Hari semakin sore. Marnih masih belum menemukan cincin itu. Sementara sebentar lagi suaminya pulang.
Tanpa salam, Marjan masuk ke rumah. Dia mendapati Marnih dengan wajah layu dan kuyu.
Ditanyanya kenapa wajah Marnih tak seperti biasanya meskipun ada simpul-simpul senyum dibibirnya. Tapi sebagai suami Marjan tahu bahwa Marnih sedang diendapkan masalah.
"Mar" demikian ia biasa menyapa isterinya itu
"ini adalah hari jadi pernikahan kita. Aku bawakan sesuatu yang spesial untukmu"lanjut Marjan
Marnih mengiyakan dan mendengarkan baik-baik apa yang dikatakan suaminya itu.
"semalam aku bermimpi. Mimpi yang sangat indah sekali"
"mimpi apa?" marnih mulai bersemangat
"aku mimpi ketika aku melamarmu dan perjuanganku membeli cincin pernikahan sebagai tanda cinta kita"
Mendengar demikian, dada Marnih sesak. Ia tak antusias lagi tentang mimpi suaminya tapi hatinya ingin.
"lalu"