Allina pun ikut tertawa, dalam fikirannya temannya yang satu ini tak bisa menghitung rupanya.
"Yang satunya lagi aku All...?"
Arsa akhirnya mengucapkan kalimat itu. Dengan nada yang penuh kesungguhan. Perlahan namun pasti. Matanya tak melepaskan pandangan, tetap tertuju pada gadis yang dipujanya selama 4 tahun.
Allina tersentak kaget. Tawanya yang lepas, kini terhenti, berganti mimik muka memerah. Sedikit tak yakin,
"Ar... tolong ulangi kata-kata mu tadi... apa aku tak salah dengar?".
Arsa memperdalam tatapannya, seolah meyakinkan gadisnya, "All... dengarkan baik-baik, benar, aku menyukaimu sejak first time kita ketemu,Â
Sejak aku melihatmu di sini. Tempat kerja ini yang menjadi saksi bisu tumbuhnya perasaanku kepadamu, Tempat ini juga yang melahirkan benih-benih rasa yang aku punya, Lalu rasa itu tumbuh subur dan semakin subur seiring berjalannya waktu. Aku, kamu, sering jalan bersama dalam perjalannan tugas. Saat aku bisa memboncengmu ada perasaan tersendiri selain sekadar membonceng rekan kerja. Saat kita makan siang bersama ada perasaan yang selalu bertambah dalam kepadamu.Â
Senyummu, gerak-gerikmu, caramu berbicara, membuat aku semakin terpesona. Aku benar-benar minta maaf atas pengakuan ini. Aku tak peduli kamu akan menganggapku apa, tapi yang penting sekarang aku lega, akhirnya kalimat-kalimat ini meluncur juga. Semoga bukan hanya telingamu yang mendengarnya All... Aku harap ini sampai ke hatimu."
Arsa menghela napas panjang. Ia bahkan tak percaya kali ini ia bisa mengatakan semuanya tanpa beban dan keraguan. Lancar tidak terbata-bata.
Ada selembar beban hilang dari rongga dadanya. Kini rasanya Arsa bisa bernapas lebih lega.
Allina terpaku, diam tanpa kata. Wajahnya tertunduk, mati kutu di depan Arsa. Ia tak percaya jika laki-laki yang semula ia kira hanya menganggapnya sahabat itu ternyata memiliki perasaan yang dalam, dan berani menyimpannya lama sekali.
Lalu, "Ar... Kenapa baru sekarang kamu mengatakannya?"