Mohon tunggu...
Dian Kencana
Dian Kencana Mohon Tunggu... -

belajar hidup

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Bertepuk Tangan (?)

28 Mei 2013   18:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:53 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Ma, ibuku minta aku segera menikah.” kata-katanya tiba-tiba memecah sunyi. Semenjak beberapa waktu lalu, dia hanya terpekur dalam diam. berasyik-masyuk dengan pikiran sendiri. Berasa patung saja aku di sini.

”Baguslah. Biar ada yang urus kau!” komentarku singkat. Mataku masih menekuri segenggam buku yang sedari beberapa hari belakangan menemani waktu sengganku.

”Kok komentarnya begitu?” tanyanya bernada protes. Dahiku berkerut. Kuarahkan pandanganku kepada. Tak lama. Hanya sekejap. Tombo penasaran demi melihat ekpresinya yang kadang terliat aneh. Hahaaa.. #ups

”Trus maunya kau, aku komentar apa? Minta dicarikan?”

”Boleh.”

”Ternyata itu yang ditunggu..” gumamku sendiri sambil cengar-cengir tak jelas bentuk.

”Tapi.. jangan carikan yang terlalu shalihah, ya!”

”Heh? Permintaan macam apa pula itu? Di mana-mana orang yang paham agama macam kau ini, harusnya cari yang shalihah. Berapa kali sudah kakak kau si Farhan itu menjejali telingaku dengan ceramahnya yang tiada pernah putus bagai banjir bandang itu?”

”Sabar, sabar.. kenapa kau jadi sewot macam itu pula? Aku yang hendak nikah, bukan kau!” sahutnya tak kalah sengit.

”Tak paham juga kau nih! Tak lihat kau nasih kakak sepupuku itu, hah? Carinya yang cantik bening, suara merdu.. tapi apa yang dia dapat? Sakit hati! Ingin kau dapat istri macam itu? aku yang tak tega!” komentarku dengan suara meninggi. Tak urung gemas juga dibuatnya. Dia itu teman baikku. Teman sejak masih ingusan dulu. Tahu betul bagaimana sifat dan kelakuannya. Bahkan sampai apa yang dibutuhkan.

”Kenapa pula kau sewot, Ma?”

”Aku tahu laki macam apa kau ini, Burhan. Jauh-jauh ayahmu sekolahkanmu ke pondok sampai jual kebon. Kenapa pula pikiranmu masih primitif?”

”Kok bisa?”

”Tak kau pikir, hah? Kalo kau carinya bukan yang shalihah, lantas yang macam apa wujudnya? Pasti cari yang cantik, seksi, pakaian metet-metet sampek aku takut mereka tak bisa nafas itu? Fisik sekali! Jadi macam itu kau hargai perempuan?!” kugebrak meja. Dia terlonjak dari tempat duduknya.

”Aku ambil wudlu dulu. Panaaaasss berasa kena bocoran neraka di sini!” aku bangkit dari duduk. Dia melongo melihatku pergi. Diurutnya jantung yang sedari tadi terus dipacu.

”Salah minum obat tuh anak? Ato, obatnya lagi habis? Sakaw tuh cewek! Ckckck..”

Di tempat wudlu, kuhentak-hentakkan kaki ke lantai. Masih marah rupanya. Panassss! Buru-buru kuraih kran, kuputar, dan wuuuus.. air dingin mengalir menyentuh pori-poriku.

”Kayaknya seru kalo kuguyurkan saja ini air ke mukanya. Biar sadar dari mimpi!”, gumamku masih sedikit mangkel.

”Sudah dingin lagi? Dah shalat tobat belum kau?” tanyanya ketika melihatku kembali.

”Diam kau! Atau kuminta ke takmir masjid itu untuk gotong kau ke kolam. Biar digeburin!”

”Beneran? Yakin tega?”

”Tentu tega! Lihat saja!”. aku pun berlalu. Meninggalkannya yang masih bengong melihat reaksiku. Kulangkahkan kakiku memburu sebuah bangunan terpisah di belakang masjid.

Tok.. tok.. tok..

Krek.. sesosok lelaki paruh baya keluar dari dalam. Aku tersenyum lalu berucap salam. Kukatakan padanya apa hajatya menemuinya. Dia ngangguk-ngangguk paham.

”Itu pak, orangnya ada di sana. Di meja itu. tolong bantuannya ya, pak.” kataku dengan nada melas(?).

”Wuiiih.. gile tuh akhwat. Beneran dia mau nyeburin aku ke kolam!” katanya setengah histeris. Kulayangkan senyum mengejek. Kena kau! Batinku tertawa lepas. Lelaki di depanku dengan begitu gagahnya membawa seonggok sapu. Persis seperti seorang ayah hendak seret anaknya yang menolak pulang.

”Ampuuun pak! Saya janji nggak akan nakal lagi!” teriak Burhan dengan muka melas. Suaranya tercekat. Badannya gemetar. Aku menelan ledakan tawaku kuat-kuat. Khawatir tak sanggup menahan, aku pun mundur mengambil jarak dari lelaki itu.

”Ampun pak! Ampuuuuun dah! Janji nggak nakal lagi!” Burhan masih mengiba.

”Kamu itu!” digebukinya Burhan dengan ujung sapu.

Bruk.. bruk.. bruk..

Aaw.. aww.. www..

Air mata Burhan meluncur sempurna di pipi. Aku masih tergelak.

“Tahu rasa kau nantang aku! Hahaaaa..” gumamku sendiri yang masih bertahan menelan tawa.

”Sudah mba.. bukunya bisa diambil. Bapak jagain biar dia tak macam-macam.” kata lelaki itu. Matanya melirik tajam ke arah Burhan yang masih banjir airmata (buaya). Aku segera bereskan ”kekacauan” kecil di atas meja. Lalu bergegas kembali ke samping lelaki itu.

”Sudah pak.”

”Baik. Ayo pergi.” sahut lelaki tua itu masih sambil sesekali melirik Burhan yang mlongo tak percaya.

”Lain kali hati-hati ya Neng. Tak biasanya ada orang gila masuk pekarangan masjid. Heran juga, kemana satpam yang biasa mangkal di gerbang depan.” katanya penuh simpati. Aku tersenyum. Berucap terimakasih, salam, lantas melenggang pergi keluar pekarangan. Puas aku tersenyum.

”Tau rasa kau!” pekiknya pelan.

”Hoooooey! Kurang ajar loe, ya! Sama temen tega nian! Sakit tahu digebukin macam itu!”

”Hahaaa.. salah sendiri nantang. Emang enak? Lumayan kan, pijat gratis!” aku kembali melenggang meninggalkannya yang masih tak percaya. Dikejarnya aku dengan sepeda ontel.

”Maa, aku serius nih minta kau carikan istri buatku. Tak paham nian kau dengan derita sahabatmu ini.” katanya dengan nada melas. Dia beberapa jengkal di sisiku sambil menuntun sepedanya.

”Sudah kubilang, mintalah kau carikan sama kakak kau itu. dia lebih banyak channel ke sana. Istrinya pasti punya banyak teman. Kenapa pula minta ke aku?”

”Aaaagh.. kalau kak Burhan yang kuminta carikan, bisa habislah aku sebelum ta’aruf. Bisa-bisa telingaku ini kehilangan fungsi karena keseringan nyaring ceramah dia.”

”Begitu-begitu, dia abang kau, Burhan! Tak elok bicara macam itu!”

”Aku memaksa kau buat carikan aku bini. Kenapa menolak? Aku suka padaku?”

”Eeeits! Kata siapa aku suka sama kamu? Ngarang! Aku hanya tak ingin kau memilih yang salah, teman. Tahu benar aku macam apa perangaimu. Tak tega aku memilihkan yang cuman bermodal cantik dan seksi saja. Tak mengerti juga kau?!”

”Baaah.. kau mengelak saja dari tadi. muter-muter kayak komedi putar. Capek aku ngikutinnya!”

”Siapa suruh yang ikutan muter-muter? Aku dari tadi juga tak muter-muter. Lebay kau nih!”

”Kau tak paham juga, ya?”

“Paham apa? Yang kupahami, kau ini mulai kembali ke masa primitif! Ti-tik!”

“Maa, aku tuh suka sama kau sejak lama. Tak sadar juga kau?”

”Siapa suruh kau suka sama aku, hah?” kataku sewot. Kupercepat jalanku. Mulai ngaco dia, batinku gemuruh.

”Maa.. ayolah. Berhenti sebentar. Aku mau ngomong serius dengan kau. Maa!” teriaknya tak sabaran.

”Aku ndak ada waktu buat ngladenin rancauanmu yang nggak mutu tuh! aku pulang duluan! Assalamu ’alaykum..”

”Wa ’alaykumussalam.. tapi Maa, aku belum selesai ngomong sama kau. Tak bisa kau gantung aku macam nih!” katanya masih mencoba menjajariku. Kuacuhkan keberadaannya sambil memencet-mencet hape.

Hapeku berdering.

”Assalamu ’alaykum..”

”Iya, bentar lagi nyampek kok. Satu belokan lagi. Tunggu yaaa..” jawabku melembut. Burhan masih setia mendorong sepedanya.

”Sudahlah. Minta saja sama kakak kau itu. Pasti mau dia. Ato kalau kau tak berani, biar aku saja yang sampaikan.”

”Tapi Maa, aku maunya sama kamu. Nggak ngerti juga kamu???!” katanya gemas. Dijambakinya rambut sendiri. Aku cekikikan menahan tawa.

Dari kejauhan kulihat sesosok lelaki di yang duduk di tak jauh dari tempatku berdiri sekarang. Dia melihatku dan tersenyum. Aku melambaikan tanganku ke arahnya sambil melempar senyum termanis. Burhan benggong melihat adegan macam ini.

”Siapa dia, Maa? Kok aku baru lihat?” tanyanya dengan nada tak suka. Aku masih diam sambil menggenggam senyum.

”Maa.. jahat nian kau padaku. Maa..!”

”Assalamu ’alaykum..” sapanya kepadaku. Beringsut mendekat lalu meraih tumpukan buku dipelukanku. Burhan bengong tak tanggung-tanggung. Mulutnya menganga tak karuan lebarnya.

”Wa ’alaykumussalam..” jawabku sambil tersenyum manis. Kuraih tangan kanannya lalu kukecup takzim. Burhan makin kacau.

”Burhan, kenalin. Ini suamiku. Bang Haikal.”

”Haikal.” Bang Haikal menyorongkan tangannya. Burhan ragu-ragu (gemetaran) menerima uluran tangan itu. aku masih cekikikan.

”Bur.. han”. Sahut Burhan dengan nada nelangsa.

”Makasih sudah jagain istriku yaa.. sekarang kami pamit dulu. Mau ke Dieng. Mau ikut?” kata Haikal sebelum berpisah. Kusenggol perutnya gemas. Dia tergelak.

”Duluan, Burhan. Jangan lupa kau bilang sama kakak kau, minta carikan. Jangan cari yang shalihahnya setengah-setengah. Khawatir pula aku kau dapatnya wanita yang setenga-setengah. Runyam sudah dunia! Aku pamit! Daaaaaagh! Assalamu ’alaykum..”

Kami melenggang pergi. Tubuh hilang tertelan badan mobil. Burhan melorot ke tanah. Lantas menangis tak kalah melas seperti tadi habis digebuki takmir masjid.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun