1. Perhatikan situasinya
Menurut Santrock (2011), emosi merupakan perasaan atau pengaruh (afek) yang terjadi ketika seseorang berada dalam situasi atau interaksi tertentu yang dianggap penting, terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan mereka.Â
Berdasarkan definisi ini dapat kita simpulkan bahwa untuk memahami perasaan anak, maka kita perlu memahami situasi yang terjadi di sekitarnya yang dapat membangkit emosi tersebut.
Pada saat kita berada di posisi Bu Nana, perhatikanlah situasi yang terjadi pada Dimas. Ia terbangun di tengah malam, mendapati dirinya yang sebagian besar penuh dengan kotoran dan tangannya terbelit selang infus. Sebuah situasi yang terjadi di luar kebiasaan sehari-harinya bukan?Â
Tentu wajar saja jika ia merasakan gejolak emosi tertentu untuk bereaksi terhadap situasi yang kurang menyenangkan itu. Hal selanjutnya yang perlu kita pahami adalah situasi yang kurang menyenangkan akan mendatangkan emosi negatif, yang tentu saja diekspresikan Dimas melalui tangisan.
Kemampuan kita sebagai orang tua untuk memperhatikan situasi sekitar dan memahaminya sebagai sesuatu yang dapat menimbulkan gejolak emosi pada anak, akan membantu kita untuk melakukan tahap selanjutnya, yaitu berempati terhadap perasaan anak. Â
2. Tempatkan diri di posisi anak (berempati terhadap perasaan anak)
Tahap selanjutnya setelah kita memperhatikan situasi yang menjadi pemicu gejolak emosi yang dirasakan anak adalah mencoba menempatkan diri di posisi anak.Â
Cobalah untuk melihat situasi dari sudut pandang anak. Proses ini disebut berempati terhadap perasaan anak, tahapan inti dalam upaya memahami dan menerima perasaan anak.
Hayatilah jika seandainya kita sedang berada di dalam tubuh Dimas. Tiba terbangun di tengah malam dan menghadapi situasi yang tidak menyenangkan seperti itu. Gejolak emosi apa yang akan muncul? Perasaan apa yang akan kita rasakan? Pertama-tama mungkin muncul perasaan kaget, lalu muncul pula perasaan jijik melihat badan dan pakaian kita terkena kotoran.
Perasaan itu pula lah yang dirasakan oleh Dimas, yang ia ekspresikan dengan menangis, sebagaimana karakteristik komunikasi non-verbal yang umum dimiliki anak-anak.Â