Mohon tunggu...
Dicky Zulkifly
Dicky Zulkifly Mohon Tunggu... Jurnalis -

Aku hanya seorang pembelajar, yang tidak tahu apa-apa. Tugasku mengetahui banyak hal.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Mengajak Desa Berlari

28 Agustus 2015   03:12 Diperbarui: 28 Agustus 2015   03:12 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="dickyzulkifly93"][/caption]

Sahabat pembaca yang saya cintai, bahagia rasanya bisa mencurahkan pemikiran awam ini dalam sebuah karya. Tulisan ini saya buat dari berbagai referensi saat berjalan di pematang sawah, ngobrol bersama teman kecil di bangku depan rumah, sampai saat nongkrong di warung kopi perkampungan.

Saya haturkan ribuan cinta, dan semoga bisa dianalisis berbagai kesalahan yang muncul dari pada tuturan kata terwakili pada goresan pena ini. Terimakasih, sudah sedia membaca karya yang sedikit banyaknya bisa menjadi bagian penguat fondasi kemajuan peradaban manusia.

Sampurasun...

Sahabat, pernah mendengar istilah dalam bahasa Sunda "ngigelan zaman"? Istilah ini sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari, sampai kajian pendidikan bahasa Sunda di sekolah.

Sederhananya, "ngigelan zaman" merupakan upaya mengimbangi perkembangan dan perubahan zaman. Memang, sudah pasti zaman itu berkembang seiring waktu. Ini dipengaruhi faktor pemikiran manusia yang terus berubah pula.

Kajian disiplin ilmu sudah menegaskan, dari masa ke masa, budaya berpikir manusia mengalami banyak perubahan. Siklus perubahan pemikiran itu, dipengaruhi faktor lingkungan dan subnilai dari pada tokoh pemikir, dalam hal ini para filsuf.

Karena budaya berpikir manusia berubah, implikasinya jelas, pola zaman pun berubah. Karena dari hasil karya pemikiran, lahirlah sebuah teori, tesis, antitesis, sintesis sampai hipotesis yang ditesiskan lagi, diantitesiskan lagi, disintesiskan lagi, begitu terus menerus melembaga dalam perjalanan waktu. 

Dari pemikiran juga muncul gebrakan produk teknologi yang begitu kompkeks dan memudahkan manusia berkomunikasi, beriteraksi dan beraktifitas. Dampaknya, perkembangan peradaban dunia kian menemui titik kesempurnaan.

Namun, perlu digarisbawahi, jika terkadang kemajuan peradaban itu mengalami kemunduran moral, saat segala bentuk kemajuan tanpa diimbangi dengan sikap bijak dan nurani positif.

Simpulannya, "ngigelan zaman" merupakan sikap positif dalam mengarungi kemajuan dengan sikap bijak dan nurani positif. "Ngigelan zaman" merupakan interpretasi manusia yang beradab dalam mengaktualisasikan kepentingan hidup bermashlahat tanpa meninggalkan dimensi kulutural ketimbang dimensi globalisasi.

Keseimbangan beperadaban itu, muncul manakala mensinergiskan antara moral dan kemajuan. Pasalnya, jika satu unsur saja yang mendominasi, maka yang terjadi adalah eksploitasi. Disinilah fungsi "ngigelan zaman" dimana sebuah peradaban bertumpu pada moral kultural dan kemajuan zaman. Sehingga yang muncul adalah harmoni kemajuan.

Saya anggap, Agama Islam itu nerupakan agama yang bisa "ngigelan zaman". Maka dari itu, Islam disebut agama rahmatan lilalamin. Konsep keislaman cocok di setiap zaman, sejak zaman peradaban Islam kuno, pertengahan sampai abad mederenis saat ini.

Konsep peribadatan pada zaman Rasulullah SAW akan tetap sama dengan sekarang. Bahkan Allah SWT menjanjikan, jika Al-Qur'an kebenarannya akan tetap terjamin sampai akhir zaman. Maka tidaklah dibenarkan, jika kemajuan zaman tidak disikapi dengan bijak. 

Jika ketentuan alamiah, kultural, etika-moral sampai hukum formal keagamaan dilanggar, kemajuan zaman bisa saja menjadi malapetaka besar, yang merugikan umat manusia.

Pun demikian, benang merah yang diambil dalam konteks kajian peradaban desa harus mengacu pada landasan fondasi moral dan perkembangan zaman.

Masyarakat desa harus bisa berdiri di atas kedua kaki kemajuan zaman. Kaki kanan tumpuan moral kebudayaan dan, kaki kiri bertumpu pada kemajuan zaman.

Desa memiliki jutaan potensi dari kekayaan alam yang dimiliki. Tanpa menapikkan, mayoritas desa memiliki potensi masing-masing yang itu jika dikembangkan dengan planing dan analisa akademik, tingkat kemajuan peradaban desa akan membaik.

Lantas mengapa, untuk sementara waktu, tatkala mendengar kata desa yang terbayang adalah masalah ketertinggalan pengetahuan, daerah terisolir, tingkat pendidikan rendah, sampai kemiskinan. Semuanya berkutat di wilayah permasalahan sosial.

Padahal kita ketahui, kekayaan sumber daya alam mulai dari pertanian, kehutananan, perkebunan, peternakan, perikanan sampai energi mineral, terletak di wilayah pedesaan. 

Ada masalah yang muncul. Pertama kaitannya dengan kemampuan sumber daya manusia (SDM), kemampuan akan wawasan keilmuan dan penguasaan teknologi.

Kemampuan SDM itu muncul dari pembinaan dan pelatihan akan potensi yang dimiliki dari pada unsur-unsur kemanusiaan. Mulai dari keilmuan, etika dan kehidupan sosial kemasyarakatan.

Berapa persentase tingkat pendidikan antara lulusan sekolah dasar, menengah, akhir dan perguruan tinggi di desa. Kebanyakan memang, bukan saja menyangkut masyarakat umum di desa yang berstatus pendidikan rendah, tetapi juga ditemui masih banyak pejabat sampai aparatur pemerintahan desa yang masih berpendidikan alakadarnya.

Bukan berarti menjadi alasan diskriminasi sosial, dengan mengedepankan kualitas pendidikan. Karena memang sejauh ini masih bisa di-iyakan, jika manusia yang beradab dan beretika itu tidak mesti muncul dari jebolan bangku pendidikan semata.

Tetapi, manusia memiliki potensi ganda, antara kebaikan dan keburukan, kepintaran dan kebodohan, kebajikan dan kejahatan sampai perilaku moral dan immoral.

Maka, alasannya sudah berbeda, manusia perlu mendapatkan arahan dari manusia lain yang lebih memiliki keluhuran budi dan ketajaman intelektual. Disini, berbicara manfaat ilmu bagi laju ayuhan peradaban.

Manusia disebut insan kamil tatkala pemikirannya terlatih dan diperuntukan bagi kegunaan hidup yang mashlahat. Sudah pasti manusia perlu dididik dan mendidik. Sehingga segala bentuk praktik kehidupan mulai dari sosial politik, penegasan hukum sampai pembangunan benar-benar berada dalam koridor moral.

Hal yang masih bersifat krusial, dan menjadi masalah sentral, sejauh ini masyarakat desa masih mempercayai hal-hal dan perilaku yang bersifat tradisional "kolot" sebagai cara efektif menyelesaikan berbagai persoalan hidup.

Pola pertanian masih mengikuti teknisan peninggalan para "leluhur" dan "nenek moyang" yang bukan saja hanya dianggap sebagai ritualitas, tetapi penunjang keselamatan dan hasil panen. 

Masyarakat desa yang seperti ini, tentu akan terjebak dalam perkembangan alam dan zaman. Garis bawahi, jika secara kajian dan penelitian ilmu meteorologi, klimatologi dan geofisika, jelas unsur-unsur pembentuk alam mengalami fase perubahan-perubahan beriringan dengan waktu.

Konklusinya demikian. Maka sudah pasti, jika caranya serba tradisinonil, masalah gagal panen akibat kekeringan dampak kemarau panjang akan menjerat kesejahteraan para petani dan masyarakat keseluruhan.

Krisis pangan, sayur mayur komoditas hortikultura harus serba beli, produk-produk ini seharusnya tersedia secara melimpah di desa. Saat ini, untuk membuat sambal dan mendapat lalaban harus pergi ke pasar dengan jarak tempuh yang jauh dan dengan harga yang jauh lebih mahal.

Ini masalah yang tanpa sadar menjerat kehidupan masyarakat desa. Konsep kemajuan yang dibangun selama ini ternyata kurang tepat. Melalui kemajuan zaman, masyarakat desa seharusnya bisa lebih memaksimalkan potensi. Bukan seperti saat ini, desa terjebak dalam kubangan propaganda globalisasi.

Desa tidak lagi menunjukkan karakter dan jati dirinya. Mindset pemikiran masyarakat desa sudah dimiskinkan dengan hal-hal yang berbau pragmatisme. Sebuah sampel, dari kebijakan peralihan bahan bakar minyak tanah kepada bahan bakar gas, banyak menyulap gaya hidup masyarakat desa bergaya serba kota.

Imbasnya, masyarakat desa di wilayah permasalahan ekonomi jelas terpuruk. Kualitas SDM desa, jelas belum siap tatkala mendapat daya kejut yang lebih besar menyangkut perkembangan kemajuan zaman.

Di tataran pencerdasan politik pun sama, bisa dikata cukup begitu rendah. Alasannya, penguatan sikap leadership di tataran desa hanya baru-baru ini saja mulai masuk di garis penyempurnaan.

Seberapa besar ukuran seorang pemimpin di tataran desa menguasai wawasan seputar kepemimpinan dan manajerial pemerintahan yang efektif. Di sini kita berbicara masalah kepemimpinan (leadership).

Jika sejauh ini masih muncul berbagai jenis permasalahan yang dirasa secara langsung oleh masyarakat, mulai dari keluhan kinerja seorang pemimpin desa, realisasi produk kebijakan baik itu infrastruktur fisik, sosial, pendidikan, moral sampai tingkat pembangunan kesejahteraan sebagai sub tata nilai dari aktualisasi pembangunan suprastruktur.

Semua masih menjadi hantu menakutkan yang masih mencekik leher masyarakat. Masalah ini bukan saja menjadi klaim politik, tetapi fokus perhatian yang secepatnya mesti diselesaikan.

Dalam upaya merekonsiliasi orientasi politik pembangunan desa, kepuasan batin seorang pemimpin desa harus didasarkan pada pengabdian masyarakat. Bukan semata didasarkan pada pemuasan birahi kekuasaan.

Terbukti, melalui ajang pemilihan kepala desa, orientasinya sejauh ini sudah berbeda, bahkan bergeser. Pihak-pihak yang terlibat dalam bursa perhelatan politik desa masih mengedepankan asas-asas yang keliru, sehingga hasilnya tidak maksimal.

Masyarakat desa ternyata tidak bisa dipaksakan berubah, atau beranjak dari kebiasaan-kebiasaan (budaya) yang diyakini baik. Maka yang menjadi fokus, adalah kesadaran dari pada pemikiran para pemimpin desa yang mesti diperbaiki.

Tingkat kecerdasan dan kesejahteraan masyarakat desa akan didapat manakala semua kebutuhan masyarakat dipenuhi. Mulai dari pemenuhan kebutuhan infrastruktur fisik, jalan transfortasi, MCK, jaringan air bersih, irigasi pesawahan, pertanian dan lain sebagainya.

Begitupun dengan jaminan berpendidikan, kesehatan, administrasi kependudukan, program pembinaan masyarakat yang diarahkan pada nilai-nilai pencerdasan.

Jika desa sukses membangun, maka kemajuan bangsa semakin menemui jati dirinya. Masyarakat cerdas karena pemimpin yang cerdas, masyarakat desa sejahtera karena pembangunan yang baik.

Mencari sosok pemimpin memang tidak semudah yang dibayangkan. Apalagi untuk tataran pemimpin tingkat desa, sebut saja kepala desa (Kades). Selaku tombak negara, desa harus memiliki kekuatan politik, perekonomian, pendidikan dan pembangunan.

Ajang pemilihan kepala desa (Pilkades) perlu disandarkan pada aspek pencerdasan politik masyarakat desa, ajang demokrasi dan momentum pencarian sosok negarawan sejati. Kendati demikian, tidak bisa main-main bagi siapa saja yang berniat mengusung dan diusung diri sebagai calon pemimpin desa.

Undang-Undang (UU) No. 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa, seyogianya bisa difahami oleh masyarakat seluruhnya. Jika dalam istilah strategi politik dikenal ungkapan "grassroot", maka wawasan tata pemerintaan desa harus merumput sampai masyarakat lintas usia dan strata desa.

Karena wawasan adalah fondasi pembangunan peradaban desa yang baik dan terarah pada harmoni kemajuan, maka perlu ada sinergisitas antara berbagai komponen masyarakat.

Sebut saja keberadaan posisi "kelompok sepuh" dan "kelompok muda" yang selalu bersinggungan kepentingan, dan terkadang mengarah pada konflik yang didasari egosentris.

Ada istilah yang sepuh (kelompok tua) belum tentu memiliki pemikiran yang sepuh pula. Dan tidak selamanya, kelompok muda tidak semestinya berpemikiran terbelakang, bersikap pasif dan antikritik.

Kelompok sepuh terkadang memposisikan diri selaku pihak yang benar-benar berpengalaman untuk permasalahan hidup. Di pihak yang muda, merasa memiliki fisik yang kuat, emosi belum stabil, hingga bertindak spekulatif dalam bermasyarakat.

Ada yang dilupakan. Dalam proses pembangunan perlu tercipta sinergisitas berbagai kelompok masyarakat. Semisal dalam proses pemilihan Kades di desa, kaum muda yang didominasi oleh kelompok pemilih pemula, acap dieksploitasi bagi kepentingan politik buta. 

Alasannya jelas, karena keinginan kelompok muda masih bersifat jangka pendek, dan masih mengedepankan emosi ketimbang pemikiran jernih. Akibatnya, sikap pragmatis kelompok muda ini, dieksploitasi menjadi kekuatan untuk mendobrak pintu kekuasaan.

Pemilih pemula merupakan kelompok suci yang mesti dicerdaskan. Bukan dimanfaatkan tanpa landasan tanggung jawab dan ideologi yang benar. Sehingga, kelompok muda terselamatkan dan tidak dijadikan massa pendobrak kekuasaan saja, tanpa visi pencerdasan. 

Untuk sementara waktu semuanya masih menutup mata. Akibatnya, kelompok muda kita masih dijadikan komoditas politik yang dicekoki dengan nuansa pragmatisme.

Penulis beranggapan, jika kelompok muda ini mampu bangkit, sudah bukan lagi menjadi hal yang bersifat tabu jika membahas wilayah kepemimpinan adalah cerminan kaum muda.

Mengapa penulis terkesan mengesampingkan kelompok sepuh, yang semestinya mendapat penghormatan lebih besar. Jika premisnya, pemimpin yang berlatar belakang dan jebolan kelompok sepuh tidak bisa menjawab tatangan dengan pemikiran kesepuhannya, maka jelas ada yang salah di sini. 

Jangan-jangan, kata sepuh hanya klaim politik atau bahkan hanya bersifat klasifikasi usia dalam tatanan struktur sosial saja. Di wilayah aktualisasi rumusan hidup, kelompok sepuh belum tentu berpikiran sepuh.

Maka terbukti jelas. Perlu ada pencerahan dan penyegaran di wilayah kepemimpinan kita. Khususnya, dalam ayuhan pemerintahan desa menuju titik kemajuan. Apakah kelompok muda bisa menjawab tantangan zaman?

Penulis mengambil satu sampel dari hasil pantauan sehari-hari di dusun tempat penulis tinggal. Jika boleh penulis sebut letak geografisnya dimana, penulis tinggal di Kampung Cibitung, Desa Ciroyom, Kecamatan Cipeundeuy Kabupaten Bandung Barat.

Nama kampung yang sudah membesarkan penulis, memiliki asal muasal dan nilai-nilai hostoris tersendiri. Konon katanya di kampung ini sempat tumbuh Awi Bitung (Bambu Hitam). Namun, seiring waktu bambu ini menghilang karena ditebang untuk kebutuhan masyarakat sekitar.

Ada keunikan yang muncul. Salah satunya dari bawah akar Awi Bitung ini keluar mata air yang muncul sejak keberadaan bambu. Sampai saat ini, mata air di Cibitung yang sebelumnya ditanami Awi Bitung masih tetap mengalir bahkan dipergunakan oleh ribuan masyarakat selama ratusan tahun dahulu.

Singkatnya, nama Cibitung diambil dari nama Awi Bitung yang sempat tumbuh subur di tanah lembur yang kini penulis tinggali. Singkatnya seperti itu, dan ulasan keumuman, nama-nama perkampungan atau teritorial kecamatan di Tatar Pasundan, sering diawali kata "Ci" ini mencirikan kekayaan dan kesuburan alam Tatar Pasundan yang begitu melimpah.

Kultur keseharian masyarakat di kampung tempat penulis tinggal, masih mengedepankan asas gotong royong, fanatisme sampai sikap saling menghargai yang masih terjaga. Mayoritas mata pencaharian masyarakat fokus di wilayah pertanian, perkebunan, ternak, dan perikanan. Demografis ini terjadi lantaran kultur wilayah setempat berstatus agraris, sehingga untuk aktifitas keseharian tidak terlepas dari gantungan hidup pada kekayaan alam sekitar. 

Kerukunan hidup ini rupanya belum dijadikan referensi potensi pembangunan desa tempat penulis tinggal. Penulis mengenal betul sosok dari pada pemimpin desa definitif, karena memang berasal dari dalam kampung tempat penulis tinggal.

Penulis tahu betul seluk beluk permasalahan desa, karena secara emosional kepribadian, penulis dilahirkan dan didewasakan di desa. Desa membutuhkan pemimpin yang inovatif dan bisa mengajak desa berlari.

Desa merupakan tombak negara. Mengapa, alasan ini memang perlu dipaparkan mendetail. Pertama, desa sebagai mesin negara. Dimana segala bentuk administrasi kependudukan, lumbung ketahanan pangan, data warga miskin, daftar kelahiran, sampai kematian dimulai dari desa.

Namun bagaimana jika tombak itu tumpul? Ini merupakan pertanyaan yang harus ditarik benang merahnya dari realitas desa saat ini. Karena bagaimana negara bisa membidik sebuah kemajuan, jika desa selaku tombak dan awal penggerak kemajuan tidak diasah kemampuan SDM, SDA, infrastruktur sampai suprastrukturnya.

Masyarakat desa memiliki kultur defensif, yang memang sudah menjadi kodrat bawaan. Mengapa, karena desa memiliki banyak kekayaan alam. Dengan sifat masyarakat yang mayoritas menggantungkan hidup pada kekayaan alam sekitar.

Dari mulai pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan sampai ketersediaan energi dan sumber daya mineral. Semuanya merupakan bagian dari ruh dan persenyawaan masyarakat desa untuk menyambung hidup dari hari ke hari.

Ada masalah baru. Mengapa angka pengangguran di desa cukup terbilang tinggi? kian hari semakin tinggi? Ini disebabkan karena segala bentuk penunjang hidup masyarakat desa sudah tergadaikan bahkan mungkin terjual. 

Karena alam sekitarnya sudah tidak lagi bisa menjamin, tak salah masyarakat desa melakukan ekspansi, mencari daya penutupan kebutuhan hidup keluar.

Diakui atau tidak, kultur dan kualitas pendidikan masyarakat desa masih di bawah standar. Kita lihat, data di pemerintahan desa, berapa persentase masyarakat yang lulus dari jenjang satuan pendidikan dasar, menengah, sarjana, pascasarjana, doktor sampai profesor.

Masyoritas semua stagnan di tatanan pendidikan dasar dan hanya sebagian yang lulus pendidikan menengah. Ironis. Seharusnya desa melahirkan banyak profesor, insinyur dan sarjana-sarjana kompeten.

Hal ini juga turut tidak diimbangi dengan kualitas SDM di tatanan pemangku kebijakan pemerintahan desa. Masih terlihat banyak sekali para kepala desa yang berstandar pendidikan lulusan SMA, atau bahkan SD.

Padahal, kepala desa itu haruslah kompeten, kredibel dan memiliki kualitas. Baik kualitas jasmaniah dan ruhaniah. Mengapa? Karena seorang kepala desa harus mengasah terus tombak agar tetap tajam.

Untuk mengarahkan pembangunan desa, haruslah oleh pihak yang mengerti teori dan praktik pembangunan berbasis pedesaan. Tentu, bukan pembangunan yang alakadarnya. Desa memerlukan pendidikan berkualitas, desa memerlukan pembangunan ketahanan pangan, pengelolaan kawasan agraris, serta desa memerlukan kemajuan teknologi.

Dengan demikian, seharusnya yang menjadi kepala desa itu minimal memiliki jenjang lulusan strata satu (S-1). Paling tidak, orang seperti ini paham secara metode dan sistem. Bukan mengecilkan dan pilih kasih dalam memandang strata sosial. Tetapi ini adalah realita yang dibutuhkan desa. 

Apalagi semenjak terbitnya Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Pmerintahan Desa. Dimana desa memiliki kebijakan otonom berlebih. Mulai dari perencanaan kebijakan peraturan desa (Perdes), pendapatan asli desa (PADes), anggaran pendapatan belanja desa (APBDes), perencanaan teknis pembangunan sampai penentuan reformasi birokrasi aparatur Pemdes.

Apa yang akan terjadi pada desa kita jika dipimpin oleh pihak-pihak yang memang bisa dikatakan belum siap dan tidak kompeten?

Ini yang menurut hemat pemikiran dan naluri rasa pribadi penulis yang masih diluputi keawaman, desa harus dibangun dan diarahkan menuju puncak kejayaan dan peradaban. Artinya, kualifikasi itu penting. Meski semua beranggapan, pengetahuan, wawasan, skill dan kreatifitas itu bisa diolah berdasarkan kerja keras dan waktu.

Seharusnya desa berlari, untuk meraih sebuah puncak kejayaan. Untuk bisa berlari cepat, tidak mungkin melibatkan orang yang cacat, sakit, atau bahkan tidak mampu berlali. Maka haruslah seorang yang siap untuk berlari. Siap skillnya, tenaganya, dan mentalnya.

Disamping pembenahan aparatur Pemdes, desa harus dibenahi dari segi infrastruktur. Mulai dari infrastruktur jalan, bangunan sekolah, pesantren, kantor desa, sampai pos ronda. Ketika jalannya baik, akses transfortasi sebagai sarana dan prasarana penunjang, akan berdampak pada membaiknya laju perekonomian desa. 

Sehingga tidak ada lagi tenaga pengajar, pelajar, warga desa, sampai petani yang mengeluh jalan di depan rumah mereka tidak layak dilalui. Petani akan mudah mengirim penjualan hasil panen, mobil antar jemput sekolah akan cepat sampai, aparatur Pemdes semangat dalam mengabdi, akses kunjungan desa akan meningkat, sampai meningginya daya dorongan kreatifitas masyarakat desa untuk mengimbangi laju perkembangan kemajuan desa. 

Timbullah proses peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM) dan indeks kebahagiaan masyarakat desa. Karena infratruktur yang baik, akan berdampak pada kesejahteraan yang baik pula. Ini yang disebut menjemput masa depan desa.

Mengapa harus desa yang pertama mesti dibenahi. Karena dari pembangunan desa yang baik, akan mendukung pembangunan daerah yang baik juga. Desa tidak lagi tidur di atas limpahan kekayaan alam. Desa sudah lagi bisa mandiri, disamping dukungan dari pemerintah kabupaten, provinsi sampai pusat.

Ini karena masyarakatnya sudah cerdas dalam mengolah pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan, kehutanan dan energi. Semua potensi desa dimaksimalkan. Tidak akan lagi terjadi peningkatan angka permohonan tenaga kerja, yang sejauh ini muncul dari masyarakat desa. Mulai pekerja sosial, buruh pabrik sampai keinginan menjadi Pekerja Negeri Sipil (PNS).

Pemikiran penulis cukuplah terbilang sederhana. Karena pribadi, penulis terlahir dari rahim desa, diasuh dalam pangkuan desa, disuapi dengan sumber pangan dan energi desa, serta dididik dengan bimbingan kearifan desa.

Desa harus diberikan infrastruktur yang baik, agar para petani kita tidak kesulitan dalam mengolah pertaniannya. Jalan ke sawah tidak lagi terjal berbatu, melainkan sudah diaspal dengan baik. Ukuran lebar jalannya memadai, sehingga kendaraan muatan gabah bisa mengakses.

Secara teknis realitas, saat ini seluruh desa wajib menyusun dokumen perencanaan pembangunan. Hal ini berkenaan dengan kebijakan baru soal teknis pelaksanaan pemerintah desa dalam UU No 6 tahun 2014 tentang desa. Sehingga bentuk administratif pemerintahan di tingkat desa harus benar-benar dikelola secara profesional.

Kewajiban desa menyusun dokumen perencanaan, sebagaimana diamanatkan undang-undang tersebut, dimana Pemdes wajib membentuk program pembangunan jangka panjang, menengah dan tahunan

Penulis sendiri tak pernah menampik jika status SDM Pemdes masih di bawah rata-rata. Ini motivasi, mengapa, karena begitu banyak yang harus dibenahi. 

Pejabat Sekdes sampai Kasie atau Kaur pemerintahan desa selayaknya mendapatkan pemahaman tentang bagaimana menyusun berbagai jenis perencanaan pembangunan. Mengapa? Ini berkenaan dengan akuntabilitas kinerja. Sebab desa juga wajib mempertanggungjawabkan hasil kinerjanya. 

Disamping terkait dengan keluarnya beberapa kebijakan sektor penganggaran untuk desa, Pemdes harus memprioritaskan pembangunan yang terukur dan akuntabel.

Ini terkait dengan hak desa untuk mengelola anggaran. Mulai tahun ini desa kurang lebih mengelola Rp1,5 miliar anggaran yang bersumber dari Pemda, Pemprov sampai pemerintah pusat.

Strategi pembangunan desa memang seharusnya diupayakan. Ini untuk menekan angka kecelakaan dalam pembangunan desa. Salah satunya dengan terus menambah wawasan dan kualitas SDM di tingkat Pemdes.

Oleh karenanya, semua indikasi dan kekhawatiran pelanggaran hukum, saat proses pelaksanaan pembangunan desa harus dicegah dengan manajemen profesional. Salah satunya, aparatur Pemdes harus merencanakan dan merealisasikan program pembangunan secara akuntabel, efektif, efisien, dan menghormati asas nilai hukum yang berlaku.

 

Cag...

Sejahtera Desaku, Lembur Kuring Priangan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun