Ia angkat tubuhnya yang sedari tadi duduk di saung yang sudah mau reyot. Lima menit belum beranjak, kembali kekisruhan melanda pikirannya. Pikirannya kembali kuyu.
"pinjam?"
"masa sih aku harus pinjam segala, ini kan buat tanda cintaku yang tulus pada Marnih. Belum apa-apa sudah kepikiran mau pinjam segala"
Meskipun tak pernah mengenyam pendidikan tinggi, ia tak mau prinsip hidupnya tergantung pada yang lain. Ini karena ajaran neneknya dulu sebelum meninggal.
"dalam segala hal, kita tak boleh tergantung pada orang lain. Kita harus bisa menyelesaikan masalah sendiri. Dari situ kita akan mengerti makna hidup" begitu kata neneknya yang masih ia ingat betul.
Ditambah bacaan-bacaan yang sering ia renungkan yang secara langsung memberikan pengaruh pada sikap dan cara berpikir Marjan.
Maka, ia pun mengurungkan niatnya meminjam uang pada temannya. Ia dudukan kembali tubuhnya pada saung yang sudah mulai reyot itu. Kembali ia memikir, merenung untuk mencari uang tambahan. Sore sudah mulai pekat, Marjan masih duduk di saung itu. Berjam-jam ia habiskan waktunya untuk mencari jalan keluar. Tapi jalan yang dituju belum ketemu.
Segera ia hentikan perenunganny itu. Ia arahkan wajahnya ke depan. Tiba-tiba terlihat seekor semut yang hendak mengambil makanan dengan tergopoh-gopoh. Makanan yang disasar hamper didapati. Tapi sial semut itu. Tubuhnya terhempas angin menyebabkan ia semakin jauh untuk mendapatkan makanan yang diburu. Semut itu diam sejenak. Lalu ia gerakan kembali tubuhnya. Tubuhnya semakin dekat pada makanan. Tapi sekali lagi ia sial. Kali ini makanan yang diburu terhempas angin. Ia tak patah arang. Langkahnya semakin pasti. Akhirnya berhasillah ia mendapati makanan yang diburu.
Marjan melolong, menohok tapi bibirnya menyungging senyum lebar.
"Mantap. Mantap kau semut. Hebat kau semut. Ajaib kau semut. Aku suka caramu"teriak Marjan sebagai tanda kekagumannya pada cara, semngat, dan ketekunan semut.
Mulai sore itu ia mengimani filosofi semut. Tekun, pekerja keras, semangat, dan tak patah arang.