"Aku mengira jarak & waktu yang selalu memisahkan kita, nyatanya bukan."
Masa lalumu, sekat itu begitu jauh. Aku kewalahan mengejarmu, aku kewalahan untuk mengikuti langkah mundurmu. Aku tak ingin menuntut apapun. Aku juga tak begitu suka jika harus berekspektasi tinggi pada kemuskilan ini.
Â
Aku tak punya kuasa untuk membawamu turut bersamaku. Tinggallah, jika itu kemauan hatimu. Biar aku yang melanjutkan penerbangan ini sendiri. Tidak perlu berdoa untuk bertemu kembali. Aku tidak ingin memberimu harapan, pun pada diriku, aku tak ingin menunggu apapun lagi dari kisah ini. Mari saling melepas.
Â
"Aku mengira jarak & waktu yang selalu memisahkan kita, nyatanya bukan."
Â
Aku sudah memarkir motor itu. Menyusuri kota yang semestinya tak perlu aku kunjungi lagi. Namun aku kembali, bukan untuk mencari angka yang hilang atau kata yang terburai. Aku hanya ingin menyimpulkan senyum damai di hadapan lautan. Aku hanya ingin selesai membenci kota ini. Aku hanya ingin menyadarkan hatiku, jika cerita ini hanya fiksi belaka. Dan aku akan melanjutkan penerbangan berikutnya tanpa terhuyung-huyung membaca angka, tanpa tergopoh-gopoh diimpit tenggat waktu. Dan kini aku kian teliti pada estimasi waktu.
"Aku mengira jarak & waktu yang selalu memisahkan kita, nyatanya bukan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H