***
Teng! Teng! Teng!
Lonceng gereja berbunyi. Monna dengan gaun putihku telah bersiap menuju ke altar. Di sana, lelaki itu menunggunya dengan sepasang cincin yang akan mengikat cinta mereka berdua. Aku di sini, sekedar melihat dari kejauhan. Di atas pohon, dengan sekumpulan burung gagak yang menemaniku.
Pintu gereja tertutup. Kidung pujian telah dinaikkan. Aku meringis, menahan tangis.
Cukup!
Aku melesat ke gedung gereja. Kukepakkan sayap kebencian. Pintu gereja terbuka paksa. Kidung terhenti seketika. Semua mata tertuju padaku. Tak terkecuali Monna dan lelaki itu.
“Angella! Kau datang pada pernikahku. Aku yakin bahwa kau akan menjadi saksiku.”
“Hahahaha... Kau benar, Monna. Aku memang akan datang dan sekaligus untuk menyaksikan kematiannya!”
“Apa maksudmu?”
Kulangkahkan kakiku perlahan. Kubiarkan sayapku sesekali mengepak. Tahukah kau? Kakiku kembali dua. Bagus? Tentu saja, walau dalam rupa kaki gagak. Tak sedikit orang yang menatapku penuh ketakutan. Ya, kali ini aku memang akan membuat ketakutan itu menjadi nyata.
“Tanyakan kepada calon suamimu, siapa aku!”