Mohon tunggu...
Desy Marianda Arwinda
Desy Marianda Arwinda Mohon Tunggu... Freelancer - flight through writes

Hidup lebih hidup dengan menulis!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jarak Terjauh

1 Agustus 2023   23:39 Diperbarui: 2 Agustus 2023   07:41 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://id.pinterest.com/pin/868631846861994820/

"Aku mengira jarak & waktu yang selalu memisahkan kita, nyatanya bukan."

 

Pukul tiga sore, teriknya masih terasa membakar. Menempuh jarak 17, 4 km menggunakan motor serasa menumbalkan diri hidup-hidup di pemanggang. Tumben, lalu lintas ramai lancar. Atau mungkin, sama saja seperti hari-hari biasa. Atau, apa mungkin yang macet justru ada dalam diri?

Hari ini aku membenci kemungkinan-kemungkinan yang muncul di kepalaku. Terbangun dengan kepala yang pusing, entah pusingnya bermula dari mana. Bertumpuk. Aku menunda membersihkan debu-debu itu, menanggalkan tumpukan berkas, menanggalkan seluruh harapan konyol sejak jauh-jauh hari itu. Aku berangkat masih dalam keadaan kepala yang pusing.

"Ceritaaa, O nama kamu Ceritaaa?"

"Nyebut 'a' nya ga usah kepanjangan. Namaku Cerita. Cara nyebutnya seolah-olah kamu lagi baca nama buah ceri tapi ditambahin 'ta' setelahnya. Ngerti?"

"Aneh juga ya, namamu".

"Unik, bukan aneh".

"Kamu defensif".

"Karena aku punya pendirian".

"Nama kamu lebih aneh, Angka".

"Selain defensif, ternyata kamu juga kompetitif. Susah ngalah".

"Tolong berhenti membaca karakterku".

"Siapa suruh punya nama Cerita".

Selalu ada hal yang menyebalkan di pertemuan pertama. Selalu ada hal yang menyebalkan di percakapan pertama. Selalu ada hal yang mengesankan di pertemuan pertama. Tertanam, dan membuat simpul senyum kesal. Pertemuan pertama, tetapi tidak benar-benar pertama kali. Rasanya familiar saja. Terik yang menyengat sore ini, membuatku nanar mengingat kembali percakapan-percakapan itu. Aku seperti sedang bermimpi disiang bolong. Separuh sadarku terbawa kenangan itu. Lagi-lagi, aku membenci hal-hal kecil yang selalu kuingat dengan baik, begitu pun kenyataan getir tanpa pernah aku terka, tiba-tiba. Maaf jika hari ini aku membenci takdir.

"Bagaimana penerbangan pertamamu?"

Sebuah pesan anonim muncul sebagai notifikasi. Pikirku, orang iseng mana lagi yang selalu tiba-tiba melemparkan ujaran. Melemparkan letupan asing, melemparkan teka-teki garing atau sekadar mengirimkan info cuaca yang tidak begitu penting untuk aku ketahui. Tapi manusia yang berlabel Angka itu selalu mencari cara untuk bercerita, setidaknya padaku.

"Biasa saja. Apa karena pertama kali, ya?"

"Bukan. Itu karena kamu mati rasa, Ceriiiita!"

"Kamu tidak berhak mengukur apa yang aku rasakan, ibarat lautan, kedalamannya amat misterius."

"Aku tidak mengukur apapun. Aku hanya berusaha mengenalimu. Kamu manusia yang susah sekali diajak berinteraksi. Punya mulut tuh dipakai untuk bercerita, bukan malah mesem-mesem tidak jelas. Manusia langka!"

"Sudah, ya. Kamu mulai menyebalkan!"

 

Kali ini kepalaku kian pusing. Pandanganku mulai buram, sementara perjalananku masih setengah jarak tempuh. Tanganku mulai kebas. Letih, ingin sekali rasanya berhenti di tengah jalan tetapi aku terlalu lelah untuk sekadar menepi. Percakapan-percakapan menyebalkan semakin terngiang-ngiang di kepalaku. Aku ingin menghapus permanen seluruh percakapan-percakapan yang semestinya tidak perlu ada. Aku mendadak membenci pertemuan-pertemuanku dengannya. Aku mendadak ingin membakar kota ini. Membakar ketololan bersama tubuhku yang mendingin. Kaku dan tak habis pikir.

"Aku mengira jarak & waktu yang selalu memisahkan kita, nyatanya bukan."

"Maksud kamu apa, Ta? Cerita yang jelas."

"Kita buang-buang waktu selama dua tahun ini."

"Maksudnya?"

"Aku bukan orang yang kamu tuju kan? Selama ini aku selalu ngira kalau satu penerbangan ke penerbangan lain yang menjadi sekat di antara kita. Aku selalu ngira dan berusaha untuk memaklumi waktu yang belum tepat. O mungkin akan datang waktu kita bisa berjalan beriringan. Nyatanya, aku keliru. Aku keliru, Angka!"

"Aku harus lakuin apa untuk meyakinkan kamu? Kita udah sejauh ini, Cerita. Dua tahun juga bukan waktu yang sebentar buat aku."

"Dua tahun ga akan bisa menukar bertahun-tahun bayangan masa lalu yang masih kamu sematkan dengan rapi, Angka! Kamu ga bisa mengelak dari itu. Dan aku tersiksa jika harus hidup sebagai bayang-bayang dia, meskipun aku berada di sisimu. Hatimu tetap mengarah pada dia, seberapa keras pun kamu paksa untuk berpaling darinya, kamu selalu mencari sosok dia padaku".

"Ta...bukan gitu. Dia hanya masa lalu yang belum sempat aku gapai. Masa lalu yang aku perjuangkan dengan sungguh tapi tak terwujud."

"Angkaaa..." Cerita tercekat sesaat, napasnya terasa berat dan sesak.

"Aku mulai muak mengucapkan ini. Aku mengira jarak & waktu yang selalu memisahkan kita, nyatanya bukan. Masa lalumu. Masa lalumu yang jadi sekat yang nyata, Angka. Aku tahu, kamu masih berusaha mewujudkan perjuangan lampaumu itu."

https://id.pinterest.com/pin/777996904396366988/
https://id.pinterest.com/pin/777996904396366988/

 

Bandara terasa suram malam itu. Dan sejak malam itu pula, aku tak menyukai bandara. Ia ibarat sekat nyata antara masa lalu dan masa depan. Masa kini jadi waktu yang terkutuk. Masa kini menjadi waktu yang penuh penderitaan untuk menjalani hidup penuh kepura-puraan. Pura-pura tak pernah mengenal cinta. Pura-pura tak pernah mengenali angka, kata, atau rangkaian cerita mana pun. 

 

"Aku mengira jarak & waktu yang selalu memisahkan kita, nyatanya bukan."

 

Masa lalu, ekspektasi, masa depan, persimpangan hidup, kepingan waktu, kepingan hati yang porak-poranda.

Masa lalumu & masa laluku; jadi sela cerita yang runyam dijadikan satu. Semestinya aku tak begitu serius menanggapi percakapan-percakapanmu. Semestinya kubiarkan saja kau bermonolog.

 

"Aku mengira jarak & waktu yang selalu memisahkan kita, nyatanya bukan."

Masa lalumu, sekat itu begitu jauh. Aku kewalahan mengejarmu, aku kewalahan untuk mengikuti langkah mundurmu. Aku tak ingin menuntut apapun. Aku juga tak begitu suka jika harus berekspektasi tinggi pada kemuskilan ini.

 

Aku tak punya kuasa untuk membawamu turut bersamaku. Tinggallah, jika itu kemauan hatimu. Biar aku yang melanjutkan penerbangan ini sendiri. Tidak perlu berdoa untuk bertemu kembali. Aku tidak ingin memberimu harapan, pun pada diriku, aku tak ingin menunggu apapun lagi dari kisah ini. Mari saling melepas.

 

"Aku mengira jarak & waktu yang selalu memisahkan kita, nyatanya bukan."

 

Aku sudah memarkir motor itu. Menyusuri kota yang semestinya tak perlu aku kunjungi lagi. Namun aku kembali, bukan untuk mencari angka yang hilang atau kata yang terburai. Aku hanya ingin menyimpulkan senyum damai di hadapan lautan. Aku hanya ingin selesai membenci kota ini. Aku hanya ingin menyadarkan hatiku, jika cerita ini hanya fiksi belaka. Dan aku akan melanjutkan penerbangan berikutnya tanpa terhuyung-huyung membaca angka, tanpa tergopoh-gopoh diimpit tenggat waktu. Dan kini aku kian teliti pada estimasi waktu.

"Aku mengira jarak & waktu yang selalu memisahkan kita, nyatanya bukan."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun