“Aku merasa ingin dekat berada dengan Bara. Tetapi mengapa hatiku sepi, sesenyap rembulan malam. Apakah karena diriku tak mendapat ridho dari kedua orangtuaku? Ah ... sudahlah, aku tak mau percintaanku menjadi keruh dalam lumpur yang hitam.”
“ Tuhan, apakah salah rindu ini selalu memanggil nama Bara?”
“Cintaku bertekuk lutut, di atas kaki sang Pangeran Cinta.”
“Dia begitu, gagah dan pemberani dengan ketegasan yang selalu berucap Dewa.”
“Aku sangat menyayanginya, Tuhan?”
“Tolong aku yakinkan dengan sejuta rasa cinta dan sayang, karena aku tak mau air mata ini terus berdenting dalam resah yang menusuk-nusuk.”
“Tuhan, biarkan aku mencintainya seputih awan dan sebongkah salju. Karena hanya hatiku yang tahu, bahwa aku cinta mati karenanya.” Decaknya dalam hati Safana yang sedang dikelilingi kegalauan dengan air mata yang meluluhlantah. Namun, baru saja tertegun memandangi fajar pagi di jendela kamarnya. Tiba-tiba Hpnya berdering dengan keras memanggil-mangil. Cepat – cepat Safana mengangkatnya.
“Hallo, Adindaku sayang.”Suara Bara begitu mesra.
“Kakak Bara, kirain siapa. Pagi-pagi sudah telepon tumben ni,” sahut Safana, manja.
“Lhooo ... kok gitu si, tanyanya Adindaku? Padahal aku kangeeen banget. Habis aku udah enggak tahan ni pengen ketemu kamu.”
“Gombal, ah ...” jawab Safana malu-malu, sambil menyusut air matanya yang masih berderai lirih.