. Bener Kak, nggak punya pacar itu rasanya enteng di pikiran. Belajar jadi enak ... wah nyaman pokokna mah!”

“Andai saja semua siswa SMA nggak mikirpacaran dulu ... wuuu.... Smansa bakal bersinar lagi kayaknya!”

“Hihihi.... coba saja Kak Haryo jadi kepala sekolahnya! Larang semua siswa berpacaran!”

“Hahaaa.... itu bagus. Tapi bagi aku, cukuplah satu orang yang aku larang pacaran!”

“Hihihiiii... nah Kak Haryo sendiri ....sesudah lepas SMA punya pacar nggak?”

Ditanya begitu Haryo terbahak. Vi tersenyumnggak jelas. Terbawa tawa Haryo begitu saja. 

“Kan larangan itu kan cuma untuk Vi. Iyakan? Apakah Livi pernah melarang aku pacaran nggak? Nggak kan?”

“Ngggg..... jadi Kak Haryo sudah punya pacar?” tanya Vi berbalik.

“Viii.... mungkin hari ini, mumpung ada kesempatan bertemu, aku akan kenalkan pacar Kakak ya?”

Dijawab seperti itu mendadak wajah Vi layu. Keceriaan yang semula tampak hilang. Bibir gadis itu terkatub. Hatinya merasa kecewa. Namun ia berusaha untuk menyembunyikan perasaannya.

“Viii.... kenapa?” 

“Nggak... nggak apa-apa....”

“Ya sudah, kalau Vi nggak apa-apa, aku harap apapun yang terjadi, persahabatan Vi dengan Haryo jangan putus. Oke?”

“Ngg....” suara Vi tertahan. Ada bebanberat di dadanya.

“Viii..... lihatlah ..... silakan lihat di galery, foldernya impianku.” kata Haryo sambil perlahan menyodorkantabulet ke hadapan Vi.

Dengan muka tegang dan hati enggan, ia mengklik galery-impianku. Klik! Folder Impianku terbuka. Vi kaget. Dadanya bergetar. Di dalam folder itu ada folder lagi Bunga dari Simpeureum. Simpereum adalah nama desa tempat tinggalnya.

“Kak? Apa maksudnya Simpeureum?”

“Buka lagi!”

“Kaak... Kakkk.... inii.... gambar siapa?”

“Ya... itulah bunga Simpeureum, impianku. Itulah.... itu gadis yang aku impikan menjadi kekasihku.”

“Kak...” tertahan kalimat Vi. Lehernya serasa susah untuk menelan. Haryo melihat perubahan wajah Vi. Ia menyodorkan minuman.

“Minum dulu Vi .... ayooo...” kata Haryo pelan. Vi menerima gelas kemudian meminum isinya.

“Kenapa harus gambar-gambarku?” tanya Visetelah tenggorokannya lega.

“Karena aku menyukainya.”

“Hmh...”

“Vi ini fotomu yang paling aku suka. Maaf aku mengambilnya tanpa sepengetahuanmu. Pernah suatu saat, Vi bersepada, aku ikutin. Ternyata Vi ke pasar Cigasong. Belanja sayur mayur. Ya Alloh! Vibelanja. Feminim banget Vii... aku suka Vi. Gadis remaja SMA belanja, feminim bangeet. Itu yang dulu mengacak-acak hati Haryo sulit melupakan Vi. Haryo bangga banget waktu itu. Vi masih ingat nggak ketika dulu di sekolah aku nanya: Livi bisa masak nggak? Ingat nggak Vi?”

“Iya, ingat.” 

“Alhamdulillah. Waktu itu jawabanmu apa Vi?”

“Bisa.”

“Masak apa?”

“Nanak nasi, sayur asem, lodeh, mendoan tempe, ceplok, dadar telur ... banyak.”

“Itulah Viiii..... waktu itu kamu nggak tahu kan, waktu kamu pergi aku ngomong  yess!!  Sambil mengepalkan tangan,begini!” kata Haryo memperagakan. Vi menggeleng.  Mukanya merah.

“Kakak berlebihan.”

“Nggak Vi, aku wajar. Hampir menjadi impian seluruh suami adalah, istrinya pinter masak. Tak pandang itu istrinya wanita karier atau bukan. Ada saat-saat indah bersama keluarga menikmati masakan istri....”

“Sejauh itukah pikiran Kakak?”

“Ya sejak dulu Vi, hanya saja aku nggak pernah ngomong. Aku sekarang membayangkan, seorang polwan, cantik, pinter masak untuk suami. Uuuuh.... sempurna!” kata Haryo sambil tersenyum menatap Vi yang semakin tersipu-sipu.

Gambar selanjutnya adalah kegiatan ketika gadis itu bermain basket. Puluhan gambar ada di situ. Gambar-gambar dirinya membuat Vi tak bisa berkata-kata, speechless. Bibit cinta yang dulu pernah ia miliki, hari ini sebagaimana layaknya kecambah di musim hujan. Begitu cepat mekar dan berkembang. 

“Maafkan Haryo telah mengambil gambar-gambar ini tanpa ijin dari Vi .....”

“Nggak apa-apa Kak.”

“Mudah-mudahan keterusteranganku kali ini tak mengganggu perjuangan Vi di SMA. UN sudah selesai .... tapi ....”

“Tapi apa Kak?”

“Harapan Kakak yang tak akan pernah selesai....”

“Harapan apa Kak.”

“Vi, Livia .... , harapan untuk selalumenikmati senyum Livi. Vi, kunanti senyummu di Semarang.”

Hingga beberapa lama gadis itu diam. Bibirnya terkatub. Ia bisa memaknai apa yang dilakukan Haryo yang menaruh harapan besar terhadap dirinya. Vi sendiri begitu respek terhadap Haryo yang telah selama dua tahun ini tak mengganggu dirinya hingga dapat berprestasi di sekolah.

“Perjuangan menuju Semarang berat banget Kak, Akpol tidak main-main. Kondisi yang paling pahit adalah, seandainya Vi kehilangan harapan gagal masuk Akpol.”

“Seandainya Vi gagal masuk Akpol, Haryo akan tetap menanti senyum Vi  di Semarang, biarpun akhirnya di kota manapun Vi akan berlabuh untuk melanjutkan pendidikan.”

“Kak....”

“Haryo akan tetap menanti waktunya, disuatu saat senyum Vi akan menjadi milik Haryo .... akan menjadi milik Haryo selamanya .... lima atau enam tahun lagi...” kata Haryo perlahan. 

“Kaak... “ kata-kata Vi benar-benar terhenti.

“Livi yang Haryo kagumi sejak dulu ....sejak kelas X, Vi yang Haryo cintai ....”

Mata Vi terasa panas. Air matanyam engembang. Gadis itu benar-benar tak menyangka, pertemuan di Semarang telah memberinya harapan yang semula hampir terkubur. Haryo yang konsisten mengantar dirinya berprestasi dengan tak mengganggunya selama belajar.

Vi ingat benar ketika dulu Haryo pindah sekolah, ia pernah berucap dalam gumam “Kak Haryooo .... seandainya Kakak tahu, Vi mencintai Kakak.....”.  Kini Haryo telah menyatakan rasa kagumnya, juga rasa cintanya. Namun ia masih belum bisa berkata-kata.

“Maafkan aku Vi .... jika Vi tidak berkenan, delete-lah gambar-gambar di tabulet ini. Terima kasih gambarini telah menemani aku selama dua tahun. Hapuslah Vi ..... hapus ....”

“Tidak Kak, tidak perlu dihapus. Simpanlah jika Kakak suka .....”

“Suka... suka, akan aku simpan. Bersama senyum Vi? Boleh ya?”

“Yah.”

“Alhamdulillah Viiii....bener ya Vi ..... “ kata Haryo sambil mengulurkan tangan mengajak salaman. Gadis itu perlahan menerima uluran tangan Haryo.

“Vi .... jadi apapun kelak Vi nantinya, buatkan masakan  untuk Haryo .... ya?”

“Insya Allah.....” 

Vi melihat betapa bahagia wajah Haryo. Bagi dirinya, rasanya tak kuasa untuk menyatakan cinta kepada pemuda itu saat ini. Vi, gadis yang cukup bisa menjaga diri untuk mengucapkan sekedar kata cinta.Yang paling penting, Haryo adalah pemuda yang cerdas, yang bisa menterjemahkan kata-kata, yang di dalamnya terdapat ungkapan cinta. Dan Haryo tahu, Vi juga mencintai dirinya. ***

 Majalengka , 24 September 2016

 

 * Request Livia Agustin H - XII MIPA6  2016/2017

 

Sumber gambar Akpol pic 1

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun