“Baiklah. Kutunggu kau serahkan lelah di meja itu.”
“Sam...”
Sam mengangkat tangan lalu kembali membersihan tumpahan kopi di meja paling ujung. Itulah cara kami mengakhiri perdebatan.
Aku menggantungkan pointe pada leherku. Sam pernah berujar bahwa aku sangat pandai merawat pointe. Aku hanya memilikinya sepasang. Sudah hampir tujuh tahun aku memakainya dan aku tak pernah menggantinya dengan yang baru.
***
Akhir-akhir ini –lebih tepatnya tiga tahun ini– aku lebih sering memakai tutu hitam. Ada rasa nyaman ketika tubuhku bergerak, memutar dan melompat seperti Odile. Odile adalah diriku masa kini, di mana ada kebencian yang mematikan.
Dulu aku memikat Joe sebagai Odette. Berpura-pura baik hanya untuk membuatnya jatuh cinta padaku. Sam pernah berpesan agar aku menjadi Jane yang sesungguhnya. Tapi cinta itu telah membuatku menjadi wilis yang buta.
“Kau bukan White Swan atau pun Black Swan. Kau adalah Jane yang kukenal. Kau tidak hidup di atas panggung Swan Lake, Jane.”
“Aku berhak mengatur hidupku sendiri, Sam. Jatuh cintalah, maka kau akan mengerti.”
“Aku sedang jatuh cinta, Jane. Dan aku sangat mengerti.”
Perbincangan antara aku dan Sam sore itu membuatku sedikit membencinya. Seharusnya Sam bisa memahamiku jika tidak ingin kehilangan pelanggan setianya. Tak bisa kupungkiri, kopi buatan Sam memang lebih baik dari beberapa kedai yang berjejer di sepanjang jalan ini, dan itulah yang membuatku bertahan untuk tetap mengenalnya.