Ia masih ingat bagaimana perjuangan suaminya untuk mendapatkan cincin pernikahan itu. Saat itu mereka memasuki tahun ke empat berpacaran. Orang tua Marnih meminta Marjan agar menikahi anak gadis mereka. Kontan, Marjan yang bekerja sebagai kurir pos tak punya modal untuk menikahi Marnih. Gajinya saja hanya cukup untuk menutupi kebutuhannya sehari-hari. Tapi kalau untuk sekadar mengajak Marnih jalan-jalan, ia cukup menambah jam waktu kerja saja.
Orang tua Marnih tak memberatkan apa-apa pada Marjan. Mereka sama sekali tak menuntut banyak. Yang penting, bagi mereka adalah Marjan bisa membahagiakan Marnih. Tapi meskipun begitu, Marjan harus menyiapkan segala sesuatu untuk pernikahan.
"kami sebagai orang tua Marnih tak menuntut banyak dari kamu, Jan" begitu kata ibu Marnih
"tapi.."
"tapi apa? yang penting Marnih bahagia hidup bersama kamu"
Marjan paham apa yang disampaikan orang tua Marnih. Namun ia tahu setidaknya dalam pernikahan harus ada cincin tanda pengikat pernikahannya dengan Marnih. Maka, untuk membuktikan keseriusan cintanya pada Marnih, Marjan mulai memeras pikiran untuk mencari uang tambahan agar bisa membeli cincin pernikahan.
Semenjak itulah ia sering merenung, memikirkan bagaimana agar ia bisa membeli cincin.
"tapi berapakah harga cincin?" gumamnya dalam hati
"Pasti butuh uang banyak untuk mendapatkannya, gajiku pasti tak cukup"
Dari situ solusi bagus sudah muncul. Ia teringat temannya yang punya usaha lapak es kelapa muda. Segera wajahnya yang kuya mulai tersimpul rona cerah. Bibirnya tersenyum lebar. Kalau ada kemauan, pasti ada jalan. Ujarnya dalam hati
"Marjan, Marjan kau memang lelaki cerdik" ia mencoba memuji dirinya sendiri.