“ahh.. tidak usah, tidak usah.. Cukup tuan catat saja disini nama dan alamat! Tuan boleh makan di meja nomor 75!” Gadis pelayan retoran tetap melayani dengan ramah, memintaku membubuhkan nama dan tandatangan, sembari menunjuk arah meja tempat dimana aku harus makan.
Aku bergegas cepat menuju meja 75. Kurasakan kulit wajah menebal, menahan malu yang tidak terhingga. Tetapi rasa lapar yang entah kenapa tiba-tiba menggila ini telah melawan rasa maluku.
Pada sendok terkhir, kuarahkan kembali padangan ke arah barisan para pengantri. Aku mulai merasa ada yang aneh, ternyata tidak satupun diantara mereka mengeluarkan dompet dan melakukan pembayaran.
Aku semakin heran, dan setelah ku amati lagi lebih detil, ternyata juga tidak terdapat meja atau sejenisnya yang berfungsi sebagai kasir di restoran itu.
Hmn.. apakah kota kecil ini walikotanya adalah pemilik warung padang tersebut sehingga mereka menyebutnya kota tampa kasir? Belum selesai aku bergumam.. tiba tiba kurasakan pundakku ada yang menepuk..
“hai tuan!!!!, apa kabar? Bagaimana rasa masakan di kota kami? Apakah tuan bisa menikmatinya?”
Ternyata si perempuan tambun pemakan burger itu! Ia dengan sepiring nasi padang lengkap dengan lauk pauknya, langsung bergabung di meja 75. Persis duduk dengan posisi menghadapiku.
“hai nyonya.. kamu makan disini juga rupanya?”
“ya.. selain burger di pojok taman kota ini, resto padang disini juga tempat makan pavorit saya”
“pantas saja kamu terlihat makmur nyonya, ternyata burger jumbo itu baru sebagai breakfast saja bagimu..”
“hahahaha.. tuan bisa saja bergurau…”