"Nama kamu lebih aneh, Angka".
"Selain defensif, ternyata kamu juga kompetitif. Susah ngalah".
"Tolong berhenti membaca karakterku".
"Siapa suruh punya nama Cerita".
Selalu ada hal yang menyebalkan di pertemuan pertama. Selalu ada hal yang menyebalkan di percakapan pertama. Selalu ada hal yang mengesankan di pertemuan pertama. Tertanam, dan membuat simpul senyum kesal. Pertemuan pertama, tetapi tidak benar-benar pertama kali. Rasanya familiar saja. Terik yang menyengat sore ini, membuatku nanar mengingat kembali percakapan-percakapan itu. Aku seperti sedang bermimpi disiang bolong. Separuh sadarku terbawa kenangan itu. Lagi-lagi, aku membenci hal-hal kecil yang selalu kuingat dengan baik, begitu pun kenyataan getir tanpa pernah aku terka, tiba-tiba. Maaf jika hari ini aku membenci takdir.
"Bagaimana penerbangan pertamamu?"
Sebuah pesan anonim muncul sebagai notifikasi. Pikirku, orang iseng mana lagi yang selalu tiba-tiba melemparkan ujaran. Melemparkan letupan asing, melemparkan teka-teki garing atau sekadar mengirimkan info cuaca yang tidak begitu penting untuk aku ketahui. Tapi manusia yang berlabel Angka itu selalu mencari cara untuk bercerita, setidaknya padaku.
"Biasa saja. Apa karena pertama kali, ya?"
"Bukan. Itu karena kamu mati rasa, Ceriiiita!"
"Kamu tidak berhak mengukur apa yang aku rasakan, ibarat lautan, kedalamannya amat misterius."
"Aku tidak mengukur apapun. Aku hanya berusaha mengenalimu. Kamu manusia yang susah sekali diajak berinteraksi. Punya mulut tuh dipakai untuk bercerita, bukan malah mesem-mesem tidak jelas. Manusia langka!"