Aku melepas sebuah cincin yang selama tiga tahun melingkari jari manisku. Meletakkan di atas meja lalu memutar-mutarnya. Kilaunya tak pernah pudar, masih sama seperti dulu, hanya cincin itu menggelinding terlalu jauh, melompat dan bersembunyi di balik kaki meja. Agar bisa mendapatkannya kembali, aku harus menggeser meja itu –sendirian.
Kemudian aku menjadi ingat kau. Dulu kita berjumpa di tempat ini, masih di meja yang sama, kau memesan kopi. Katamu, kopi itu tidak pernah munafik. Akan tetap pahit meskipun aku mati nanti. Dan sekarang aku menjadi percaya, rasamu yang pahit itu.
Di atas meja kayu yang penuh lubang ini –yang katamu mirip rumah semut– kau curi jari manisku dengan meninggalkan kilau di sana. Aku adalah seorang perempuan yang merindukan pernikahan dan kau telah memulainya dengan sangat baik.
Lubang mimpi yang dulu hanya seukuran lingkar cincin, kini membesar hingga menelan asa. Membiarkannya tak bersisa. Seperti masa tungguku yang sia-sia. Kau tak pernah kembali pada setia.
“Sam, aku harus pergi. Tak baik bila membiarkan mereka menungguku terlalu lama di sana.”
Kutinggalkan beberapa lembar uang di atas meja dan melambaikan tangan pada Sam. Sam adalah pemiliki kedai kopi yang sangat baik. Dia tak pernah mengusirku jika aku terpaksa bermalam di sana. Bukan menunggu hujan, melainkan ketidakpastian.
“Lelaki sialan!”
Aku membalikkan badan dan mengarahkan tinjuku padanya.
“Awas kau, Sam. Aku tak akan pernah memaafkanmu jika kau berani mengulangi kata-kata itu.”
“Dia memang sialan, Jane. Ayolah, kau harus sadari hal itu.”
“Demi roti kismis buatan Bibiku, Joe tak seperti yang kau kata.”
“Baiklah. Kutunggu kau serahkan lelah di meja itu.”
“Sam...”
Sam mengangkat tangan lalu kembali membersihan tumpahan kopi di meja paling ujung. Itulah cara kami mengakhiri perdebatan.
Aku menggantungkan pointe pada leherku. Sam pernah berujar bahwa aku sangat pandai merawat pointe. Aku hanya memilikinya sepasang. Sudah hampir tujuh tahun aku memakainya dan aku tak pernah menggantinya dengan yang baru.
***
Akhir-akhir ini –lebih tepatnya tiga tahun ini– aku lebih sering memakai tutu hitam. Ada rasa nyaman ketika tubuhku bergerak, memutar dan melompat seperti Odile. Odile adalah diriku masa kini, di mana ada kebencian yang mematikan.
Dulu aku memikat Joe sebagai Odette. Berpura-pura baik hanya untuk membuatnya jatuh cinta padaku. Sam pernah berpesan agar aku menjadi Jane yang sesungguhnya. Tapi cinta itu telah membuatku menjadi wilis yang buta.
“Kau bukan White Swan atau pun Black Swan. Kau adalah Jane yang kukenal. Kau tidak hidup di atas panggung Swan Lake, Jane.”
“Aku berhak mengatur hidupku sendiri, Sam. Jatuh cintalah, maka kau akan mengerti.”
“Aku sedang jatuh cinta, Jane. Dan aku sangat mengerti.”
Perbincangan antara aku dan Sam sore itu membuatku sedikit membencinya. Seharusnya Sam bisa memahamiku jika tidak ingin kehilangan pelanggan setianya. Tak bisa kupungkiri, kopi buatan Sam memang lebih baik dari beberapa kedai yang berjejer di sepanjang jalan ini, dan itulah yang membuatku bertahan untuk tetap mengenalnya.
***
Kupandangi bangunan tua yang masih kokoh berdiri di hadapanku. Tak terasa sepuluh tahun aku menari bersamanya. Di sini aku menjadi bodoh, mirip buah yang belum masak, yang dipaksa tersaji di atas meja. Pernah aku memerankan Giselle dan di sana mimpiku terpatahkan untuk pertama kali.
Joe yang tak bisa menari, yang saat itu sebagai penonton, mendatangiku yang terisak di balik panggung.
“Sebuah awal yang baik, Giselle.”
“Aku tak pantas menjadi seorang balerina.”
“Tapi balet itu sendiri yang telah memilihmu.”
Sampai saat ini aku masih mengingat kata-kata itu. Balet yang telah memilihku dan aku memilihmu, Joe.
Aku menari dan terus menari. Menyatu dengan angin, menjadi ringan seperti kapas. Aku begitu menikmati setiap gerakan bahkan dalam rupa wilis yang buta dan jahat sekalipun. Kurasakan roh Odile merasuk dan membusukkan cinta yang ada. Membusukkan kenangan tentang Joe, juga janjinya yang membeku tertimbun salju.
***
“Bibi, bisakah kita mulai menari?”
Anna memegang tanganku. Gadis kecil bermata biru dengan rambut sepanjang bahu, mengajakku menari. Sudah dua bulan Anna menginjakkan kaki di tempat ini dan memasrahkan tubuhnya padaku. Dasar-dasar menari balet telah kuturunkan padanya dan dia menyerapnya dengan sangat baik.
“Anna, menarilah sebagaimana kau ingin menari.”
“Apa boleh menari dalam keadaan menangis, Bibi?”
“Jika yang kau perankan adalah wilis yang disakiti, kau boleh menangis.”
“Bibi sedang menarikan wilis yang tersakiti?”
“Anna, Bibi sedang menarikan hati Bibi sendiri. Jika saat ini kau sedang berbahagia, maka terbanglah.”
Dalam diri Anna, kulihat diriku yang dulu. Wilis putih yang belum ternoda kebencian. Bulu-bulunya begitu lembut tanpa duri-duri yang menusuk jiwa. Kemudian aku menjadi rindu akan kasih yang mula-mula.
***
Kulihat Sam berdiri di depan pintu. Biasanya dia akan marah jika kuminta untuk mengantarkan kopi ke tempatku mengajar. Kali ini raut mukanya berbeda, dia terlihat sedikit lebih dewasa. Matanya sibuk memperhatikanku melepas pointe.
“Hai, Sam. Apa yang membawamu ke tempat ini?”
“Hanya rasa cemas. Biasanya kau sudah duduk di kedaiku dan menikmati kopi buatanku dua jam sebelumnya.”
“O, maaf, Sam. Menari membuatku lupa diri.”
Sam mengarahkan telunjuknya ke arah jendela. “Kuminta dia datang ke kedaiku."
“Apa yang kau lakukan, Sam?”
“Seharusnya aku yang bertanya padamu, Jane. Apa yang kau lakukan pada dirimu sendiri?”
Aku berjalan mengikuti langkah Sam. Sangat cepat. Sepertinya Sam sedang terburu. Entah oleh apa. Sam meraih tanganku. Menggenggamnya dengan sangat erat. Aku pernah menggenggam seperti Sam. Saat itu aku hanya memiliki beberapa keping koin untuk bertahan hidup. Mungkin saat ini Sam sedang mencoba untuk mempertahankan sesuatu.
Kedai Sam terasa lebih dingin. Di meja itu, yang biasa kududuki sambil menikmati secangkir kopi, kini kembali membeku. Ada kemarahan yang tetiba tak tertahankan. Aku ingin sekali menampar lelaki yang terdiam di sana hingga mati.
“Jane…”
“Jangan katakan apa pun.”
“Maafkan aku.”
“Untuk apa? Bukankah pertemuan kita adalah untuk membahas perkembangan anakmu?”
“Waktu itu aku harus pergi, Jane.”
“Anakmu sangat luar biasa, Joe. Kau harus bangga padanya. Anna mirip diriku yang dulu, sangat bersemangat.”
“Jane, maafkan aku. Aku harus menikahi perempuan lain.”
“Dan kau kembali menyakiti dengan menitipkan anakmu padaku?”
Air mataku membeku. Sepertinya sudah tak layak lagi kualirkan untuknya. Kuletakkan pointe dan sebuah cincin di atas meja.
“Kukembalikan asa padamu.”
“Jane…”
“Kita sudah selesai, Joe.”
Aku berlari meninggalkan kedai Sam. Dengan kaki telanjang kunikmati salju. Begitu lembut dan dingin, dan aku pun menari, terus menari. Kemudian aku bersahabat dengan salju. Salju-salju itu memelukku. Dengan butir-butirnya yang ringkih membekukanku. Dan kudapati Odile menangis kalah dalam hatiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H