Mohon tunggu...
Erni Purwitosari
Erni Purwitosari Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Pesepeda dan pemotor yang gemar berkain serta berkebaya. Senang wisata alam, sejarah dan budaya serta penyuka kuliner yang khas.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Cerpen] Pertemuan

1 September 2023   17:46 Diperbarui: 1 September 2023   17:47 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

     "Key!'

     Aku menoleh saat namaku dipanggil. Dan....

     "Hey! Kak Indra ya? Hallooo... akhirnya ketemu juga," kataku tanpa menutupi rasa girang ini.

     Kuulurkan tangan ini untuk menjabatnya yang segera disambut dengan jabatan erat oleh laki-laki yang kupanggil Kak Indra. Kami menyatukan perasaan senang ini melalui jabatan tangan yang erat dan senyum yang mengembang. Pertemuan pertama di dunia nyata. Setelah sekian lama berteman di dunia maya.

     Kami lantas berjalan bersisian menuju pintu keluar. Mengikuti arus penumpang lain yang juga sama-sama hendak keluar. Suasana bandara pagi ini cukup ramai. Maklum hari libur. Sambil berjalan sesekali kudongakkan kepala melihat Indra yang menerangkan sesuatu hal. Tampak tenang dan berwibawa. Sesekali terlihat ia tersenyum dan melambaikan tangan ketika berpapasan dengan orang. Mungkin orang yang mengenalnya sering ke bandara. Mengingat ia adalah warga kota itu.

    Entah diriku yang terlalu mungil atau dirinya yang terlalu menjulang sehingga aku serasa berjalan dengan bule, saking seringnya mendongak saat berbincang dengannya. Lelaki yang berjalan disebelahku ini perawakannya memang tinggi. Berat badannya sedang-sedang saja, hidungnya bangir kulihat dari samping. Dengan kulit sawo matang yang dihiasi bulu-bulu tangan yang tampak halus dan rapi, aku sebut ciptaan Tuhan ini, tampan.

     "Selamat datang di kotaku. Semoga kamu suka," ucapnya begitu kami tiba di pelataran.

     Aku tersenyum. Kurentangkan tangan ini lebar-lebar sambil menghirup udara pagi yang segar.

     "Huaaahh...segarnya. Terima kasih ya Kak sudah meluangkan waktu untukku. Tapi aku tidak bisa lama-lama. Nanti malam aku kembali dengan penerbangan terakhir. Jadi hanya punya waktu seharian saja untuk mengelilingi kota ini."

     "Loh! Jadi kamu betul-betul cuma sehari ini? Enggak bisa menginap walau semalam?" ujar Indra dengan nada kaget.

      Aku mengangguk.

     "Besok pagi aku langsung kerja. Menyampaikan hasil rapat di sini. Jadi begitulah. Untuk hari ini kubuka dan tutup hari di kotamu Kak."

      Indra tersenyum mendengar kata-kataku. Namun aku dapat melihat sorot kekecewaan di matanya. Sekilas.

     "Baiklah kalau begitu. Dalam tempo waktu yang sesingkat-singkatnya ini aku akan berusaha menjadi tuan rumah yang baik bagimu," ucap Indra dengan mimik lucu. Aku pun tersenyum mendengar penuturannya. Lucu.

     Maka begitulah. Dengan mengendarai motor, Indra membawaku keluar dari bandara menuju lokasi yang kusebutkan.

     "Bilang ya kalau nanti aku terlalu kencang membawa motornya. Aku hanya ingin memaksimalkan waktu agar kamu dapatkan semua dalam sehari ini."

     "Oke. Siiip...Siiip Kak," sahutku.

     Lalu bak rider motoGP, Indra memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Aku yang tidak ingin mati konyol di kampung orang, dengan sekonyong-konyong memeluk pinggangnya erat-erat. Sekilas kurasakan deguban halus di dadanya saat tanganku melingkari pinggangnya. Namun segera kuabaikan semua itu. Dipikiranku saat itu keselamatan diri dan bagaimana caranya menikmati pemandangan yang kulalui dalam kecepatan seperti ini.

     Setelah hampir satu jam perjalanan, akhirnya kami tiba ditujuan. Sebuah hotel megah dan berkelas.

     "Sampai. Ini tempatnya Key."

     "Wah, terima kasih ya Kak Indra."

      "Sama-sama."

      "Oiya. Kak Indra mau pulang dulu atau bagaimana nih?" kataku.

     "Ehmm, kamu berapa jam kira-kira rapatnya plus menyelesaikan urusan lainnya?" kata Indra balik bertanya.

     "Enggak lama kok. Yah, sekitar 2-3 jam."

     "Kalau begitu aku tunggu di coffe shop itu saja.'

      "Tapi Kak. Tiga jam menunggu itu lumayan lama loh. Aku jadi enggak enak nih," kataku merasa tak enak hati.

     "Sudah santai saja. Cepat sana urus dulu pekerjaanmu. Kabari kalau sudah selesai."

     "Oh, oke..oke kalau begitu. Maaf ya Kak sudah merepotkan," ujarku lagi sebelum berlalu dari hadapannya. Indra tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Pasti menertawakan tingkahku.

     Aku bergegas menuju resepsionis. Setelah mendapatkan informasi yang kuinginkan, aku segera mempersiapkan segala sesuatunya. Disela-sela rapat pikiraku tertuju pada Indra. Membayangkan dirinya yang harus menunggu berjam-jam. Rasanya tak enak hati. Baru berjumpa sudah disuruh menunggu.

      Maka ketika rapat usai aku bergegas menelpon Indra. Agar ada alasan untuk tidak mengikuti acara lain yang tak penting.

     "Hallo! Kak Indra aku sudah selesai nih. Kakak di mana?"

     "Oke. Kamu di situ saja biar aku yang ke sana," sahut Indra diseberang telepon.

     "Oke," sahutku.

 Tak berapa lama Indra sudah berada dihadapanku.

      "Sudah beres urusannya?"

      "Sudah. Untung cepat. Jadi Kak Indra enggak terlalu lama menungguku. Aku enggak enak saja rasanya."

      "Hey, Key. Santai saja sih. Jangan merasa sungkan seperti itu. Aku loh biasa saja. Kita kan bukan baru pertama kenal. Meski memang baru pertama ini jumpa langsung."

     "Itulah yang justru membuat aku merasa tak enak. Maafkan aku ya Kak Indra."

     "Nah, kan minta maaf lagi. Sudah ah aku enggak mau mendengar permintaan maaf lagi ya? Seperti majikan dan bawahan saja," selorohnya.

     Aku tertawa. Ia pun demikian. Kami tertawa bersama. Betapa dalam tawa tak merasa ada duka.

      Menepati janjinya padaku ketika berkabar-kabari mengabarkan kedatanganku. Indra mengajakku ke tempat-tempat yang sudah disepakati.

      "Ini jalan menuju kedai itu, Kak?" tanyaku.

     "Iya. Kenapa? Takut? Kan ada aku?"

     "Enggak sih. Cuma enggak menyangka saja kalau jalannya seperti ini. Pasar tradisional yang kumuh dan semrawut."

     "Jadi bagaimana? Mau lanjut atau kembali," ujar Indra.

     "Lanjut saja. Sudah terlanjur di sini."

     "Oke kalau begitu. Yuuuk!" ajak Indra.

     Aku pun mengekor di belakang Indra. Kurapikan posisi tas agar aman. Sebentar-bentar aku tersenggol oleh orang yang lalu lalang. Sehingga berjarak dengan Indra. Agar tak kehilangan jejak maka begitu dekat dengan Indra segera kuraih lengannya.

     "Kenapa?" tanya Indra.

     "Takut ketinggalan," sahutku dengan tersipu. Indra tersenyum. Diraihnya tanganku lalu dilepaskan dari lengannya. Sebagai gantinya Indra meraih jemariku dan menggenggamnya dengan erat. Lalu melanjutkan langkahnya sambil menggandengku. Aku tersenyum sendiri. Ada perasaan nyaman mengaliri hatiku.

     "Hati-hati dengan tasmu."

     "Iya, Kak. Sudah."

     Kami menyusuri lorong-lorong yang ada di pasar. Sesekali menghindari bersenggolan dengan orang yang tampak terburu-buru. Tak berapa lama tibalah ditempat yang kami tuju.

     "Sampai. Ini tempatnya," ucap Indra.

     "Uuff. Akhirnya," sahutku.

     Untungnya ada 2-3 pengunjung yang sudah selesai. Sehingga kami tak terlalu lama menunggu antrian tempat duduk, untuk menikmati semangkuk mie yang terkenal di kota ini. Jika diumpamakan, ini seperti bakmie Gang Kelinci didaerah Pasar Baru, Jakarta.

      Usai menikmati kuliner di kota ini. Indra mengajakku ke pasar buku loak tanpa sepengetahuanku.

     "Wah, ini Kak tempatnya? Bisa kalap aku nanti," ujarku.

     "Ya, enggak apa-apa. Mumpung di sini," ucap Indra.

     Aku tersenyum. Betapa ia mengingat semua yang kukatakan dalam percakapan kami sebelum bertemu. Dengan perasaan bahagia berada di sarang buku, ku gandeng tangan Indra menyusuri tempat-tempat yang ku ingin. Sampai tak terasa waktuku bersamanya telah habis.

     "Terima kasih ya, Kak. Aku senang bisa menghabiskan waktu bersama Kakak di sini," kataku sesaat sebelum memasuki ruang chek ini bandara

     "Sama-sama. Aku juga senang kamu mau menemuiku. Biasanya pertemanan di dunia maya itu hanya semu. Ramai dan berani dituliskan saja. Tapi pada saat berjumpa tak ada apa-apanya. Tapi kamu berbeda. Di tulisan dan kenyataan tak jauh berbeda."

     "Karena aku tidak mau menjadi orang lain. Apalagi hanya demi mendapatkan pujian dan kebanggaan semu," sahutku.

     "Dan aku suka itu," ujar Indra.

     "Suka apa?" kataku menggodanya.

      Indra tampak salah tingkah. Tersipu malu. Aku senang melihatnya. Lelaki yang bisa tersipu menurutku hatinya lugu dan jujur. Tipe lelaki yang melindungi perempuannya. Jika hati sudah terpaut, maka biarkan waktu yang bicara. Karena bahagia itu diciptakan. Bukan ditemukan.

Larindah, September 2023

Note: cerpen senada terdapat dalam antologi cerpen cinta Love Pasta karya Denim dkk

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun