”Sudah mba.. bukunya bisa diambil. Bapak jagain biar dia tak macam-macam.” kata lelaki itu. Matanya melirik tajam ke arah Burhan yang masih banjir airmata (buaya). Aku segera bereskan ”kekacauan” kecil di atas meja. Lalu bergegas kembali ke samping lelaki itu.
”Sudah pak.”
”Baik. Ayo pergi.” sahut lelaki tua itu masih sambil sesekali melirik Burhan yang mlongo tak percaya.
”Lain kali hati-hati ya Neng. Tak biasanya ada orang gila masuk pekarangan masjid. Heran juga, kemana satpam yang biasa mangkal di gerbang depan.” katanya penuh simpati. Aku tersenyum. Berucap terimakasih, salam, lantas melenggang pergi keluar pekarangan. Puas aku tersenyum.
”Tau rasa kau!” pekiknya pelan.
”Hoooooey! Kurang ajar loe, ya! Sama temen tega nian! Sakit tahu digebukin macam itu!”
”Hahaaa.. salah sendiri nantang. Emang enak? Lumayan kan, pijat gratis!” aku kembali melenggang meninggalkannya yang masih tak percaya. Dikejarnya aku dengan sepeda ontel.
”Maa, aku serius nih minta kau carikan istri buatku. Tak paham nian kau dengan derita sahabatmu ini.” katanya dengan nada melas. Dia beberapa jengkal di sisiku sambil menuntun sepedanya.
”Sudah kubilang, mintalah kau carikan sama kakak kau itu. dia lebih banyak channel ke sana. Istrinya pasti punya banyak teman. Kenapa pula minta ke aku?”
”Aaaagh.. kalau kak Burhan yang kuminta carikan, bisa habislah aku sebelum ta’aruf. Bisa-bisa telingaku ini kehilangan fungsi karena keseringan nyaring ceramah dia.”
”Begitu-begitu, dia abang kau, Burhan! Tak elok bicara macam itu!”