Mohon tunggu...
Dian Kelana
Dian Kelana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengelana kehilangan arah

www.diankelana.web.id | www.diankelanaphotography.com | www.diankelana.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mencari Kakak

2 Maret 2010   05:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:40 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Belum begitu jauh aku berjalan mengharungi lautan persawahan ini, aku melewati sebuah masjid di sebelah kanan jalan. Masjid ini terkenal dengan panggilan Surau Labuah. Masjid ini sering mengadakan pengajian mingguan. Pengunjungnya tidak hanya warga sekitar, tapi juga dari nagari lain. Seperti keluarga ayahku, Inyiak aki, etek, angah dan tuo, sering mengikuti pengajian disini, juga beberapa penduduk Guguk Rang Pisang lainnya.

Aku terus melangkah meneruskan perjalanan. Keringat telah membasahai seluruh tubuhku yang ditimpa teriknya matahari siang. Tapi aku tak menghiraukannya, rasa rindu dan harapan untuk bertemu dengan anduang Pidan, mengalahkan panasnya matahari dan penatnya berjalan, serta perihnya telapak kakiku yang berjalan tanpa alas.

Panampung kulewati, tibalah aku di Nagari Biaro Gadang. Dari jauh aku telah melihat stoplat kereta api Biaro, yang terletak diseberang jalan raya Bukit Tinggi - Payakumbuh. Akupun melihat mobil-mobil yang melintas dijalan raya yang telah beraspal mulus itu. Berbeda dengan jalan dikampungku yang masih jalan tanah, maupun jalan yang baru saja kulewati yang sebagian diantaranya telah ditimbuni dengan batu kerikil tanpa aspal, yang membuat kakiku sakit bila terpijak batu yang runcing. Dari masjid mulai terdengar suara azan zhuhur.

Akhirnya aku sampai juga di Stoplat Kereta Api Biaro. Inilah akhir perjalananku berjalan kaki sejauh tujuh kilometer dari kampungku. Perjalananku selanjutnya akan memakai jasa kereta api, yang dikampung sering di panggil Mak Itam.

Setelah menyeberang jalan raya beraspal, yang panas ditimpa matahari, sehingga aku harus berlari kencang menyeberanginya agar telapak kakiku tak melepuh kepanasan. Aku langsung menuju loket penjualan karcis. Jantungku berdebar, takut kalau uangku tidak cukup untuk membeli karcis. Uangku hanya Rp.25,- pemberian mai Uda, sewaktu aku pamit tadi pagi.

Dengan rasa harap-harap cemas, aku mendekati loket karcis. Semakin dekat ke loket jantungku semakin keras berdebar. Lalu, langkahku terhenti. Timbul rasa takut, aku tertunduk melihat uang yang aku pegang, bagaimana kalau.... bagaimana kalau.... bagaimana kalau..... Mataku terasa panas, ada yang tergenang disana yang hampir menetes.

"Kama ang, Jang?"

Suara yang datang dari arah dalam loket karcis itu menyadarkan aku. Aku melihat bapak yang berada disana itu juga melihat padaku, sambil tertunduk dengan rasa was-was aku lalu mendekati pintu loket yang tingginya sebatas hidungku.

"Ka Padang Tarok, pak! Jawabku sambil menjulurkan tangan menyerahkan uang yang ada di genggamanku padanya. Aku tak berani melihat kedalam loket menatap bapak penjual karcis kereta itu. Takut, kalau, kalau....

Tak lama kemudian tangan bapak penjual karcis itu terjulur lagi.

"Jo sia, wa ang? Tanyanya sambil menyerahkan selembar karcis, dan sejumlah uang kembalian padaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun