Mohon tunggu...
Dhani Apriandi
Dhani Apriandi Mohon Tunggu... Notaris - Seorang Notaris

Bukan Penulis

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Saitama: Suatu Refleksi Kebijaksanaan

5 Agustus 2021   17:36 Diperbarui: 5 Agustus 2021   17:37 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kebijaksanaan (sumber: harianterbit.co)

Ya, saya tahu bahwa (mungkin) niatan mereka mencalonkan diri sungguh mulia. Bahkan mereka (mungkin) membawa misi-misi kemanusiaan yang begitu menyejukkan. Namun, apakah untuk melakukan hal itu mutlak harus lewat jalur perpolitikan?

Saya rasa tidak juga, Anak Muda. Banyak sekali jalan yang bisa kita tempuh untuk dapat melakukan hal tersebut seperti misalnya, membantu meringankan beban perekonomian saudara/i kita, atau tetangga sekitar kita yang sedang keok akibat berlangsungnya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Perlu dicatat bahwa, di sini saya tidak melarang Anda atau siapapun untuk menjadi kaya raya dan bergelimang harta, karena itu bukan hak saya. Lagipula, saya memang tidak memiliki kuasa terhadap hal itu.

Apabila Anda bisa menjadi orang kaya raya, maka saya sangat bersyukur. Bahkan, saya doakan Anda agar kekayaan Anda semakin bertambah dan awet.

Namun, maksud saya adalah kayalah dengan cara yang elegan dan bermartabat. Sebab, dua komponen ini adalah refleksi dari kebijaksanaan.

Namun bagaimanapun juga, kita memerlukan sosok-sosok yang penuh kebaikan dan berjalan di jalur kebenaran untuk menduduki sejumlah kursi strategis dalam negeri kita. Dan, ini selalu menjadi impian terbesar kita sebagai rakyat.

Kita berharap pula agar setiap sosok yang berpartisipasi dalam suatu kontestasi politik bisa bersikap arif dan bijaksana layaknya sifat yang dikandung oleh Saitama, Socrates, dan para filsuf lainnya, baik sejak mencalonkan diri hingga kelak terpilih dan menebarkan semua misi kemanusiaannya di negeri ini.

Nilai kebijaksanaan terakhir yang dimiliki oleh Saitama adalah, tidak haus akan pujian. Di satu sisi, pujian memang menghadirkan motivasi dan semangat bagi kita. Namun di sisi lainnya, pujian bisa memunculkan kecenderungan berupa rasa cepat puas karena telah memperoleh pengakuan dari orang lain.

Hal yang paling dikhawatirkan dari "pengakuan" ini adalah munculnya sifat "keakuan" di dalam diri kita. Ini adalah buruk! Karena, "keakuan" bisa menghanyutkan kita ke pusaran hal negatif seperti salah satunya arogansi. Oleh karena itu, hal ini perlu disikapi secara netral.

Saya tak menampik bahwa terkadang kita memang membutuhkan pengakuan dari orang lain. Lagipula, ini adalah kecenderungan kita sebagai manusia. Namun, apalah artinya pengakuan itu, kalau ternyata berpotensi negatif bagi kehidupan kita.

Oleh karena itu, kita harus menetapkan tujuan utama agar tidak terperangkap dalam keakuan. Prioritaskan kebaikan dan kebenaran sebagai tujuan hidup kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun