Salah seorang yang berada diwarung pertama tadi, rupanya mengikutiku, dan kemudian ikut bergabung.
"Awak alun tau lai, sabab inyo manikah dulu di Pakanbaru..."
Mendengar kata Pakanbaru, laki-laki yang pertama menjawab tadi, semakin yakin akan dugaannya. Dia lalu minta tolong kepada salah seorang yang termuda diantara mereka yang berada diwarung itu, mengantarkan aku kerumah orang yang disebutkannya tadi. Diiringi bermacam komentar, yang diantaranya mengatakan ketegaan orang tua yang melepaskan anak kecil seperti aku berjalan sendiri. Ada juga yang memuji keberanianku melakukan perjalanan pencarian ini. Serta komentar lain yang tak lagi jelas kudengar, karena aku semakin jauh dari mereka.
Aku berjalan mengiringi sipengantar dari belakang. Kami berjalan searah dengan jalan aku keluar dari stasiun tadi, melawan arah datangnya kereta api, dipinggir jalan raya Bukittinggi - Payakumbuh. Sampai dipersimpangan, sekitar duaratus meter dari stasiun. Kami belok kiri melintasi rel kereta api, memasuki jalan yang menuju perkampungan. Tak jauh dari situ, disebelah kanan jalan raya, aku melihat agam, yang airnya mengalir menuju proyek PLTA Batang Agam.
Setelah melewati rel, dia mengajak aku berjalan berdampingan. Jalan yang kami lewati cukup lebar, walaupun tidak beraspal, dan hanya ditutupi pasir, tapi bisa dilewati mobil. Dikiri kanan jalan adalah persawahan yang diselingi oleh satu dua rumah. Sambil mengobrol dia menanyakan kisah perjalananku, dia lalu menunjuk sebuah rumah ditengah persawahan, yang disampingnya ada tabek ikan, dan mengatakan itu adalah rumah orang tua Azis suami kakakku. Aku melihat sekilas rumah yang ditunjuknya itu, aku tak menjawab, karena pikiran dan hatiku belum benar-benar tenang. Dia menanyakan lagi dengan siapa aku berjalan dari kampungku, dan hubunganku dengan orang yang aku cari, tapi jawabanku hanya setengah hati, perasaanku belum benar-benar tenang. Kami belok kekanan dan berjalan diatas pematang sawah. Kami berbelok beberapa kali kekiri maupun kekanan mengikuti alur pematang sawah. Satu pertanyaan yang tak dapat ku jawab. Kenapa berani sekali berjalan seorang diri!. Dia juga terkejut ketika aku menjawab umurku 11 tahun dan kelas 4 SD.
Sawah-sawah yang kami tempuh semakin dekat ke kaki bukit, hingga pematang terakhir, kami sudah memasuki perkampungan lagi. Tapi antara rumah yang satu dengan yang lain berjauhan. Kami melewati beberapa pohon kelapa, melangkahi pelepah daun kelapa tua dan kering yang nampaknya baru jatuh dan melintang dijalan setapak yang kami lalui. Kami sampai disebuah rumah panggung yang sudah tua. Dinding kayunya sudah mulai kelihatan lapuk. Atapnya yang terbuat dari seng sudah karatan dimakan usia
Dihalaman rumah, orang yang mengantarku berhenti, dan memanggil.
"Uni Dan....!, uni Dan....!"
"Oi, sia, tu...? Darahku berdebar, karena suara itu kukenal, tapi aku ragu, karena dialeknya berbeda, bukan dialek kampungku. Terdengar langkah kaki di lantai papan rumah panggung itu, dan kemudian muncullah dari jendela wajah yang sedang kucari!
"Mi, wa ang Mi?" katanya setengah berteriak sambil bergegas menuju tangga. Satu wajah lagi muncul dari jendela, seorang laki-laki tersenyum padaku, aku bertanya dalam hati, mungkin ini suami kakakku anduang Pidan?.
Tapi aku tak sempat membalas senyumnya, karena kakakku telah sampai di halaman, dan memeluk aku sambil menangis, serta mengajukan pertanyaan yang tak putus-putusnya, sehingga tak satupun yang sempat terjawab. Aku hanya tertunduk diam, namun dihatiku terbersit rasa lega, karena pencarianku menemui kakakku tidak sia-sia.