“Bisa.”
“Masak apa?”
“Nanak nasi, sayur asem, lodeh, mendoan tempe, ceplok, dadar telur ... banyak.”
“Itulah Viiii..... waktu itu kamu nggak tahu kan, waktu kamu pergi aku ngomong yess!! Sambil mengepalkan tangan,begini!” kata Haryo memperagakan. Vi menggeleng. Mukanya merah.
“Kakak berlebihan.”
“Nggak Vi, aku wajar. Hampir menjadi impian seluruh suami adalah, istrinya pinter masak. Tak pandang itu istrinya wanita karier atau bukan. Ada saat-saat indah bersama keluarga menikmati masakan istri....”
“Sejauh itukah pikiran Kakak?”
“Ya sejak dulu Vi, hanya saja aku nggak pernah ngomong. Aku sekarang membayangkan, seorang polwan, cantik, pinter masak untuk suami. Uuuuh.... sempurna!” kata Haryo sambil tersenyum menatap Vi yang semakin tersipu-sipu.
Gambar selanjutnya adalah kegiatan ketika gadis itu bermain basket. Puluhan gambar ada di situ. Gambar-gambar dirinya membuat Vi tak bisa berkata-kata, speechless. Bibit cinta yang dulu pernah ia miliki, hari ini sebagaimana layaknya kecambah di musim hujan. Begitu cepat mekar dan berkembang.
“Maafkan Haryo telah mengambil gambar-gambar ini tanpa ijin dari Vi .....”
“Nggak apa-apa Kak.”