Mohon tunggu...
Diantika IE
Diantika IE Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penulis, Blogger, Guru, Alumnus Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Menulis di Blog Pribadi https://ruangpena.id/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tiga Buah Permen untuk Arsa

1 Mei 2020   11:59 Diperbarui: 1 Mei 2020   12:24 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Christopher Ryan/Unsplash

Jumat pagi, Arsa masih terlena dengan selimut tebalnya. Dalam suasana PSBB membuat bangun pagi menjadi hal yang sangat langka. WFH memiliki kebebasan untuk bangun kapan saja, yang penting pekerjaan selesai tepat waktu. Pandai-pandai saja memanage waktu untuk kerja dan kapan berleha-leha.

Biasanya, jika bukan WFH, jam segini jalanan macet, keluhan-keluhan bertebaran di langit atas jalanan. Banyak yang terlambat datang ke tempat kerja, atau marah karena tak sengaja bersinggungan antara sesama pengguna jalan.

Hari itu Arsa pun punya agenda. Pekerjaan yang tidak terlalu mendesak. Namun yakin, pekerjaan nya harus selesai hari itu juga. Betapa beratnya beranjak dari tempat tidur yang hangat itu, udara dingin dan rintik hujan membuatnya semakin betah berlama-lama di sana.

Ada penyebab lain yang membuatnya betah di bawah selimut hangatnya. Arsa asik dengan handphone pintarnya. Dia membaca beberapa pesan WA dari gadis yang disukainya. Gadis yang beberapa hari lalu baru saja memberikan warna baru dalam hidupnya. Tersenyum manis seraya mengangukkan kepala tanda setuju, tanda kesiapan, menjalin hubungan yang lebih dari sekadar teman. Ya, sedari dulu Arsa menaruh hati kepada Allina teman sepekerjaannya. Bertahun-tahun ia memendam rasa cintanya dalam hati saja.. Arsa memang tak pernah memiliki keberanian untuk menyatakan perasaannya kepada Allina.

Ada beberapa alasan yang selalu mengurungkan niat Arsa untuk menyatakan perasaaannya kepada Allina. Salah satunya adalah sejak dua tahun lalu Arsa menjalin hubungan dengan Emmy. Sampai sekarang sebenarnya ia masih berhubungan baik dengannya. Emmy adalah perempuan yang sangat setia. Hanya satu yang kadang Arsa tak tahan dengan sifat keras kepalany. Timbul keraguan dalam hati Arsa, akankah hubungan itu dilanjutkan ke jenjang yang lebih jauh?

Namun apa mau dikata, pertanyaan tentang keraguraguan itu harus Arsa enyahkan jauh-jauh. Arsa dan Emmy telah resmi bertunangan tiga bulan yang lalu, sebelum akhirnya Arsa mengetahui bahwa gadis yang ia sukai dari dulu di tempatnya bekerja sebenarnya memiliki perasaan yang sama.

Ada penyesalan yang menggumpal di hati Asra. Mengapa tidak menyatakan cintanya sejak dulu, sebelum akhirnya ia membuat komitmen dengan Emmy. Mengapa ia tak pernah memiliki keberanian yang cukup untuk menyatakan semuanya. Hanya karena Allina selalu terlihat dijemput sesorang sepulang kerja. Bukankah pepatah mengatakan sebelum janur kuning melengkung semua oarang punya hak untuk menyatakan perasaannya?

Ya, kini malah janur kuning miliknya yang hampir melengkung lebih dulu. Ah... Arsa bingung dengan keadaannya sekarang. Satu sisi ia merasa berhak memiliki apa yang ia idam-idamkan sejak dulu, sisi lain ia juga tak mungkin meninggalkan semuanya. Keluarga mereka akan sangat kecewa jika mengetahui Arsa membatalkan rencana pernikahan.

**

Beberapa hari yang lalu pukul 5 sore di tempat kerja Arsa, jam kerja telah usai. Satu jam terakhir digunakan untuk rapat koordinasi yang diakhiri dengan pengumuman bahwa kegiatan kantor betul-betul dihentikan dan semua karyawan diharuskan bekerja di rumah. Sebelumnya terpaksa masih harus ngantor dengan beberapa protokol yang membuat ribet dan menjemukan.

Hujan yang deras meliputi kota Bandung, Arsa berdiri terpaku di belakang meja kerja. Asik memandangi derasnya hujan di balik kaca jendela gedung kantornya. Di sudut lain, Allina asik berbincang dengan sesama rekan kerja perempuan yang juga menunggu hujan reda. Diam-diam Arsa melayangkan pandangannya ke arah kerumunan teman kerja perempuannya itu. Satu yang selalu menarik perhatian Arsa. Allina tampak cantik mengenakan seragam kerja hijau toska, dengan kerudung motif warna senada.

Gadis itu tampak anggun. Ketika tak sengaja pandangan mereka beradu, deg! Ada getaran hebat dalam dada Arsa. Membuat dia merasa gugup dibuatnya. Degup jantungnya mengencang, berpacu dengan gemercik air hujan di luar ruangan.

Hujan mulai mengecil. Beberapa rekan pamit pulang memaksa menembus derai hujan, rela berbasah-basahan. Ada juga yang sudah dijemput pasangannya, pacar, suami, bahkan dijemput sopir pribadi.

Ruangan kerja yang semula ramai dengan percakapan tentang berbagai hal, kini lengang, sepi, Hanya gemericik hujan yang terdengar dan embus angin yang dingin dari arah jendela. Di ruangan itu hanya ada empat orang. Bu Irna yang sejak tadi tampak mengantuk membenahi diri di meja kerjanya, siap-siap tidur sejenak sambil menunggu jemputan suaminya. Sedangkan Tedi asik dengan komputernya, memainkan game kesukannya. Arsa kembali konsentrasi ke meja kerjanya, membereskan beberapa arsip, sesaat kemudian tangannya iseng memainkan telefon genggam.

Allina menghampiri, dengan wajah penuh keraguan, seolah bertanya, bolehkan aku mendekat?. Arsa membetulkan duduknya, mempersilahkan Allina duduk di hadapannya. Dadanya kembali berdebar. Allina memulai pembicaraan.

"Ar... boleh Al curhat?"
Seraya tersenyum Arsa menjawab lembut "Boleh dong All... telingaku selalu siap mendengarkan". Allina memulai cerita.

"Ar... akhir-akhir ini All risih dengan yang namanya Pak Samsul, dari divisi sebelah. Kamu tahu kan Ar...? Dia kan sudah punya istri, masa bulan lalu dia bilang suka sama aku... serem kan...?"

Ada pukulan keras menghantam dada Arsa. Ternyata bukan hanya dirinya yang menyukai Allina.

"Belum lagi Atar, dan Harry yang minggu lalu menyatakan cinta lewat bunga di halte bus. Mereka kayak janjian loh Ar... dan bersaing ngedapetin aku. Aku bingung Ar... harus gimana. Aku udah tolak mereka secara halus, dan bilang kalau aku sudah punya pacar, Tapi mereka semua tak patah arang. Malah semakin semangat mencuri perhatianku. Barusan aja Pak samsul menawarkan jasa mengantarkan aku pulang Ar... Makanya aku belum berani keluar dari sini."

Arsa mencoba tenang. Lalu bergumam "Berarti selain pacar kamu ada empat orang yang juga mengharapkan kasih sayang kamu All...".

Dahi Allina mengernyit "Empat Ar...? Tiga lah..."

Arsa kini tertawa lepas, lalu memasang jari tangannya "Lihat Allina yang manis, kita hitung ya, tadi kamu bilang Pak Samsul, Atar, dan Harry, suka sama kamu".

Allina pun ikut tertawa, dalam fikirannya temannya yang satu ini tak bisa menghitung rupanya.

"Yang satunya lagi aku All...?"

Arsa akhirnya mengucapkan kalimat itu. Dengan nada yang penuh kesungguhan. Perlahan namun pasti. Matanya tak melepaskan pandangan, tetap tertuju pada gadis yang dipujanya selama 4 tahun.

Allina tersentak kaget. Tawanya yang lepas, kini terhenti, berganti mimik muka memerah. Sedikit tak yakin,

"Ar... tolong ulangi kata-kata mu tadi... apa aku tak salah dengar?".

Arsa memperdalam tatapannya, seolah meyakinkan gadisnya, "All... dengarkan baik-baik, benar, aku menyukaimu sejak first time kita ketemu, 

Sejak aku melihatmu di sini. Tempat kerja ini yang menjadi saksi bisu tumbuhnya perasaanku kepadamu, Tempat ini juga yang melahirkan benih-benih rasa yang aku punya, Lalu rasa itu tumbuh subur dan semakin subur seiring berjalannya waktu. Aku, kamu, sering jalan bersama dalam perjalannan tugas. Saat aku bisa memboncengmu ada perasaan tersendiri selain sekadar membonceng rekan kerja. Saat kita makan siang bersama ada perasaan yang selalu bertambah dalam kepadamu. 

Senyummu, gerak-gerikmu, caramu berbicara, membuat aku semakin terpesona. Aku benar-benar minta maaf atas pengakuan ini. Aku tak peduli kamu akan menganggapku apa, tapi yang penting sekarang aku lega, akhirnya kalimat-kalimat ini meluncur juga. Semoga bukan hanya telingamu yang mendengarnya All... Aku harap ini sampai ke hatimu."
Arsa menghela napas panjang. Ia bahkan tak percaya kali ini ia bisa mengatakan semuanya tanpa beban dan keraguan. Lancar tidak terbata-bata.

Ada selembar beban hilang dari rongga dadanya. Kini rasanya Arsa bisa bernapas lebih lega.

Allina terpaku, diam tanpa kata. Wajahnya tertunduk, mati kutu di depan Arsa. Ia tak percaya jika laki-laki yang semula ia kira hanya menganggapnya sahabat itu ternyata memiliki perasaan yang dalam, dan berani menyimpannya lama sekali.

Lalu, "Ar... Kenapa baru sekarang kamu mengatakannya?"

Arsa lagi-lagi menghela napas, kini ia tak sanggup memandang mata lawan bicaranya. "Aku tak tahu All. Saat kamu menghampiriku tiba-tiba keberanian itu muncul begitu saja." Nada bicara Arsa kini datar. Seolah ada alasan yang lebih tepat daripada apa yang baru saja ia katakan.

"All, Boleh aku tahu, apakah ketiga orang yang menyukaimu pernah berkunjung ke rumah?"
Allina heran, menapa Arsa bertanya demikian.

"Kenapa Ar?"

"Gak apa-apa, aku hanya cemburu," ujar Arsa.
Matanya tertuju pada lantai, kemudian mendongak menatap langit-langit.

"Maafkan aku Ar... harusnya jika sebelumnya aku tahu tentang perasaanmu aku tak perlu menceritakan ini semua". Ucap Alliana penuh penyesalan.

"Tak apa-apa All, toh aku untukmu bukan siapa-siapa..."
Allina mendongak, seolah berpendapat lain Siapa bilang kau tak berarti apa-apa?

"Enggak Ar," sangkal Allina.

"Enggak, kenapa Allina?"

"Aku juga memiliki perasaan yang sama. Dulu aku pernah benar-benar yakin jika kamu menyukaiku. Perhatianmu yang aku rasa lebih hangat, caramu memperlakukan aku berbeda dengan perlakuanmu terhadap orang lain. Namun kemudian semua menjadi samar ketika aku tahu kau pun terlalu akrab dengan semua orang. Aku pikir aku hanya dianggap teman biasa. Sama seperti yang lainnya."

Bagai terbang di angkasa ketika seorang Garra Arsana mendengar penjelasan Allina. Hatinya kini penuh dengan taman bunga, bermekaran di mana-mana.

"Oke All, kita sekarang sama-sama tahu perasaan masing-masing. Aku janji akan menjaga rasa ini untukmu."
Alliana mengangguk perlahan, dengan binar mata kebahagiaan.

"Tapi Ar, bagaimana dengan Ammy?"

"Aku pun tak tahu All. Aku dan dia sebentar lagi menikah, tapi aku cukup merasa lega telah menyatakan ini semua kepadamu. Setidaknya aku tidak memendam perasaan ini berlarut-larut, ya kan?"

"Baik Ar. Aku akan simpan titipan rasamu di sini di salah satu sudut hati ku".

*

Jam telah menunjuk angka 09.00. Arsa bergegas mandi, lalu menyalakan laptop di meja kerjanya. Membuka file kerjaan, bersiap menyelesaikan tugas.

Waktu berlalu, azan Zuhur berkumandang. Saatnya beristirahat dan menunaikan kewajiban kepada Yang Maha Kuasa.

Selepas solat Zuhur, ponselnya berdering. Nomor Allina memanggil.

"Ya,All?"

"Ada dokumen yang harus dikirim ke Pak Bos. Beliau minta hari ini juga sampai."

"Oh, begitu.Kamu mau kirim pakai apa?"

"Aku akan mengantarkannya langsung saja, kebetulan aku ada keperluan mendesak dengan jalan searah kediaman Pak Bos."

"All, jangan pergi."

"Kenapa?"

"Bahaya. rumah Pak bos terlalu jauh dari tempatmu."

"Lalu?"

"Biar aku saja yang mengantar," tiba-tiba kalimat itu terlontar. Padahal bisa saja dokumen itu dikirim menggunakan jasa pengiriman.

"Baiklah, kita ketemu, kamu jangan lupa pakai masker ya! takut Corona"
Keduanya mengatur janji akan bertemu di suatu tempat.

Tiga puluh menit waktu tempuh ke tempat yang telah dijanjikan. Mereka bertemu dengan bekal rindu masing-masing. Rindu yang sesunguhnya terlarang, tak sepenuhnya boleh mereka rasakan. Ada hati-hati yang menggantung pada dada orang-orang yang menumpukan harapan kepada Arsa, juga hati seseorang yang mencintai Allina.

"Boleh kita makan siang dulu, All?"

Tanpa negosiasi, Allina menyepakati.

Sebuah tempat makan masih buka di saat PSBB dengan memberlakukan pengawasan dan aturan ketat.
Arsa menumpahkan rindunya, memandangi wajah cantik Allina di meja Restoran cepat saji. Mulai saat itu ia berjanji akan menjaga perasaan yang ia miliki, walau sesunguhnya ada separuh perasaan yang sama untuk Ammy.

Namun Arsa tak terlalu mengerti, mengapa kini ia merasakan kenyamanan yang luar biasa saat di dekat Allina. Arsa sadar, jika ia tak boleh terlalu larut dengan perasaan itu, Arsa takut menyakiti Ammy. Begitupun Allina tak berani terlalu banyak menumpahkan rasa kepada Arsa, ia tahu persis Huda mencintainya mati-matian. Saat itu mereka hanya makan bersama, sekadar mencari cara bagaimana mencuri waktu bertemu dalan urusan pekerjaan.

Hanya 30 menit mereka bertemu di sana. Untuk kemudian berpisah dan melanjutkan pekerjaan masing-masing. Arsa pergi mengantar dokumen, dan Allina kembali ke rumahnya. Sebelum berpisah Allina meberikan tiga buah permen kepada Arsa. Allina menyerahkannya ke tangan Arsa. Kemudian dengan lembut, tangan Allina menggenggam tangan Arsa, membantu Arsa mengepalkan tangannya.

"Ar, aku kasih permen ini untuk teman perjalananmu melaksanakan tugas lapangan," ucapannya diselingi dengan tawa kecil yang menambah manis parasnya. "Kenapa hanya tiga? Kerena hanya tiga kata yang aku punya untuk mu. Yaitu, I Love U," pipinya merona merah.

Kemudian, "hanya tiga kata yang aku rasakan sekarang, yaitu I Need U, dan hanya ada tiga detik dalam kehidupanku tentang kamu, yaitu detik pertama ketika aku mendengar kejujuranmu, detik kedua saat aku merasakan getar cinta yang hadir setelah kejujuranmu, detik ketiga yaitu saat aku harus melepasmu kembali kepada Ammy, tunanganmu. Biarkanlah harapan kita menggantung di langit yang tinggi. Aku tak berani berharap bisa meraihnya Ar. Ammy lebih membutuhkanmu. Pergilah, hati-hati."

Mendengar itu semua, Arsa berjanji tak akan memakan permen itu sampai kapanpun. Akan ia jaga sebagai kenang-kenagan. Atau, bisa jadi, ia akan memakannya semua. Agar mendarah daging, larut di dalam darah, dan menggumpal bersama daging di tubuhnya. Tak akan pernah lepas.
Ia pergi mengantar dokumen. Suara gumamannya samar-samar terdengar berlomba dengan deru kendaraan di jalanan.

"Allina... lima puluh persen dari hatiku telah menjadi milikmu. Walau aku tahu kita tak akan mungkin bias bersama".

Kendaraan Arsa melaju, membawa pengemudinya menjauh dari restoran cepat saji. Allina masih tertegun dengan separuh hatinya yang dibawa pergi. Sedangkan Arsa, pergi menjauh membawa seribu gundah, dan tiga buah permen di saku celana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun