Mohon tunggu...
Darmawati
Darmawati Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Ibu yang Akhirnya Terbaca

16 Desember 2018   11:23 Diperbarui: 16 Desember 2018   11:48 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Di suatu pagi, gadis kecil terbangun setelah mendengar seruan keras sang ibu.

"Matahari sudah tinggi, Araa!"

Begitulah ocehan yang hampir setiap hari ia dengar, tatkala kesiangan.

Seperti biasa, gadis kecil itu meraih ember kecil dan menuju sungai. Di pinggiran sana terdapat galian berbentuk sumur dangkal yang mata airnya begitu deras dan jernih. Araa bertugas mengisi penuh seluruh ember kosong yang tertata rapi di pondok kecil beratapkan ilalang kering yang dibangun oleh sang ayah.

Tiga kali, empat kali, lima kali, dan tak terhitung lagi berapa kali gadis kecil tersebut melangkah bolak-bolik. Sampai-sampai mengembuskan napas kasar beberapa kali. Lelah? Ya, itulah yang dirasa. Diusapnya keringan yang meluruh hingga pelipis.

"Kenapa airnya cepat sekali habis!" Gadis itu mengoceh sendirian.

"Ibu menyuruhku setiap hari. Kenapa bukan ibu saja yang melakukannya? Atau ayah?"

"Ibu selalu bilang, jadilah anak yang pintar. Mandiri dan pekerja keras. Jangan lupa bersykur."

Sepanjang jalan ia mengomel saja. Tidak seperti biasa, sepertinya gadis kecil itu tengah asik bermimpi ketika dibangunkan oleh sang ibu.

"Hah! Aku capek!"

Dibuangnya ember yang sedari tadi ia genggam secara sembarang. Sementara ia, menjatuhkan tubuh di air yang mengalir sebelum akhirnya mendapat ide mengumpulkan batu-batu dan meletakkannya di tengah-tengah sungai. Sehingga, air bertumpukkan dan seolah menjadi kolam renang.

"Yes, akhirnya jadi kolam renang," ucapnya girang.

Araa menikmati jernihnya air sungai yang mengalir pelan. Ia loncat-loncat dan kembali menjatuhkan tubuh mungilnya. Berenang sesuka hati. Ah, bukan. Bukan berenang, gadis kecil itu hanya merangkak. Sesekali merentangkan kedua tangan seolah benar-benar sedang berenang.

Sang ibu yang sedari tadi sibuk mencabut rumput-rumput yang menghalangi pertumbuhan padi, kembali menyerukan mana Araa.

"Araa!" Seruan itu masih terdengar jauh.

"Araa! Kenapa lama sekali?" Kemudian menjadi lebih dekat.

"Araa!" Hingga akhirnya semakin dekat.

Namun, panggilan sang ibu tak ia hiraukan. Berbeda jika ayah yang memanggil. Gadis itu akan langsung menghampiri. Disebabkan ayah terkenal galak. Untungnya, laki-laki yang disbutnya ayah, sedang berburu madu. Ya, pekerjaan itu menjadi mata pencaharian keluarga tersebut.

"Ibu mau ke kampung. Kamu jaga ladang, ya?! Jangan lama-lama di sungai."

Seketika Araa bangkit. Mata bening itu menatap ke arah sumur dan sekitar.

"Di mana embernya?"

"Hah! Embernya hilang." Ia mengikuti arah sungai. Melupakan ingin untuk ikut serta ke kampung bersama ibu.

"Ah, embernya di mana?"

Gadis kecil tampak panik. Meski sudah jauh mengejar. Ember tersebut tak  jua ditemukan. Sementara langit berubah mendung, dan gerimis mulai mencumbui daun-daun.

Araa terkejut ketika merasai butiran-butiran bening sebesar biji jagung menyerang tubuhnya.

"Duh, hujan!"

Ia menyerah dan kembali menuju sumur tempatnya bermain. Langkah kecil itu kalah oleh derasnya hujan. Ya, Araa mulai ketakutan. Arus sungai menjadi lebih deras dan kotor. Spontan gadis itu menarik ranting yang menjulur ke arahnya. Tubuh kecil Araa dalam bahaya. Arus yang kian deras membuatnya berteriak,

"Ibuuu!"

Namun, naas! Tak ada yang mendengar. Araa menangis. Tangannya sekuat mungkin menggenggam ranting hijau yang dipenuhi daun-daun.

"Ibuuu!"

Ia kembali berteriak. Kaki hingga sebagian tubuhnya, kini tersentuh arus sungai, membuat gadis kecil itu kian panik dan takut setengah mati. Sementara hujan tak kunjung reda.

Hampir dua puluh menit, Araa bergelantungan di ranting pinggiran sungai. Sedari tadi ia memejamkan mata sembari memanggil-manggil, Ibuu ...! Ibuu ...! Ibuu ...! Sampai akhirnya lelah sendiri.

***

Hujan menyisakan gerimis-gerimis kecil. Wanita tua tergopoh-gopoh menuju sungai sambil meneriaki nama Araa. Tetapi, tak ada sahutan. Air yang masih mengalir cukup deras tak dihiraukan. Dicarinya sang buah hati.

"Araa!"

"Araa!"

"Kamu di mana, Nak!"

Air mata wanita itu tak kalah deras. Tubuhnya bergetar. Takut. Khawatir. Sedih. Dan segala rasa berkecamuk di dada.

"Araa ..." lirihnya mulai putus asa. Namun, langkahnya tak jua henti.

"Ibuu ..."

Samar-samar didengarnya suara. Wanita itu kembali semangat dan meneriaki nama Araa berkali-kali.

"Araa!"

Seketika wanita itu loncat dan meraih tubuh mungil yang bergelantungan di ranting pinggir sungai.

"Ibu sudah menyuruhmu pulang, kan? Kenapa masih di sungai?"

Tak ada jawaban.

"Kamu buat ibu takut setengah mati. Jangan lakukan ini lagi!"

Wanita itu memeluk Araa yang sedari tadi tak bersuara.

"Araa! Kamu dengar ibu, kan?"

Masih tak ada sahutan.

"Baiklah. Kita pulang. Ibu membawakanmu cemilan."

Digendongnya gadis kecil tersebut menuju pondok kecil mereka. Di sana, sang ayah menyambut dengan wajah heran.

"Araa kenapa?"

Wanita itu tak bisa menjawab.

"Araa kenapa?"

Tangis istrinya tiba-tiba pecah.

"Ah, tidak!"

Laki-laki berkumis tipis itu mencoba menyadarkan putrinya dengan menekan dada Araa. Sekali, dua kali, tiga kali, dan seterusnya. Usaha sang ayah akhirnya membuahkan hasil. Gadis kecilnya memuntahkan air beberapa kali.

"Ibu ... maaf, embernya hilang."

Kalimat pertama yang diucapkan Araa membuat ibunya menangis tak karuan.

"Tidak apa-apa, Sayang. Asal bukan kamu yang hilang." Dipeluknya Araa erat-erat.

"Maaf juga karena tidak mendengarkan ibu."

Araa pun menyadari kesalahannya. Jika saja ia mendengarkan ibu untuk segera kembali, hal menakutkan itu tidak akan pernah terjadi. Akan tetapi, ada hikmah di balik itu semua. Araa menjadi tahu, bahwa ibu mencintainya lebih dari apa pun juga.

End

Bima, 16-12-18

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun