"Sudah, ya. Kamu mulai menyebalkan!"
Â
Kali ini kepalaku kian pusing. Pandanganku mulai buram, sementara perjalananku masih setengah jarak tempuh. Tanganku mulai kebas. Letih, ingin sekali rasanya berhenti di tengah jalan tetapi aku terlalu lelah untuk sekadar menepi. Percakapan-percakapan menyebalkan semakin terngiang-ngiang di kepalaku. Aku ingin menghapus permanen seluruh percakapan-percakapan yang semestinya tidak perlu ada. Aku mendadak membenci pertemuan-pertemuanku dengannya. Aku mendadak ingin membakar kota ini. Membakar ketololan bersama tubuhku yang mendingin. Kaku dan tak habis pikir.
"Aku mengira jarak & waktu yang selalu memisahkan kita, nyatanya bukan."
"Maksud kamu apa, Ta? Cerita yang jelas."
"Kita buang-buang waktu selama dua tahun ini."
"Maksudnya?"
"Aku bukan orang yang kamu tuju kan? Selama ini aku selalu ngira kalau satu penerbangan ke penerbangan lain yang menjadi sekat di antara kita. Aku selalu ngira dan berusaha untuk memaklumi waktu yang belum tepat. O mungkin akan datang waktu kita bisa berjalan beriringan. Nyatanya, aku keliru. Aku keliru, Angka!"
"Aku harus lakuin apa untuk meyakinkan kamu? Kita udah sejauh ini, Cerita. Dua tahun juga bukan waktu yang sebentar buat aku."
"Dua tahun ga akan bisa menukar bertahun-tahun bayangan masa lalu yang masih kamu sematkan dengan rapi, Angka! Kamu ga bisa mengelak dari itu. Dan aku tersiksa jika harus hidup sebagai bayang-bayang dia, meskipun aku berada di sisimu. Hatimu tetap mengarah pada dia, seberapa keras pun kamu paksa untuk berpaling darinya, kamu selalu mencari sosok dia padaku".
"Ta...bukan gitu. Dia hanya masa lalu yang belum sempat aku gapai. Masa lalu yang aku perjuangkan dengan sungguh tapi tak terwujud."