Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Tamu dari Perbatasan

15 Juni 2016   23:13 Diperbarui: 27 Oktober 2017   23:46 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
nasional.republika.co.id

Malam terakhir pelatihan di Bandung merupakan hari yang menyenangkan bagi Riris, guru muda di SMA 1506 Banyumas. Bagaimana tidak? Lima hari meninggalkan buah hati yang masih berumur dua tahun adalah merupakan siksaan batin yang cukup berat.

Kartika, buah hatinya. Gadis cilik yang lucu sedang manja-manjanya.  Tak bisa diam. Ingin selalu main ke mana saja. Sebagai ibu, tentu Riris mengikuti permintaan. Tak ada kata enggan dalam kamus kasih sayangnya.  Kecuali ketika lima hari yang lalu hendak berangkat ke Bandung, ia harus ngrerepa,harus ngabebenjokeun, dan dengan berat hati sedikit berbohong demi kebaikan.

“Tika cantik, ibu pergi dulu sebentar ya? Tika dengan nenek dulu .... ibu nggak akan lama kok!” kata Riska ketika hendak meninggalkan rumah.

“Ibuuu ...”  anak kecil itu hanya bisa mengucap singkat dengan senyuman lucunya sambil membelai pipi ibunya.

“Iya sayang....” kata Riris seraya memeluk anaknya dengan penuh perasaan. Tak terasa air matanya menitik.

Begitulah ketika ia meninggalkan buah hatinya. Tapi hari ini telah kembali berkumpul.

Ketika buah hatinya tidur, ia pandangi gadis kecil itu. Wajahnya polos. Makhluk kecil yang suci tanpa dosa. Nafasnya teratur. Bibirnya yang mungil kadang tersenyum dalam tidurnya. Riris ikut tersenyum. Dengan lembut ia cium dahinya. Getaran kasih sayang dalam dirinya semakin dalam, ketika bibirnya mengecup kulit anaknya yang lembut. Tak puas, kini ia cium pipi kedua anaknya dengan lembut, perlahan.

“Ibuu... ibuu...” Riris terhenyak mendengar gumam Kartika. Gadis cilik itu masih tidur.

“Iya sayang, ini ibu di sini sayang ..... “ ucapnya sambil mengelus-elus sinom,bulu-bulu halus  di batas dahi dan rambut kepala.

Beberapa jenak kemudian ia ikut tiduran di samping anaknya. Ketika dirasakan anaknya telah semakin terlelap dalam tidurnya, perlahan ia bangkit. Membetulkan selimut anaknya, kemudian duduk di pinggir tempat tidur.

Riris menoleh ke arah HP yang tergeletak di meja. Nafasnya dihelanya dalam-dalam. Hatinya gelisah. Ada apa dengan suaminya? Telah seminggu lebih tak ada berita dari suaminya. HP-nya tidak aktif.

***

Perbatasan Indonesia Malaysia. Entikong.

Tiga pos perbatasan, Entikong, Badau dan Aruk. Perbatasan di Entikong ini merupakan yang paling ramai. Tahun ini bahkan sedang dilaksanakan pelebaran jalan di perbatasan. Pemerintah bahkan menargetkan tahun akan berkondisi lebih ramai dibanding wilayah Malaysia. Kondisi dilematis sebenarnya ketika di wilayah ini banyak beredar barang-barang dari Malaysia. Hal ini memang sedikit masuk akal, sebab pasokan barang-barang kebutuhan, yang mungkin hanya dipasok dari pulau Jawa tersendat.

Di wilayah inilah Tamtomo, suami Riris bertugas.

Sebagai bhayangkara negara dengan penuh tanggung jawab ditempatkan di garis depan menjaga kedaulatan negeri ini. Jauh dari keluarga adalah resiko yang telah menjadi pilihan hidupnya. Hidup di daerah perbatasan yang tentu penuh dengan masalah, baginya sudah ia pahami. 

nasional.republika.co.id
nasional.republika.co.id
Bahkan  dengan Malaysia yang menjadi masalah cukup pelik adalah pengklaiman desa-desa wilayah NKRI sebagai milik Malaysia. 

“Kamu nggak kangen rumah Tomo?” tanya Drajat,  sesama teman dari Batalyon Cakra Bhuya di kantor piket.

“Ya kangen laaah..... pingin pulang.”

“Aku kira kamu tegar seperti aku. Bahkan aku mau ditugaskan hingga pensiun di sini juga tenang-tenang saja!” kata Drajat sambil tertawa. Tamtomo ikut tertawa.

“Huuuuh.... dasar jomblo! Kamu bisa ngomong kaya gitu, habisnya kamu bujangan lapuk sih. Nggak ada yang menanti kepulanganmu. Nggak laku-laku! Hahaaa!”

“Nggak laku-laku? Memangnya aku barang dagangan ya?”

“Mirip! Hahaa!”

“Wuah!”

“Ah kamu ini Jat, Jaat! Beginilah, kalau mau ditempatkan di sini hingga pensiun .... aku ada usul!”

“Apa itu?”

“Cari saja istri orang Entikong!”

“Nggaaak!”

“Kenapa?”

“Kamu tahu nggak? Aku sudah punya calon di Banyumas lho!”

“Calon apa maksudmu?”

“Calon istri lah!”

“Kamu sudah punya pacar?”

“Belum!”

“Haduuuuuh..... Jat, Jat! Gimana kamu ini mah!”

“Ya punya calon, aku naksir gadis sono, cuma dianya nggak mau! Ragu, katanya.”

“Oalaaah .... bertepuk sebelah tangan ya?”

“Mirip! Sebenarnya dia punya alasan menolak, eh buka menolak sih, masih menunda. Sepertinya dia masih ragu menjadi istri tentara.”

“Haduuuuh ..... itu pacarmu Jat! Waahhh... kamu sih nggak ngasih dia ceramah agama! Bilangain ke orang yang kamu sukai itu, istri, suami, jodoh itu bukan urusan karena dia tentara atau bukan. Jodoh itu ya urusan Tuhan.  Jangan jadikan alasan dia nggak mau jadi istrimu karena kamu jadi tentara. Bilang saja kalau dia itu memang dia tidak suka sama kamu!”

“Oooo gitu ya?”

“Yaiyalaaah! Itu hanya penolakan halus. Coba saja Jat, kamu resign dari militer, kamu dagang saja misalnya, kira-kira dia sama kamu nggak?”

“Nggak tahulah .... tapi memang sih saya lihat DP di HP-nya gambar aktor Korea!”

“Hahahaaa!!!” tiba-tiba Tamtomo terbahak keras. Drajat mengernyitkan dahi.

“Kenapa ngakak?” tanya Drajat heran.

“Tahu aku.... aku tahuuu permasalahan yang sebenarnya hahaaa!”

“Apa? Apa? Beritahu aku Tomo! Kamu kan sahabatku!”

“Pacarmu itu menolak halus kamu, bukan karena karena kamu tentara! Yakini itu!”

“Lah kenapa?”

“Kamu kurang tampaaan! Hahaaa!”

“Haduuuuuhhhhhh..................... .... setega itukah gadis itu padaku? Paringono kiyat Gustiiii......” kata Drajat dengan wajah menguyu. Dia bersandar di punggung kursi. Matanya melihat kosong ke depan.

“Itu masalah aslinya Jat, dia nggak mau sama kamu karena kamu kurang tampan. Cuma dia mau mengatakan langsung ke kamu tidak tega. Kamu harusnya peka, ketika dia pasang aktor korea yang tampan-tampan, kamu nggak merasa sedang dibanding-bandingkan?”

“Memang iya siiih....”

“Iya apanya?”

“Aku kurang tampan ... hhhh ...nasiiib.....”

“Hahaaa!  Maafin aku Jat, aku cuma bercanda kok! Nggak usah risaukan jodoh, semua orang sudah punya jodoh. Dulu, di alam arwah sebelum terlahir di dunia, manusia sudah dijodohkan Tuhan. Ketika terlahir di dunia, suatu saat dipertemukan, hatinya saling tergetar dengan lawan jenis itu.... memang karena dia merasa bahwa dulu di alam arwah pernah bertemu ..... di dunia ketemu lagi. Episode lanjutan Jat. Pahami itu!“ kata Tamtomo sambil tertawa.

“Kok omonganmu dalam sekali Tomo?”

“Ya ilayaah ... turunan ustadz!”

“Alhamdulillah ... kalau begitu nanti aku bakal banyak tanya ya Tom!”

“Hahaa!”

Drajat diam sejenak, kemudian menyeruput kopi yang masih tinggal separo. Tamtomo mengamatinya . Sebenarnya laki-laki itu merasa kasihan dengan Drajat, ya, dia tahu kisah cintanya yang sering gonta-ganti incaran, tapi belum pernah berhasil.

“Tomo! Istrimu kan guru, betul?”

“O iya, Kenapa memangnya?”

“Kenapa kamu pilih guru?”

“Aku bukan milih gurunya. Tapi aku memang dijodohkan dengan seorang guru.”

“Terus milih apanya?”

“Ya karena cinta laaah. Nah yang aku cintai itu kebetulan guru!”

“Waktu pacaran dulu, dia suka sama kamu?”

“Ya suka laaah .... karena aku ganteng hahaha!”

“Sialan kamu Tomo ... sudahlah jangan bahas masalah ganteng ah! Stress aku!”

“Gini Jat, aku suka dia suka, aku cinta dia cinta, aku siap dia siap, aku ajak nikah dia siap diajak nikah ya sudah! Mau apa lagi? Ini lhooo yang namanya jodoh. Karunia Tuhan! Kebetulan jalanku lancar.”

“Nasib.. nasib... jalanku berbelok-belok, naik-turun, berbatu, licin, becek!”

Ting! Ting! Ting!

HP Tamtomo berbunyi. Laki-laki itu melihat siapa yang mengiri. Wajahnya berubah tegang.

“Elang, rajawali tiba! Putus semua akses!”

Buru-buru laki-laki itu mematikan HP. Ia paham isi kriman SMS yang dimaksud. Setelah itu Tamtomo duduk bersandar. Tangannya menopang dagunya. Perlahan ia kepalkan tangannya.

“Ada apa Tom?” tanya Drajat melihat temannya seperti bersedih.

“Aku kangen anakku ....”

“Oooo...”

“Bener kangen. Sudah hampir enam bulan kita tugas di sini.”

“Anakmu sebesar apa sekarang?”

“Yaah... umur dua tahunan. Sedang lucu-lucunya.” kata Tamtomo sambil kembali menyalakan HP. Beberapa saat kemudian ia tunjukkan gambar anaknya di HP.

“Wuiih ... cantiiiik. Siapa namanya?”

“Kartika Dianing Ratri.”

“Ups bagus banget. Apa artinya?”

“Kartika itu bintang, atau lintang kalau basa Jawa. Dian itu lentera, penerang. Ratri itu artinya malam. Jadi, Kartika Dianing Ratri adalah Bintang Penerang di Waktu Malam. Filosofinya, ini anakku, kelak, walaupun wanita, aku harapkan bisa menjadi penunjuk arah ke jalan yang terang bagi orang-orang yang hidupnya dalam kegelapan.”

“Wuiiih .... nggak nyangka kamu sehebat itu!”

“Itu yang ngasih nama istriku kok!”

“Oalaaah ... ya sudah pujiannya aku cabut! Istrimu yang hebat!”

“Ya iyalaaah ... guru harus hebat!”

“Istrimu pasti cantik ya Tom?”

“Lihat sajaa...... niiih..... “ kali ini Tamtomo menunjukkan gambar istrinya. Drajat terbelalak.

“Masya Allaaaah ...... cantik banget Tooom......”

“Ya iyalah nggak usah heran! Orang ganteng ya istrinya pasti cantik! Hahaa!”

“Ah sialan kamu Tom, ngomong ganteng lagi, ganteng lagi! Sudahlah, jangan ngomong masalah ganteng!  Ntar aku makin stress!”

Akhirnya kedua tertawa bersama.

*** 

Tanggal 14 Juni 2016. Sehari lagi adalah hari penting.

Sore hari Riris mengunjungi ibu mertuanya, nenek Kartika.  Tiba di rumah neneknya, gadis kecil dalam gendongan Riris minta turun bermain bersama sudara sepupunya.

Pripun kabare Bu, sami sehat.”Kata Riris setelah menurunkan Kartika.

“Iya, pendongane ko pada. Mamake, bapake uga padha sehat.”

“Kabare Mas Tomo pripun Bu?”

“Lho? Deneng si malah takon? Mbokan ko sing dadi bojone la lewih ngerti. Ana apa si?”

“Emmm..... empun seminggu Mas Tomo mboten saged dekontak. HP-ne pejah. Kulo kewatir mbok enten nopo-nopo!”

“Es! Aja ngomong kaya kuwe lah, ora ilok! Dongakna baen si Tomo kuwe bagas waras, sehat wal afiat ora ana apa-apa.”

“Nggih Bu, donga si pancen tetep kulo dugekaken.”

“Lha ya apik kaya kuwe ....”

“Teng Ibu ngabari nopo mboten Bu?”

“Ya ora si. Ujarku ora ngabari inyong ya wis biasa, ningen jebule bocah kuwe ora ngabari ko uga ya?”

“Enggih Bu, kantenan mboten ngintun kabar koh. Pripun nggih Bu?”

“Ya pasrah baen Ris.”

“Enggih Bu! Matur nuwun sarane.”

“Gye Ris, ari jan-jane ko seneng karo Tomo apa ora si? Koh si Tomo ngasi mutus hubungan HP-ne?”

“Aaaah.... Ibune kepripun si? Wong sederenge pengantenan ben empun seneng, lah seniki empun pengantenan, empun gadhah Kartika, nggih semakin seneng, seneng laaah! Cintrong! Hihihi....”

“Oalaaahh.... iya syukur lah ari kaya kuwe. Inyong uga  jiaaan seneng banget lho, nduwe mantu ayu kaya ko Ris! Kaya widadari!”

“Ahahaa.... ibune ampun ngalem kula laaah! Dados melar niki irunge kulo!”

Sore itu sama seperti hari kemarin. Nihil. Bahkan ke mertua sendiri juga tidak memperoleh informasi tentang suaminya.  Termasuk kemarin siang mencari informasi di Batalyon Cakra Bhuya, komandan menyatakan katanya di Entikong tak ada masalah apa-apa.  Entikong aman. Tapi katanya banyak yang tidak bisa dihubungi. Mestinya jika HP-nya rusak atau hilang, dia kan bisa beli lagi. Pikir Riris setengah menyalahkan suaminya.

***

Rabu, 15 Juni 2016.

Dari pagi Riris gelisah. Kebetulan pekerjaan di sekolah tinggal sedikit, hanya mengolah nilai rapor, maka ia buru-buru mendahului teman-temannya untuk pulang duluan. Di rumahpun ia gelisah.  Ia buka face book, barangkali ada sesuatu yang bisa diakses lewat media itu. Nihil. Tak ada apa-apa.

Riris kecewa. Tanggal 15 Juni adalah ulang tahun pernikahan. Ini adalah hari yang hambar. Hari yang membuat pikirannya kalut. Hari yang tidak indah sama sekali. Beda dengan tahun lalu, ia merayakan ulang tahun pernikahan di kebun raya Baturraden. Ya, rekreasi bertiga dengan makan bersama. Ah, indahnya tahun kemarin.

Hari ini Riris kesal kepada sistem. Kesal kepada nama Entikong, yang telah membawa suaminya ada di sana. Hanya sekedar telepon saja tak bisa. Tak biasanya suaminya begitu. Ada masalah apa sebenanya? Ia kesal. Ibu mertuanyapun tak tahu pula kabar anaknya itu.

Pukul 20.00 Riris usai melaksanakan shalat tarawih bersama Bi Sumi, pengasuh Kartika. Anak gadisnya telah terlelap tidur. Bu Sumi telah pulang ke rumahnya yang tak jauh dari rumah Riris. Kini Riris duduk termenung sendiri. Ditolehnya Kartika yang sudah tertidur lelap. Ia mendesah dalam. Dengan malas ia meraih HP. Sambil menggeleng perlahan, ia tekan nomor suaminya.

Tuut! Ada nada aktif.

Wajah Riris berubah.  Mas Tomo!

Hallo Mas... Maas.....!”

“Hallo sayaaang.....”

“Ini.... ini ... Mas Tomo kan?”

“Weehehee.... mosok lupa sama suara suami sendiri. Si Cantik sudah tidur?”

“Sudah, baru saja. Eh Mas, seminggu ini kenapa sih nggak bisa dihubungi ....”

“Nggak tahu lah De. Sekarang bisa kan?”

“Iya bisa, tapi nggak lucu tahu!”

“Nggak lucu gimana?”

“Mas tahu nggak ini hari apa?”

“Ya tahu lah, hari Rabu.”

“Aduuuh ..... norak banget si Mas. Ini Rabu tanggal berapa?”

“Tanggal 15 Juni 2016.”

“Nah begitu. Bagus, masih ingat!”

“Ya masih ingat laah..... kalau kemarin tanggal 14, sekarang ya tanggal 15!”

“Oalaaah .... bukan itu, hari penting!”

“O ya hari penting, tanggal 15 ini HP-ku sudah bisa dihubungi!”

Klik!

Riris kesal sekali. Ia memutus sambungan. Duduk dengan wajah kesal, bibir manyun. Ia lemparkan HP ke kasur.

Ting! Ting! Ting!

Walaupun kesal, ia ambil lagi HP tersebut.

“De Riiiis...... belum selesai bicara kok diputus? Marah ya?”

“Ya iya laaah... omongannya nggak nyambung sih.”

“Nggak nyambung gimana? Aku kangen Kartika, apalagi ibunya.”

“Gombaaaal!”

“Eeee ... tulus kok De Ris. Aku kangen banget kedua mutiaraku yang cantik. Kangen lucunya Tika, kangen kopi seduhan Ririsku.....”

“Ah bisa saja ngerayu.”

“Ya ngak ngerayu lah. Memang aku kangen....”

“Mas, kau lupa ultah pernikahan kita?”

“Ya nggak laahhh.... selamat Ultah kita sayangku..... hari ini 15 Juni 2016, semoga kita selalu berbahagia, dan mendidik anak kita menjadi anak yang shalihah, seperti ibunya.”

Tersekat tenggorokan Riris. Matanya terasa panas. Air matanya tampak mengambang di pelupuk. Perlahan air mata itu mengalir menyusuri pipi. Riris menyeka air mata dengan punggung tangannya. Ternyata suaminya tidak lupa ulang tahun pernikahannya.

Mmm...Mas.... terima kasih. Tapi jangan kau sanjung aku demikian. Wanita shalihah itu derajat yang tinggi, aku belum mampu mewujudkannya....”

“Melihat diri memang sulit De Ris, tapi orang lain bisa melihat kualitas orang lain. Di mataku De Riris orang yang seperti itu .....”

“Mas, sudahlah. Biarlah peningkatan kualitas seseorang itu berbarengan dengan berjalannya waktu. Kualitas manusia tak ada batas, tak ada sekat untuk berhenti. Yang penting kita berjalan di rel agama .......”

“Waduuuh... pinternya istriku.”

“Mas Tomo, Riris kangen Mas.”

“Sama sayang. Kangen banget .... banget....”

“Kangen juga jalan-jalan kaya tahun lalu pas ultah pernikahan kita, ke kebun raya Baturaden. Sekarang sebenarnya aku ingin ngajak Kartika jalan-jalan ke Purbalingga.”

“Ke mana?”

“Ke taman air, aquarium Purbasari ..... pasti Kartika seneng sekali, melihat ratusan jenis ikan, dari yang kecil lucu, sampai ikan raksasa dari amazone itu.”

“Siap!”

“Mas, rasanya memang hambar. Kalau hanya aku, Tika dan kakek neneknya. Inginnya spesial, Tika, aku dan Mas Tomo.....”

“Siap!”

“Iyah kapan-kapan ya Mas, Riris tunggu sampai Mas Tomo pulang.....”

“De Ris, kayaknya di teras ada tamu tuuuh......!”

“Aaa.... apa?”

“Aku lihat dari sini, di teras itu ada tamu .....”

“Maksud.... maksud..... maksudnya?”

“Cobalah buka pintu.....”

Dada Riris berdetak keras. Dengan perasaan yang membuncah, Riris berlari ke ruang tamu. Kemudian ia membuka pintu. Matanya melihat sosok tegap berdiri di depan pintu sambil tersenyum. Bibir Riris bergetar.

“Mmm....mm..... Maaas... Tomoooo.......” guru muda itu memeuk suaminya dengan kencang.

Tamtomo membalas pelukan istrinya. Kepala istrinya dibenamkan di dadanya hingga lama. Setelah beberapa saat, Riris melepaskan pelukannya.

“Ini benar Mas Tomo kan? Aku tidak mimpi?”

“Bukan mimpi sayang ...., ini aku Tamtomo, ayah Kartika, kekasih Riris. Aku mengambil cuti .....”

“Mas..........”

Riris kembali memeluk suaminya seolah tak ingin ia lepaskan lagi. Ia benar-benar bahagia, tak kuasa menahan tangis di dada suaminya.

Malam itu Riris baru tahu, seminggu HP tak bisa dihubungi ternyata sudah disepakati orang tua dan saudara-saudara yang lain. Jangan katakan apa-apa kalau Riris menanyakan dirinya. Termasuk berita ijin, Riris sama sekali tidak tahu.

“Ini hadiah, surprise untuk ultah pernikahan kita sayang .....”

Riris tak bisa berkata apa-apa. Kebahagiaan di hatinya tak terucap. Ia hanya bisa menunjukkannya dengan air mata dan senyum yang tertahan. ***

Majalengka, 15 Juni 2016

Bingkisan kecil untuk  Ultah Pernikahan Bu Riski Wijayanti (SMAN 2 Banjar - Ciamis) & Mas-nya (Yang pernah ditugaskan di Papua) .

Semoga selalu berbahagia.

Sumber gambar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun