“Ya itulah, namanya kayak nama desa!”
Pukul setengah enam.
Pantai Kuta dengan ombak-ombak kecil semakin mempesona ketika matahari semakin merendah mendekati garis laut. Rona jingga begitu insahnya berbaur membentuk sebuah gradasi dengan abu-abu muda hingga hitam di langit teratas.
Herlin menyiapkan kamera pocket-nya.
Setiap sekon perubahan posisi matahari ia abadikan. Latar depan orang yang berjalan ia biarkan justru menampakkan naturalitas foto yang diambilnya. Sementara Ainun yang berada di dekatnya hanya berdiri tampak merenung. Pandangannya ke arah matahari yang semakin memunculkan efek indah.
Riing.. Riiing…. Riiing!
Ainun terhenyak. Ponselnya bordering pelan. Gesturnya tampak gerakan menghormati orang yang memanggilnya.
“Herlin …. !” Ainun memanggil dengan suara agak keras untuk mengalahkan suara deburan ombak yang datang.
“Ya?!” kata Herlin menghentikan kegiatan memotretnya dengan menoleh ka arah Ainun.
“Aku dipanggil ibu kepala sebentar!”
“Ya, sana!”