Mohon tunggu...
Dian Kelana
Dian Kelana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengelana kehilangan arah

www.diankelana.web.id | www.diankelanaphotography.com | www.diankelana.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mencari Kakak

2 Maret 2010   05:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:40 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Libur sekolah telah tiba. Dalam kesendirianku bermain disekitar rumah, aku teringat kepada kedua anduang-ku. Anduang Ipah aku tidak tahu dimana kini dia berada setelah menikah, selain kota tempat tinggalnya, Pontianak . Karena sejak perpisahan kami dulu, tak pernah ada lagi komunikasi diantara kami. Anduang Pidan, kudengar pembicaraan diantara keluarga ibuku, dia juga sudah menikah, dan kini tinggal dikampung suaminya di Padang Tarok.

Padang Tarok, sebuah Nagari yang terletak antara Bukittinggi dan Payakumbuh, sekitar 20 kilometer dari Bukittingi, masuk dalam daerah Kabupaten Agam. Aku tahu nagari ini, karena aku pernah melihatnya dari atas kereta api waktu berhenti di stasiun Padang Tarok. Waktu itu aku dalam perjalanan pulang dari Panti Asuhan Muhammadiyah Payakumbuh.

Aku lalu mengatakan keinginanku kepada amai Uda, bahwa aku ingin pergi ke Padang Tarok mengunjungi anduang Pidan. Beliau mengizinkan aku pergi dan membekali aku uang Rp. 25,-

Tanpa pikir panjang lagi aku segera mengambil kain sarung, satu-satunya perlengkapanku. Hatiku begitu bahagia, aku akan segera bertemu dengan kakakku yang telah begitu lama kurindukan.

Hari masih pagi, belum jam sepuluh. Aku berangkat, berjalan kaki dari rumahku di dusun Buah Baurai. Aku bilang itu rumahku, karena memang satu-satunya yang menunggui rumah itu sekarang adalah aku, setelah umi pergi dibawa dan dibunuh oleh tentara pusat, lalu disusul dengan meninggalnya nenekku yang sudah begitu tua dan sakit-sakitan, Etekku sekeluarga juga sudah tinggal dirumahnya sendiri, yang dibangun lebih dekat kejalan besar, disudut rumah gadang. Semua kakak-kakakku perempuan maupun yang laki-laki juga telah pergi merantau dengan nasibnya masing-masing. Tinggallah aku yang menunggui rumah gadang peninggalan orang tua kami itu, sejak aku pulang kampung karena keluar dari Panti Asuhan Muhammadiyah Payakumbuh tahun 1965, sewaktu aku masih duduk di kelas dua Sekolah Dasar. Aku menunggui rumah itu hanya siang hari. Malam harinya, sebagaimana umumnya anak laki-laki Minangkabau, tidurnya di surau bersama teman-teman sebaya yang sama-sama belajar mengaji di surau tersebut.

Aku melewati jalan yang setiap hari aku tempuh menuju sekolahku, dari rumah jalan menurun menuju Ngalau Rangkak, persawahan yang membentang dikiri kanan jalan, lalu mendaki lagi melewati dusun Koto Sariak yang tak berpenghuni. Melewati dua tikungan dusun Tanjuang Kudu, sampailah aku di sekolah dasar Ilia Lamo tempat aku belajar menuntut ilmu, itu juga berarti aku telah berjalan sekitar satu kilometer.

Disudut halaman sekolah terdapat simpang tiga, aku mengambil jalan kekiri yang menurun, memasuki jorong Koto Nan Gadang, tapi penduduk kampung lebih sering menyebutnya Rumah Tinggi, lepas dari turunan sebelah kanan jalan terdapat Masjid Jamik Taqwa, tempat berkumpulnya penduduk jorong Ladang Darek, Binu dan Koto Nan Gadang untuk melaksanakan shalat Jum'at. Setelah melewati masjid jalan kembali mendaki, pendakian itu berakhir simpang Gobah. Kekiri aku akan sampai di Jorong Binu, di kaki Bukit Barisan yang membujur dari utara hingga ke selatan pulau Sumatera. Aku mengambil jalan kearah kanan, melalui dusun Rumah Gadang dan kemudian bersambung dengan dusun Balai Panjang kampung ayah tiriku, atau ayah dari kak Inan, Ipah, Pidan dan tuan Salim.

Lewat sedikit dari Balai Panjang, terdapat persimpangan empat jurusan. Persimpangan ini dinamai Simpang Katapiang, karena persis di sudut tenggara persimpangan tersebut tumbuh satu batang pohon Ketaping yang menjulang tinggi, yang usianya tidak diketahui dengan pasti, yang pasti sudah puluhan tahun, atau mungkin juga sudah diatas seratus tahun, wallahu'alam. Pohon ketaping ini beredar kabar ditunggui oleh mahluk halus yang sering keluar pada malam hari, yang menyerupai tentara Belanda sedang berbaris. Dan konon ceritanya hantu tentara Belanda ini adalah tentara Belanda yang tewas menghadapi perlawanan rakyat Kamang dalam perang Kamang yang mencapai puncaknya tanggal 15 Juni 1908.

Simpang Katapiang kalau malam gelap, sepi dan menyeramkan, karena pohon-pohon yang ada disekitarnya juga tumbuh subur dan berdaun rimbun. Rumah penduduk terdekat berjarak sekitar 200 meter, dari persimpangan. Tidak begitu jauh sebenarnya, tapi hal ini tidak mengurangi keseraman di sekitarnya, karena rumah penduduk setempat juga tidak punya penerangan yang memadai. Penerangan mereka hanya lampu dinding yang cahayanya hanya cukup untuk menerangi ruangan dalam rumah mereka. Memang ada diantara penduduk yang memasang lampu sitarongkeng, nama julukan masyarakat setempat untuk lampu Petromax yang cahayanya lebih terang. Tapi itu hanya untuk beberapa jam, karena begitu jarum jam sudah menunjukkan angka delapan lebih beberapa menit, lampu tersebut akan dimatikan, dan yang menyala sampai pagi adalah lampu dinding, yang kalau saat tidur telah tiba, cahayanya dibuat seredup mungkin, sekadar mempertahankan lampu itu hidup, yang bila tuan rumah terbangun tengah malam, tidak repot mencari korek api. Bahkan adakalanya lampu itu dimatikan, sehingga keadaan rumah gelap total. Untuk keperluan darurat, mereka meletakkan lampu senter didekat tempat tidur atau di bawah bantal. Lampu sitarongkeng akan menyala sampai pagi, bila tuan rumah baralek. Atau mendapat musibah, misalnya ada anggota keluarga yang meninggal yang belum dikuburkan.

Simpang Katapiang ini posisinya hampir persis mengikuti arah mata angin. Aku datang dari utara, simpang kekiri ketimur terdapat dusun Tarok. Bila diteruskan sekitar dua kilometer lagi, kita akan sampai di jorong Guguk Rang Pisang, kampung bako-ku atau keluarga almarhum ayahku.

Bila kita mengambil jalan kearah sebaliknya, ke barat. Dusun pertama yang dilewati adalah dusun Luak Anyia. Bila kita menempuh jarak yang sama kebarat, seperti ke Guguk Rang Pisang, kita akan sampai di Jalan Basimpang, yang disana membentang jalan lurus dari Pintu Koto yang berujung di utara, di Tanah Panyurek di kaki Gunuang Aru, Bukit Barisan, layaknya jalan arteri yang membelah dua nagari Kamang Ilia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun