Setelah stoplat Ujung Guguk ini, baru memasuki stoplat Padang Tarok, kemudian stoplat Simpang, terus Piladang dan berakhir di Stasiun Payakumbuh.
Asyik mengenang dan menikmati perjalanan naik kereta, tanpa terasa kereta telah memasuki Stasiun Baso. Aku masih ingat, di stasiun ini lokomotif akan "minum" dari pipa dekat tanki air diujung stasiun. Pipa ini menjulur beberapa meter, sehingga ujungnya yang mencorong kebawah persis di ketel lokomotif. Bila ketelnya telah penuh, pipa ini dapat diputar kesamping keluar jalur kereta, sehingga tidak tertabrak oleh lokomotif maupun rangkaian kereta yang berjalan.
Begitu juga, bila dari Bukittinggi kereta mendorong gerbong dari belakang, maka di stasiun Baso ini lokomotif akan pindah kedepan, kemudian menarik rangkaian kereta yang berada di belakangnya menuju Payakumbuh.
Setelah berhenti sekitar setengah jam, kereta kembali berangkat. Aku yang tadi berada di gerbong paling belakang, pindah kegerbong paling depan, dan mendapatkan tempat duduk yang kuidamkan, di pinggir dekat jendela. Posisi dudukkupun berubah, tidak duduk menyender dengan kaki terjuntai, saling berhadapan dengan penumpang di depanku. Tapi aku naik keatas bangku, bersimpuh dan mengganjal lututku dengan kain sarung yang dilipat tebal, agar lututku tidak sakit beradu dengan kayu alas bangku. Aku melihat keluar, menikmati pemandangan alam daerah yang dilewati kereta. Aku baru mengubah posisi dudukku ketika kondektur memeriksa karcis penumpang. Setelah kondektur lewat, dan karcisku telah dilubangi dengan alatnya yang seperti tang, aku kembali duduk seperti semula, menikmati alam yang ada sejauh mata memandang.
Begitu memasuki hamparan persawahan yang begitu luas, setelah melewati stoplat Ujung Guguk, akupun merasa perjalananku dengan kereta api ini juga akan segera berakhir, karena didepan sana, sekitar empat atau lima kilometer lagi adalah stoplat Padang Tarok, dimana nanti aku akan turun, dan memulai pencarian terhadap kakakku.
Dudukku sudah tidak tenang lagi, aku tak bisa lagi menikmati pemandangan indah persawahan luas, disepanjang jalan labuah luruih ini. Rasa taragak ingin bertemu, bercampur dengan kecemasan dan rasa was-was. Kalau aku tidak bertemu dengannya, aku harus kembali pulang. Dan itu berarti aku harus menunggu kereta terakhir yang berangkat jam 4 sore dari Payakumbuh, dan paling cepat aku sampai di Biaro jam 6 atau pas waktu magrib, dilanjutkan dengan berjalan kaki menempuh kegelapan malam sejauh tujuh kilometer menuju kampungku, tanpa penerangan sepanjang jalan, sendiri. Sedangkan aku sendiri sangat takut akan hantu yang gentayangan di kegelapan malam. Hii.... Seram!.
Karena hatiku sudah tidak tenang, dan pikiran mulai agak kalut membayangkan apa yang akan terjadi bila aku tak bertemu dengan kakakku, aku tak sadar kalau kereta api telah sampai dan berhenti di stoplat Padang Tarok. Aku terkejut dan segera berlari menuju pintu keluar dan tangga menuju peron stasiun. Ketika aku sampai di tangga kereta telah mulai bergerak hendak berangkat lagi. Untunglah aku berada diatas peron, sehingga aku tak perlu meloncat tinggi dari tangga kereta, seperti aku naik di Biaro tadi siang. Aku masih bisa turun dengan baik tanpa terjatuh, walau keseimbangan badanku agak sedikit goyang. Aku lalu berdiri menenangkan diri, dan menunggu kereta berjalan menjauh meninggalkan stasiun yang telah kosong. Karena penumpang yang telah turun duluan langsung meninggalkan stasiun tanpa menunggu kereta berangkat.
Ketika kereta telah benar-benar keluar dan menjauh meninggalkan stasiun, aku melihat kesekeliling. Tak ada lagi siapa-siapa. Petugas stasiunpun tak lagi terlihat.
Aku menelusuri rel kearah berlawanan, meninggalkan stasiun menuju deretan rumah dipinggir jalan raya Bukittinggi - Payakumbuh yang bersisian dengan rel kereta api, rumah yang juga berfungsi sebagai warung. Aku lalu mendekati salah satu warung, dan menanyakan nama kakakku Lifdar. Diantara pembeli maupun yang punya warung lalu saling bertanya. Tapi semuanya mengatakan tidak tahu dan tidak kenal dengan nama yang kusebutkan.
Apa yang kucemaskan diatas kereta api tadi mulai membayang. Aku melangkah meninggalkan mereka dibawah tatapan yang saling bertanya-tanya. Beberapa rumah dari warung tadi aku bertanya lagi di sebuah warung kopi, tapi mereka juga tidak tahu dengan nama yang kusebutkan. Tapi salah seorang berinisiatif menanyakan kampung asalku, ketika aku menyebutkan Kamang, salah seorang diantaranya seperti mengingat sesuatu. Dan dia lalu melemparkan pertanyaan kepada yang lain.
"Kok iDan bini iAjih ndak? Mereka lalu saling pandang lagi, salah seorang lalu bertanya lagi padaku: "Sia namo laki kakak waang tu?