Mohon tunggu...
Dian Kelana
Dian Kelana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengelana kehilangan arah

www.diankelana.web.id | www.diankelanaphotography.com | www.diankelana.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mencari Kakak

2 Maret 2010   05:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:40 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Aku digiring anduang Pidan naik kerumahnya, dia juga mengajak orang yang mengantarku naik kerumah. Aku diperkenalkan pada suaminya, juga anak-anaknya. Yang tertua Rahmaniza satu-satunya perempuan, nomor dua Alfian, dan sibungsu Muhammad Dafris. Kedua kemenakan-ku yang laki-laki itu nampaknya pemalu, karena begitu aku naik kerumah, mereka bersembunyi di kamar, tak mau menemuiku ketika diajak untuk bersalaman. Sedangkan nama sumando-ku Abdul Azis, demikian dia menyebutkannya.

Setelah kakakku menyajikan minuman, dia menoleh padaku; "Lah makan ang, Mi...?

Aku hanya diam, ketika kakakku menanyakan sudah makan apa belum. Aku malu sama sumando-ku untuk menjawab, juga pada orang yang mengantarku tadi. Sebenarnya aku memang sedang lapar. Godok yang kubeli dan kumakan di Biaro tadi, rupanya sudah tak sanggup menangkal rasa laparku.

"Tantu iyo inyo lapa, dima pulo inyo kamakan sapanjang jalan."

Rupanya sumandoku mendengar ratapan perutku, yang manggareok belum ketemu nasi sejak sarapan di kampung tadi pagi, sebelum aku berangkat.

Kakakkupun menyiapkan makanan, sementara dia bekerja, aku shalat ashar. Sumandoku meneruskan obrolannya dengan tamunya yang tadi mengantar aku.

Setelah selesai makan, tak lama orang yang mengantarkan aku pamit.

Tinggallah kami bertiga melanjutkan obrolan yang terputus. Anak-anak kakakku asyik pula dengan mainan mereka. Sebenarnya tidak tepat kalau kami dikatakan ngobrol, kendali obrolan dipegang oleh sumandoku, sesekali ditinggkah oleh kakakku, dan "obrolan" itu tak lebih dari sekadar arena tanya jawab antara mereka denganku. Bagaimana keadaanku, sekolahku, keadaan keluarga yang lain, amai Uda dan keluarganya, etek Timah beserta suami dan anak-anaknya, rumah gadang yang kutinggali sendiri, kebun yang disaduokan, sawah yang tergadai, yang aku tidak tahu siapa yang memagangnya.

Obrolan kami sampai kenapa mereka pulang dari rantau di Pakanbaru, dan menetap dikampung. Tuan Azis, menceritakan, mereka pulang kampung karena disuruh oleh kedua orang tuanya yang sudah tua. Sawah ladang mereka tidak ada yang megurus. Sebagai kakak yang tertua, dia diberi tangung jawab untuk mengelola semuanya. Sementara adik-adiknya kecuali yang bungsu dan seusia denganku, juga pada pergi merantau dan telah "menjadi orang", tidak mungkin pulang dan tinggal di kampung.

Selesai shalat magrib, kami pergi kerumah orang tua suami kakakku, juga anak-anaknya yang pemalu itu. Rumahnya tepat seperti yang ditunjukkan orang yang mengantarkan aku siang tadi. Dikelilingi oleh sawah, kecuali bagian samping yang bersisian dengan rumah orang lain yang berhadapan langsung dengan jalan. Dibelakang rumahnya terdapat sebuah tabek yang panjangnya seukuran rumahnya.

Setelah tuan Azis membuka pintu dan mungucapkan salam, kami masuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun