“Beneran sayang ... malam nanti, Kakak akan menjemputmu untuk memperkenalkan kedua orang tua Kakak. Mungkin aku dari Malang naik pesawat terbang. “ Ucap Bara kembali menegaskan.
“Yang bener, Kak. Malam ini ...? ” Tanya Safana merasa terkejut.
“Beneeer Adindaku sayaaang. Ini kejutan untukmu” Ucap Bara serius.
Safana pun terdiam, sesaat Bara menutup telepon selulernya. Hatinya terobati disaat resah itu selalu menghantuinya. Safana pun sudah beranjak dari tempat tidurnya, dan saat itu juga ia duduk di meja tempat ia menulis diarinya yang penuh cinta.
“Aku ingin bertanya pada hatiku yang masih hampa,”
“Rinduku seperti terkilir dalam pujangga cinta hingga hatiku seperti terkaram dalam jurang yang dalam.”
“Mimpiku, selalu terkurung dalam api menyala. Entahlah ... aku selalu ketakutan dalam seriburasa yang berbeda.”
“Tetapi ... mengapa cinta mengalahkan segalanya. Bahkan, ilusi-ilusi cinta membawaku terbang ke Istana Raja. Mengukir peristiwa cinta, dalam keabadian.”
“Ah ... aku tak mau kalah dengan naluri yang selalu mengingatkanku mendera cinta.”
“Tapi biarkanlah, rasa cinta itu semakin yakin agar aku tak ternodai, dengan keruhnya hati yang semakin terlukai.” Ucap Safana yang ditorehkan dalam tulisan Diarinya tentang kegundahan hatinya akhir-akhir ini.
Malam pun telah tiba, langit bertaburan bintang seolah mengajaknya berdamai. Deru angin yang membisik sejuk, mengendus perlahan di tengah kebahagiaan Safana. Safana terlihat cantik malam ini, memakai gaun malam yang sangat pas dan serasi, membuatnya lebih pede dengan hati yang berbunga-bunga, yang semuanya untuk menyambut lelaki yang dicintainya Bara. Pelayan restoran itu mempersilahkan duduk. Kebetulan Safana memilih Restoran Braga, karena selain jauh dari kebisingan, restoran ini sangat cocok untuk kaula muda yang sedang jatuh cinta. Selain tempatnya sangat romatis dan eksotis, restoran ini secara arsitek sudah didesain khusus yang diusung dengan tema berlambangkan cinta.