Mohon tunggu...
Deni Saputra
Deni Saputra Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru dan Penggiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar menulis untuk memahami kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membaca Sastra "Tarian Bumi" Karya Oka Rusmini Lagi, Yuk!: Tinjauan Sosiologis-Ekspresif

11 November 2021   08:44 Diperbarui: 11 November 2021   08:46 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam prosesi pernikahannya dengan Wayan Sasmitha, Ida Ayu Telaga Pidada harus melewati ritual penurunan derajatnya dari seorang brahmana menjadi seorang sudra. Ritual ini sangat merendahkan derajatnya sebab dalam ritual ini ia yang hanya memakai selembar kain tidur telentang. Sementara pemangku adat akan mencuci kakinya di ubun-ubunnya. Sama dengan ritual pengukuhan Jero Kenanga dulu, ritual ini dipercaya sebagai pencucian karena dianggap orang yang pindah kasta akan memberikan malapetaka atau kesialan bagi keluarga besar (Gubreg). Namun Telaga benar-benar memberontak, ia tidak peduli pada semua adat itu, baginya yang terpenting adalah membebaskan dirinya dan mencintai Wayan Sasmitha. Ia pun menginginkan yang mencuci kaki di ubun-ubunnya adalah ibunya sendiri, Jero Kenanga. Ia tidak rela pemangkunya nanti adalah perempuan brahmana yang lain. Ia tahu ibunya dulu adalah seorang sudra, oleh sebab itu ia merasa lebih bangga bila yang melakukan pengukuhan itu adalah ibunya sendiri.

Diakhir cerita, Ida Bagus Tugur mulai dapat menerima Telaga sebagai cucunya dan mencintainya meski akan menjadi seorang sudra. Pikirannya pun terbuka kalau hidup ini sudah layak diperbaiki dan menerima banyak hal. Ia tidak lagi menjadi seorang yang narsis terhadap kasta brahmananya. Telaga yang telah dikarunia seorang anak perempuan bernama Luh Sari juga senang melihat perubahan ini. Dari sejak kecil Luh Sari telah memperlihatkan bakat menari yang bagus sekali. Ia pun cantik dan mulai memperlihatkan obsesi sebagai seorang sudra yang ingin menjadi seorang brahmana. Mungkin ini karma tapi Telaga tidak peduli, tidak pula memikirkan itu, baginya Luh Sari bisa menjadi apa saja yang ia mau.    

Kajian Pendekatan Sosiologi Sastra Sosiologi Pengarang (Oka Rusmini)

Sebuah Tinjauan Sosiologis-Ekspresif

Oka Rusmini lahir di Jakarta 11 Juli 1967, Ibunya seorang Jawa sedangkan Ayahnya keturunan bangsawan kasta brahmana Bali. Oleh sebab itu sebenarnya ia menyandang nama Ida Ayu Oka Rusmini. Sampai SD ia masih tinggal di Jakarta, SMP ia melanjutkannya di Bali karena Ayahnya menikah lagi dengan perempuan Bali, hingga sekarang ia menetap di Bali.

Lingkungan tempat tinggalnya mengajarkan padanya tentang budaya Bali yang menurutnya tidak hanya cantik, tetapi juga memiliki sisi gelap. Oleh sebab itu, tidak hanya novel Tarian Bumi ini saja, ia mengambil warna lokal Bali. Kumpulan cerpennya Monolog Pohon dan Sagra serta dua novelnya yang lain Kenanga dan Patiwangi selalu membicarakan dan menyingkap Bali bukan dari wajah cantiknya, tapi dari sisi gelap kultur dan manusia-manusianya.

Mungkin terselip jiwanya dalam tiap cerita yang ditulis. Oka adalah anak keras kepala yang sedikitnya memiliki trauma terhadap orang tuanya. Ia termasuk anak perempuan satu-satunya yang memberontak. 

Dimulai dari pembangkangannya terhadap Ayahnya yang menghendakinya menjadi seorang dokter dan tidak menyetujuinya untuk kuliah di jurusan sastra. Ia minggat dan memilih kuliah di jurusan sastra. Ia membiayai kuliahnnya sendiri dengan tulisan-tulisannya hingga kini ia mampu menghasilkan banyak kumpulan serta antologi puisi dan cerpen, beberapa novel, serta menulis naskah drama dan cerita anak. 

Karyanya pun telah diterjemahkan di Australia dan Swedia juga beberapa Negara lain. Ini membuktikan kemampuannya dalam sastra dan mengangkat namanya di dunia sastra Indonesia. Berdasarkan inilah ia merasa pikiran orang tuanya (Ayahnya) perlu diubah bahwa tak selamanya anak harus terus mengikuti keinginannya. Anak juga punya hak untuk memilih. 

 Hal kedua yang terlihat dalam pemberontakannya adalah ketika ia memilih menikah dengan seorang Jawa dan menjadi muslim. Ini tentunya sangat ditentang oleh keluarganya sebab untuk meneruskan kasta brahmana yang disandangnya, paling tidak ia harus menikah dengan orang Bali. Pemberontakan ini sangat tercermin dalam novel Tarian Bumi. Secara tidak langsung ia mengkritik beberapa budaya yang sudah tidak mapan dipakai dalam tatanan Bali. Terutama yang paling menonjol adalah yang terlalu mendesreditkan  perempuan-perempuan Bali tentang dengan siapa mereka harus menikah dan bagaimana masyarakat menilai pilihan perempuan. 

 Novel merupakan pilihan Oka dalam menyampaikan kritik-kritik budaya dan ideologi pemikirannya tentang perempuan khususnya. Sebab dalam budaya Bali ia menilai perempuan lebih banyak dijadikan objek dan mendapat persepsi yang tidak terlalu baik di masyarakat bila melakukan atau mendapatkan keinginannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun