“Tak tahulah. Iman barangkali!”
“Itu kalau tolok ukurnya agama, mestinya malah harus siap lahir batin kalau suami kita beristri hingga empat.”
“Itulah. Ada dogma dalam agama yang masih tak terjawab dengan logika hingga saat ini. Dan memang, tak semua apa yang ada dalam ajaran agama dapat dirunut dengan logika. Atau logika kita yang tidak sampai?”
“Hei….heiii….. sadar kita ini malah ngomong nggak keruan sih?”
Hari-hari berikutnya seolah tak terjadi apa-apa lagi. Bu Haryanti telah melakukan kegiatan sebagaimana biasa. Hanya saja sekarang perempuan itu menjadi lebih pendiam. Keceriaan yang dulu tampak ketika berkumpul dengan anak buah, kini berkurang jauh, namun semua anak buahnya memakluminya.
Pengalaman Bu Haryanti yang dimadu, tidaklah menjadi bahan kegelisahan semua anak buahnya. Yang gelisah tentu para perempuan. Anak buah yang laki-laki kadang-kadang menjadikan ini menjadi bahan canda dengan mengatakan bahwa Pak Raden adalah jagoan. Lelaki tulen. Efek dekat hari kiamat dan sebagainya. Biasanya pernyataan ini disampaikan secara seloroh ke rekan-rekan yang perempuan.
Hari berganti hari. Tak ada reaksi apapun dari Bu Haryanti. Sebagian berharap ada kabar baru bahwa perempuan itu akan minta cerai, tapi nyatanya harapan mereka tak terkabul. Hingga satu satu tahun Pak Raden mendua, semua orang hampir melupakan kasus tersebut.
***
Hari itu Puspa mengajak suaminya duduk-duduk di teras. Lampu teras sengaja dimatikan. Hanya cahaya rembulan yang masih belum tegak menerangi keduanya.
“Pah….. “
“Kamu ini ada apa Mah, sok romantis. Tumben.”