"Hah! Embernya hilang." Ia mengikuti arah sungai. Melupakan ingin untuk ikut serta ke kampung bersama ibu.
"Ah, embernya di mana?"
Gadis kecil tampak panik. Meski sudah jauh mengejar. Ember tersebut tak  jua ditemukan. Sementara langit berubah mendung, dan gerimis mulai mencumbui daun-daun.
Araa terkejut ketika merasai butiran-butiran bening sebesar biji jagung menyerang tubuhnya.
"Duh, hujan!"
Ia menyerah dan kembali menuju sumur tempatnya bermain. Langkah kecil itu kalah oleh derasnya hujan. Ya, Araa mulai ketakutan. Arus sungai menjadi lebih deras dan kotor. Spontan gadis itu menarik ranting yang menjulur ke arahnya. Tubuh kecil Araa dalam bahaya. Arus yang kian deras membuatnya berteriak,
"Ibuuu!"
Namun, naas! Tak ada yang mendengar. Araa menangis. Tangannya sekuat mungkin menggenggam ranting hijau yang dipenuhi daun-daun.
"Ibuuu!"
Ia kembali berteriak. Kaki hingga sebagian tubuhnya, kini tersentuh arus sungai, membuat gadis kecil itu kian panik dan takut setengah mati. Sementara hujan tak kunjung reda.
Hampir dua puluh menit, Araa bergelantungan di ranting pinggiran sungai. Sedari tadi ia memejamkan mata sembari memanggil-manggil, Ibuu ...! Ibuu ...! Ibuu ...! Sampai akhirnya lelah sendiri.