“Wasiat ibu yang demikian inilah yang menyebabkan aku tak mau minta cerai dari Kangmas Raden. Aku yakin amanat ibu, wasiat ibu akan berbuah kebaikan dan kebahagiaan …. kalaupun tidak di dunia, ….. mungkin….. mungkiiiin….. di …… akhiraaat .... hh.....hhh “
“Ssssstthhh…. istighfar Bu. Istighfar ..... semua orang juga punya penderitaan ….”
“Mungkin iya, tapi mungkin tak seberat penderitaanku. Di sisi lain, ibuku adalah sosok yang aku hormati hingga aku bertahan dalam ketidaksiapanku diduakan oleh Kangmas Raden ….. tapi ……”
Malam itu itu rupanya malam terakhir bagi Raden Anggoro, suami Bu Haryanti. Tuntas sudah, cinta laki-laki itu di awal milik Haryanti, di akhir hayatnya juga di pangkuan Haryanti. Terlepas ada rahasia yang tak pernah diceritakan kepada anak-anaknya, sebab perempuan itu tak ingin, anak-anaknya akan membenci neneknya. Ya, seperti dirinya yang tak sanggup untuk membenci ibunya, karena ia tahu kebencian kepada ibu adalah durhaka yang tak terampuni dosanya. ***
Majalengka, 22 Desember 2015
22.00 - 23.58
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H