Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen : Sunset di Kuta, Cinta di Majalengka

5 Maret 2016   01:59 Diperbarui: 6 April 2016   18:35 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="kre. pribadi"][/caption]

Sekitar satu setengah jam dari bandara Soekarno-Hatta, pesawat mulai merendah. Dari pengeras suara pesawat terdengar informasi bahwa pesawat akan segera mendarat di Bandara Ngurah Rai Denpasar.

Herlin melihat ke luar jendela. Laut kelihatan semakin jelas teksturnya. Bibir pantai yang menggurat panjang mulai kelihatan. Beberapa saat kemudian terasa getaran menghentak perutnya ketika roda pesawat mulai menyentuh landasan pacu. Getaran kasar terus terasa selama pesawat  menggelinding rodanya untuk mendekati titik henti.

“Kita sudah sampai ….. “ ada suara dari kursi belakang. Herlin menoleh. Dilihatnya pria muda yang kemarin masuk UPT Penelitian Kampus. Laki-laki itu tersenyum. Herlin kesal.

“Anda bicara dengan saya?” tanya Herlin meyakinkan diri bahwa pria itu bicara kepada dirinya.

“Iya, dengan Anda, Mbak Herlin .. Herlin Nurjanah.”

“Anda tahu nama saya?” Herlin kaget.

“Maaf… kemarin di kantor UPT saya tidak sengaja membaca label nama Mbak.”

“Oooo…… “

“Maaf atas kelancangan saya …..”

“Ooo tidak apa-apa.”

“Kenalkan saya Tomo.” kata pria itu sambil mengulurkan tangan.

“Nama yang lucuu…” secara refleks bibir Herlin mengucap kata yang ia sendiri kaget dibuatnya.

“Apa maksudnya lucu?”

“Eh, ooh… maaaf… tadi saya bicara apa ya? Ooohh… maaf, maaaf…” muka Herlin merah padam menahan rasa malu.

“Mbak Herlin bilang nama saya lucu?”

“Tidaak …. saya tidak bilang begitu. Mungkin saya sedang melamun.”

“Oooo… begitu? Tapi Mbak Herlin sehat kan? Maksudnya tidak sedang jet-lag?”

“Sehat …. sehat….!”

Belum selesai bercakap-cakap, keduanya berhenti ketika ada pramugari mendatanginya dan mengatakan bahwa penumpang telah turun semua. Pramugari meminta keduanya untuk segera turun meninggalkan ruang pesawat.

Dengan menahan sedikit malu, keduanya tergesa-gesa turun, Sambil menuruni tangga pesawat , Herlin sebenarnya menahan tawa ketika ingat pria itu mengenalkan diri. Tomo? Lucu sekali kedengaran di telinganya. Nama orang kok seperti nama desa. Gadis itu ingat nama desa yang berbatasan dengan kota Kadipaten. Kota kecil ini paling barat di wilayah kabupaten Majalengka, berbatasan dengan desa  Tomo kabupaten Sumedang. Kadipaten – Tomo, keduanya dilewati jalan provonsi jalur Cirebon-Bandung.

Bandara Ngurah Rai……, gumam Herlin. Ia sama sekali tak menyangka bahwa secara tak terencana bisa menginjakkan kaki di pulau Dewata. Semua terjadi atas syukuran Pak Marwan, kepala UPT yang telah berhasil lulus mempertahankan desertasinya di US, dua minggu lalu. Inilah bentuk syukurannya, seluruh pegawai UPT ditraktir berlibur di Bali selama tiga hari.

***

Sekitar pukul lima sore peserta tour meninggalkan hotel yang terletak di jalan Kauripan. Herlin bersama sahabatnya, Ainun, berjalan menikmati suasana Bali. Sore itu target hanya satu: Sunset di pantai Kuta.

“Tadi kamu kayak serius banget di pesawat dengan laki-laki ya? Siapa sih?” Ainun bertanya.

“Baru juga ketemu, tapi katanya kemarin lewat atau masuk kantor kita? Eh, masuk apa lewat ya?”

“Orang UPT kita juga?”

“Justru nggak tahu.”

 

“Lah, mungkin ya, mungkin tidak. Nun, yang paling aku ingat, dan aku pingin tertawa ngakak ya itu, namanya lucu bangeeet! Hihihii….”

“Siapa sih namanya?”

“Tomo!”

“Tomo? Hahahaaa.. bener, lucu banget!”

“Ya itulah, namanya kayak nama desa!”

Pukul setengah enam.

Pantai Kuta dengan ombak-ombak kecil semakin mempesona ketika matahari semakin merendah mendekati garis laut. Rona jingga begitu insahnya berbaur membentuk sebuah gradasi dengan abu-abu muda hingga hitam di langit teratas.

Herlin menyiapkan kamera pocket-nya.

Setiap sekon perubahan posisi matahari ia abadikan. Latar depan orang yang berjalan ia biarkan justru menampakkan naturalitas foto yang diambilnya. Sementara Ainun yang berada di dekatnya hanya berdiri tampak merenung. Pandangannya ke arah matahari yang semakin memunculkan efek indah.

Riing.. Riiing…. Riiing!

Ainun terhenyak. Ponselnya bordering pelan. Gesturnya tampak gerakan menghormati orang yang memanggilnya.

“Herlin …. !” Ainun memanggil dengan suara agak keras untuk mengalahkan suara deburan ombak yang datang.

“Ya?!” kata Herlin menghentikan kegiatan memotretnya dengan menoleh ka arah Ainun.

“Aku dipanggil ibu kepala sebentar!”

“Ya, sana!”

Sepeninggal Ainun, gadis itu melanjutkan untuk menangkap momen sunset detik demi detik.

Cekrek!

Herlin kaget. Dari sisi kanan tempatnya berdiri terdengar suara kamera professional yang cukup keras. Herlin menoleh. Gadis itu mendesah sejenak ketika melihat pria bernama Tomo itu tengah action dengan kamera Nikon-nya. Begitu melihat Herlin mengamati sejenak, pria itu menurunkan kameranya.

“Dapat banyak Mbak Herlin?”

“Lumayan Mas.”

“Masih mau lanjut?”

“Nggak. Rasanya sudah masuk maghrib.”

“Oh ya pasti lah. Pulang ke hotel?”

“Teman Mbak mana?”

“Dipanggil ibu kepala.”

“Oooo…. kita pulang bareng yuk…. “

Herlin tak bisa menolak untuk pulang bersama. Waktunya memang telah memasuki maghrib. Berjalan kaki sekitar lima belas menit dari pantai menuju hotel lumayan terasa capek. Keduanya tak banyak bicara. Herlin hanya sesekali menjawab pertanyaan Tomo.

Malam itu Herlin dan Ainun tidak ikut bersama teman lain yang keluar mencari tempat makan sambil cuci mata. Keduanya ngendon di kamar. Di saat itulah Herlin marah ke Ainun yang meninggalkan dirinya di pantai tadi sore saat sunset sehingga ditemani dengan paksa oleh Tomo.

“Kamu sengaja meninggalkan aku ya Nun? Tuuuh jadinya si Tomo muncul!”

“Enak saja, aku dipanggil ibu kepala tahu! Lagi pula itu jaga mulut kamu lho Lin!”

“Memang aku ngomong apa?”

“Itu tadi, kamu ngomong Si Tomo! Jangan pakai Si, nggak sopan tahu!”

“Hihi biar saja … orangnya nggak tahu inih!”

“Besok aku beritahu dia lho!”

“Jangaaan…. ! Awas Nun kalau sampai kamu ngomong sama dia!”

“Kenapa? Takut kuwalat? Panggil Mas Tomo gitu!”

“Enggak laaah …. hihi, tapi ganteng juga siiih….” kata Herlin sambil melirihkan suaranya hampir tak kedengaran.

“Apa tadi Lin? Ganteng juga? Kumat nih noraknya.”

“Memang ganteng kok!”

“Hehee….. Liiin ….. Liiiin, dari SMA anehmu nggak hilang-hilang. Suka sama cowok-cowok ganteng, tapi jomblonya lama.”

“Ngejek ya?”

“Padahal kamu nilainya 92 lho!” kata Ainun sambil tertawa.

“Nilai apanya?”

“Cantiknya Lin.”

“Uuuuuh, sayang yang menyanjung kamu Nun! Coba kalau Mas Tomo yang bilang begitu, bisa-bisa aku pingsan dalam sadar!”

“Kamu terlalu galak kayaknya Lin, cowok-cowok pada takut. Sudah gitu dulu suka naik gunung lagi.”

“Memang apa yang salah kalau aku suka naik gunung?”

“Sing cerdas Liiin, cowok-cowok itu takut, kalau deketin kamu ntar diajak naik gunung. Kalau nggak mau kan mereka malu.”

“Salah sendiri! Biar saja jomblo, memang masalah?”

 

***

Perjalanan wisata kali ini benar-benar membuat Herlin kesal. Bagaimana tidak? Ainun diminta bu kepala untuk menemani istri atasannya sepanjang perjalanan. Dengan berseloroh malahan ibu kepala menyuruh gadis itu untuk bersama Tomo.

Siang itu rombongan menyambangi rice-teracces di Tegalalang, sebelum ke pusat budaya Bali di Ubud. Benar juga, Ainun benar-benar menghilang. Suasana bersama Tomo benar-benar kaku.

“Menurut pemandu, terasering sawah di Tegalalang merupakan terasering paling eksotik.” kata Tomo yang berdiri di sisi Herlin.

“Argapura…..” secara tak sadar gadis itu mengucapkan nama sebuah tempat.

“Apa Mbak Herlin? Argapura? Apa itu?”

“Och!” Herlin kaget sendiri.

“Melamun ya Mbak?”

“Nggak Mas …. Nggak melamun kok. Tiba-tiba saja jadi teringat kampung halaman.”

“Oooo … kampung halaman? Argapura daerah mana ya?”

“Majalengka. Itu kota kecamatan di Majalengka.”

“Majalengka di mana?”

“Mas Tomo belum tahu?”

“Nilai geografiku jelek.”

“Ah bisa saja. Majalengka itu kabupaten di sebelah barat Cirebon.”

“Oooo kalau Cirebon tahu… terkenal itu.”

“Mas anggap Majalengka nggak terkenal ya?”

“Ooouu bukan, bukan begitu, maaf …. Maaaf heheee….. maksudnya memang tidak sepopuler Cirebon. Eh, tapi ngomong-ngomong tadi Argapura itu apanya Majalengka?”

“Kota kecamatan. Justru ini sedang melihat terasering, saya ingat terasering Argapura yang tak kalah eksotisnya.”

“Oooo… ada juga?”

“Ada, hanya bukan padi. Di sana itu tanaman bawang.”

“Oooo begitu …mmmm….. jadi Mbak Herlin orang Jawa Barat ya?”

“Asli?”

“Iya.”

“Kalau begitu nggak nyaman saya panggil dengan sebutan Mbak ya?”

“Aaah nggak apa-apa, itu panggilan nasional kok!”

“Kalau dipanggil Teh Herlin kayaknya lebih mengena ya?”

“Bebas saja aah…”

***

Dua bulan kemudian.

Di ketinggian bukit, Ainun dan Herlin menikmati keindahan terasering Panyaweuyan Argapura. Tak kalah dengan eksotiknya terasering Tegalalang Bali.

[caption caption="terasering majalengka - bumimajalengka.blogsopt.com"]

[/caption]

Daerah ketinggian memang menjadi target refreshing kedua gadis itu. Maklum, dulu waktu SMA, keduanya memiliki kelompok pendaki gunung. Lima gadis perkasa itu Herlin, Ainun, Erika Risva, Ayu Nur, dan Tamia Tya. Dua gadis yang kini bersama-sama bekerja di sebuah perguruan tinggi di Jakarta,di bagian UPT penelitian, memang telah berpisah dengan sahabat-sahabatnya. Erika tinggal di Bandung, Ayu tinggal di Purwokerto, dan Tamia di Cirebon.

Cekrek!

Herlin kaget mendengar suara kamera menangkap obyek gambar. Gadis itu menoleh. Gadis itu merasa lebih kaget lagi ketika melihat pria yang dikenalnya ada di dekatnya.

“Kenalkan, aku Tomo! Sebuah desa kecil di dekat Kadipaten!” kata Tomo sambil mengulurkan tangan ke arah Herlin sambil tertawa. Herlin menggeleng.

“Nggak mauuuu! Mas Tomo apa-apaan ke sini?” Herlin melotot tidak percaya bahwa yang dihadapannya adalah Tomo.

“Memang nggak boleh ya?”

“Ya bukan begitu. Tapi aneh saja! Ini betul Mas Tomo?”

“Ya nggak aneh laaah! Aku tahu Mbak Herlin ada di sini!”

“Ainun yang crita ya? Mas Tomo tanya-tanya ya?”

“Hahaaa….. sebenarnya antara ya dan tidak. Dulu aku sangat penasaran ketika Mbak Herlin menertawakan aku ketika menyebut nama Tomo. Usut punya usut, ternyata itu nama desa di dekat Majalengka sini ya?”

“Ehh… maaf Mas … bukan itu maksudnya…”

“Untung namaku Ahmad Pratomo.”

“Maaf, maaf …. Mas? Mas ke sini mau apa?”

“Ya mau main laaah… mau lihat terasering Majalengka. Nilainya kan 92!”

“Nilai apa?”

“Cantiknya! Ini aku yang muji lho ….. sayang yang aku puji terasering. Coba kalau yang aku puji itu seorang gadis, mungkin dia bisa pingsan dalam sadar!” kata Tomo sambil tersenyum kemudian berjalan membelakangi keduanya. Herlin terhenyak. Sementara pria itu kemudian mengambil foto-foto terasering yang sangat indah.

“Nuun sini!” Herlin menggamit lengan Ainun diajak sedikit menjauh dari Tomo.

“Apaan sih?”

“Hei Nun, kenapa kalimat Mas Tomo aneh sih?  Satu, yang crita Tomo itu nama desa kamu ya? Katakan ya?!”

“Aku bercanda saja …”

“Payah kamu Nun, tidak solider. Malu aku ini! Malu tahu!”

“Heheee….”

“Haha hehe! Trus tadi Mas Tomo bilang nilai cantiknya 92, kok mirip kalimat waktu di hotel Dibia dulu! Terus tadi dia bilang apa? Kalau yang dipuji itu gadis, ia bisa pingsan dalam sadar. Itu kalimatkuuuuu Ainuuuuun!” kata Herlin sambil mengguncang-guncang lengan Ainun.

Diguncang lengannya, Ainun tertawa hingga memegangi perutnya. Ayu kesal. Namun ia berhenti mengguncang-guncang Ainun ketika Tomo berbalik. Muka Herlin tampak merah.

“Mas pinjam kamera!” kata Ainun meminta kamera dari tangan Tomo. Pria itu memberikan kamera sambil tersenyum ke arah Herlin.

“Memang De Ainun bisa memotret?” tanya Tomo meragukan.

"Bisa laaah .... aku akan memotret Lin bareng Mas Tomo, latar belakang terasering! Amazinpasti!"

"Iyalaah boleh, usul yang bagus, tapi nanti saja De!"

“Oooo….. Ainun, kamu dipanggil De oleh Mas Tomo! Hihihi…..” kata Herlin sambil tertawa. Namun sebenarnya hatinya tidak suka mendengar Tomo memanggil Ainun dengan sebutan De Ainun. Terlalu mesra.

“Ooooh …. maaf, maaafff … kelepasan! Huuuh….” gerutu Tomo menyadari kesalahannya. Ainun tertawa lagi.

“Heh…heeehee… cape tetawa melulu. Duduk laaah…. Ayo duduk! Ayo Mas, ayo Lin duduk!”

Ketika ketiganya telah duduk, Ainun membuka tas kecil yang dibawanya. Tangannya mengeluarkan foto ukuran post-card.

“Ini foto kita waktu sunset di Kuta Lin….” Kata Ainun sambil menyodorkan foto ke Herlin. Dengan heran Herlin menerimanya.

“Foto kita? Siapa yang mengambil gambar?”

“Tuuuh … nooh orangnya di depanmu!”

“Maaf ya Mbak, penasaran saja. Ingin motret kalian berdua!” kata Tomo menyela.

“Naaah… yang ini foto di terasering Tegalalang!” kata Ainun selanjutnya. Herlin kaget melihat foto dirinya bersama Tomo di sana.

“Foto dari mana?”

“Aku yang motret! Dengan lensa tele! Hahaaa…..”

“Hah? Jahat kamu Nun!”

“Aku memang jahat Lin…. Ainun sahabatmu ini memang Jahat. Dan mungkin ini akan sangat jahat Lin, ketika aku menginginkan kamu, Herlin Nurjanah, bukan hanya sebagai sahabat, tetapi sebagai saudara!” kata Ainun dengan suara pelan namun jelas.

“Maksudnya?”

“Lin ….. Mas Tomo punya foto-foto lama kita , yaaah waktu kita SMA dulu! Ayo Mas manaaa?” kata Ainun kepada Tomo. Pria itu mengeluarkan beberapa foto di hadapan Herlin. Herlin terhenyak melihat foto-foto miliknya yang dulu dipajang di facebook.

[caption caption="Ainun (Merah) dan Herlin . dok Herlin"]

[/caption]

"Mas Tomo juga sangat suka foto Herlin pas di puncak Ciremai... nih yang ini...."

[caption caption="Herlin di puncak Ciremai - dok. Herlin"]

[/caption] 

“Maafkan saya Mbak Herlin …. “ kata Tomo pelan.

“Lin, dulu Mas Tomo pernah nanya ke aku, ini Herlin yang duduk di dekatku sudah punya pacar apa belum?” kata Ainun.

“Ha?”

“Aku jawab belum. Info lengkap ada di aku.”

“Nun …. Mas Tomo, jadi sejak SMA kalian sudah saling kenal?” Herlin kaget melihat kedua orang itu berganti-ganti.

“Ya begitulah Lin, dalam hal ini aku tidak terbuka kepadamu Lin. Tapi ini sebuah konspirasi besar. Kakek kami kakak beradik. Aku di pihak muda, jadi Mas Tomo ini ya kakak-ku. Saya saudara Mas Tomo …… ibu Mas Tomo dari Semarang, maka ia tetap saya panggil dengan sebutan Mas.”

“Nuuun…. kamu jahat!  Kenapa nggak pernah cerita tentang saudaramu itu Nuuun… jahaaat! Jahaaaat!” kata Herlin sambil menabok-nabok paha Ainun.

“Ssssttt…..tenang Lin…..Liiiin… tenang sini aku peluk….” kata Ainun sambil memeluk sahabatnya. Herlin menyembunyikan wajahnya di dada Ainun.

“Kamu keterlaluan Nun.”

“Lin, jangan salahkan aku. Semua yang merancang Mas Tomo. Suatu saat pasti Mas Tomo akan cerita kepadamu mengapa ia merancang semua ini. Kamu mau jadi saudaraku ya Lin?”

“Nuuun….”

“Lin… mau ya Lin.”

“Malu aku Nuuun… kamu jahat bangeet .... aku Malu sama Mas Tomo..”

Beberapa saat kemudian terdengar Herlin menangis. Gadis itu merasa malu di hadapan Tomo. Dia tak menyangka sama sekali bahwa Tomo adalah saudara Ainun.

***

April 2022.

Herlin mengamati foto-foto pre-wedding yang baru diterima. Herlin menahan senyumnya. Foto-foto itu begitu indah dengan latar belakang terasering Panyaweuyan Argapura. Di depannya Tomo tersenyum melihat Herlin memperlihatkan raut wajah puas. Begitu pula dengan surat undangan yang sudah tercetak.

“De Herlin …. waktunya sebentar lagi. Latar terasering begitu indah, tetapi lebih indah yang ada di sampingku itu …. “ kata Tomo sambil menunjuk foto Herlin yang sedang tersenyum.

“Mhh… bisa saja.”

“Dulu nilainya 92, dulu …. sekarang 99 , hampir sempurna!”

“Kau terlalu memuji Mas.”

“Kalau boleh aku menilai sempurna, tapi tidak. Sempurna hanya milik Allah. Cukuplah nilai itu.”

“Mas belum mengenal saya sepenuhnya, bagaimana mungkin Mas menilai saya setinggi itu?”

“Banyak info dari Ainun. Juga, aku khusnudzon. Khusnudzon adalah doa De. Keyakinanku dengan menilai setinggi itu merupakan doa, dan permohonan kekuatan dalam diriku, juga doa untuk De Herlin, untuk menjadi istri harapan calon suamimu ini. Istri yang selalu beranjak menuju kesempurnaan, sekemampuannya, agar diijinkan menjadi istri yang shalihah.”

“Aamiin Mas.”

“Kalau De Herlin shalihah, dan kita berjodoh, apa artinya? Orang yang baik hanyalah untuk orang yang baik…..”

“Mudah-mudahan Mas Tomo calon suami yang shaleh ….”

“Aamiin De. Kata Ainun benar De, sejak SMA De Herlin nggak punya pacar, ketika kuliah juga tidak punya. Ini yang aku suka. Dan akupun tidak suka pacaran. Bagi Mas itu merupakan informasi dari Ainun yang setiap saat menjadi mimpiku untuk mengenal lebih jauh De Herlin waktu itu. Tapi aku tahan, lebih baik kita mengenal sebentar, kemudian khitbah, kemudian menikah. Tanpa maksiat yang sia-sia ….”

Herlin bergetar hatinya. Ia merasakan bahwa pujian-pujian calon suaminya adalah sebuah nasehat yang mahal. Dan ia akan menunjukkan kepada suaminya, bahwa dirinya seperti harapannya.

“Iya Mas… “

“Justru aku kadang ragu, apakah De Herlin yang baru mengenalku tak terlalu lama, yakin akan niat Mas ini?”

“Yakin Mas, yakin banget. Bukankah Mas Tomo sudah mengenal aku sejak lama? Sejak aku SMA? Walaupun aku tak mengenal Mas. Cukuplah itu untuk bukti cinta Mas pada Herlin….”

“Benarkah De?”

“Insya Allaaah…..” kata-kata Herlin hampir tak terdengar.

“Terima kasih De … semoga cantik dan shalihah De Herlin akan membawa kebahagiaanku, kebahagiaan kita ….. ”

Tangan Herlin memegang Undangan pernikahan. Perlahan ia mencium undangan itu. Tomo mengamatinya dengan mengatubkan bibir, menahan rasa haru yang membuncah. ***

*edisi request Herlin Nurjanah

 

Salam dari artis cerpen Herlin Nurjanah

[caption caption="dok. herlin nurjanah"]

[/caption]

 

Numpang promosi Majalengka :

http://www.pikiran-rakyat.com/wisata/2016/01/17/357435/ratusan-fotografer-abadikan-objek-wisata-majalengka

 

Link cerpen request siswa SMAN 1 Majalengka :

1. Safir Biru Cintaku - request Shafira Aulia Rachmadyanti
2. Dosen Simpanan - request Rozica Ardelia
3. Kau Terlambat Hilal (bersambung) - request Seorang Ibu Guru (alumnus)
4. Kembalilah Kepadaku Topaz Aini (sambungan No 3) - request Seorang Ibu Guru
5. Syal Rajutan Fia - request Alifia Rizki Farhani
6. Amarilys Kembar - request Erika Risva Rahayu
7. Hantu Gunung Ciremai - request Ayu Nuramalia
8. Sunset di Kuta, Cinta di Majalengka - request Herlin Nurjanah
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun