Di suatu pagi, gadis kecil terbangun setelah mendengar seruan keras sang ibu.
"Matahari sudah tinggi, Araa!"
Begitulah ocehan yang hampir setiap hari ia dengar, tatkala kesiangan.
Seperti biasa, gadis kecil itu meraih ember kecil dan menuju sungai. Di pinggiran sana terdapat galian berbentuk sumur dangkal yang mata airnya begitu deras dan jernih. Araa bertugas mengisi penuh seluruh ember kosong yang tertata rapi di pondok kecil beratapkan ilalang kering yang dibangun oleh sang ayah.
Tiga kali, empat kali, lima kali, dan tak terhitung lagi berapa kali gadis kecil tersebut melangkah bolak-bolik. Sampai-sampai mengembuskan napas kasar beberapa kali. Lelah? Ya, itulah yang dirasa. Diusapnya keringan yang meluruh hingga pelipis.
"Kenapa airnya cepat sekali habis!" Gadis itu mengoceh sendirian.
"Ibu menyuruhku setiap hari. Kenapa bukan ibu saja yang melakukannya? Atau ayah?"
"Ibu selalu bilang, jadilah anak yang pintar. Mandiri dan pekerja keras. Jangan lupa bersykur."
Sepanjang jalan ia mengomel saja. Tidak seperti biasa, sepertinya gadis kecil itu tengah asik bermimpi ketika dibangunkan oleh sang ibu.
"Hah! Aku capek!"