"Angkaaa..." Cerita tercekat sesaat, napasnya terasa berat dan sesak.
"Aku mulai muak mengucapkan ini. Aku mengira jarak & waktu yang selalu memisahkan kita, nyatanya bukan. Masa lalumu. Masa lalumu yang jadi sekat yang nyata, Angka. Aku tahu, kamu masih berusaha mewujudkan perjuangan lampaumu itu."
Â
Bandara terasa suram malam itu. Dan sejak malam itu pula, aku tak menyukai bandara. Ia ibarat sekat nyata antara masa lalu dan masa depan. Masa kini jadi waktu yang terkutuk. Masa kini menjadi waktu yang penuh penderitaan untuk menjalani hidup penuh kepura-puraan. Pura-pura tak pernah mengenal cinta. Pura-pura tak pernah mengenali angka, kata, atau rangkaian cerita mana pun.Â
Â
"Aku mengira jarak & waktu yang selalu memisahkan kita, nyatanya bukan."
Â
Masa lalu, ekspektasi, masa depan, persimpangan hidup, kepingan waktu, kepingan hati yang porak-poranda.
Masa lalumu & masa laluku; jadi sela cerita yang runyam dijadikan satu. Semestinya aku tak begitu serius menanggapi percakapan-percakapanmu. Semestinya kubiarkan saja kau bermonolog.
Â