Mohon tunggu...
Deni Saputra
Deni Saputra Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru dan Penggiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar menulis untuk memahami kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membaca Sastra "Tarian Bumi" Karya Oka Rusmini Lagi, Yuk!: Tinjauan Sosiologis-Ekspresif

11 November 2021   08:44 Diperbarui: 11 November 2021   08:46 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Abrams (1976) berpendapat bahwa ada tiga pendekatan yang digunakan untuk menganalisis karya sastra, yaitu: (1) pendekatan mimesis, melihat sastra sebagai cerminan kenyataan, (2) pendekatan ekspresif, melihat sastra dalam hubungannya dengan pengarangnya, dan (3) pendekatan pragmatis, kaitan pembaca atau penikmat sastra terhadap suatu karya sastra.

Rene Wellek dan Austin Warren membuat klasifikasi: (1) sosiologi pengarang, yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan segala yang menyangkut pengarang sebagai pencipta sastra. (2) sosiologi karya sastra, yang bertitik tolak dari dalam karya sastra itu sendiri, menjadi pokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastradan apa yang menjadi tujuannya serta (3) sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.

 Dengan demikian ada tiga bagian terpenting dalam pendekatan sosiologi sastra. Pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisis sastra sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Kedua, perspektif biografis, yaitu peneliti menganalisis pengarangnya. Ketiga, perspektif reflektif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.

 Sinopsis Novel Tarian Bumi Karangan Oka Rusmini

Luh Sekar adalah seorang penari joged berkasta sudra. Suatu hari dalam suatu acara ia terpikat oleh seorang laki-laki yang mengibingnya dari kasta brahmana bernama Ida Bagus Ngurah Pidada. Ida Bagus Ngurah Pidada adalah anak dari keturunan kasta brahmana, Ida Bagus Tugur dan Ida Ayu Sagra Pidada, yang dalam keluarganya sangat menjunjung derajat kasta brahmana dan pernikahan satu darah (satu kasta).

Sebenarnya Luh Sekar tidak mencintai Ida Bagus Ngurah Pidada, namun karena lelaki itu memiliki uang banyak dan sering memberinya uang sangat banyak ketika menjadi pengibingnya saat jogged. Luh Sekar selalu bercita-cita menaikan derajatnya sebagai seorang sudra, kalau bisa menikah dengan orang berkasta bramana agar dapat menaikan derajatnya dan dihargai oleh masyarakat. Akhirnya Luh Sekar menerima lamaran Ida Bagus Ngurah Pidada dan menikah dengannya. Pernikahannya ini sangat ditentang oleh keluarga Ida Bagus Ngurah Pidada, terutama ibunya. 

Demikian juga dengan ibu Luh Sekar, sebenarnya kurang setuju anaknya menikah dengan laki-laki brahmana karena ia tahu anaknya harus melewati acara pengukuhannya menjadi brahmana dan menerima banyak peraturan baru. Luh Sekar akan mendapat gunjingan dari keluarga suaminya juga masyarakat (terutama kasta brahmana), ia akan dilarang menjadi penari joged karena badannya akan disentuh laki-laki lain. Dan ia akan dibiarkan tinggal di rumah serta mengurus rumah tangga.

Meski perubahan itu sangat drastis, namun obsesi Luh Sekar untuk mengangkat derajat dirinya telah mengakar sehingga ia tidak peduli dengan pandangan masyarakat serta kekolotan adat. Ia memberontak. Akhirnya ia mendapat gelar bangsawan brahmana, namanya menjadi Jero Kenanga. Walau demikian mewah Jero Kenanga mendapatkan hidup, tetapi ternyata ia tidak menikmati menjadi seorang brahmana karena selalu mendapat pergunjingan terutama dari ibu suaminya, selain itu ia dituntut bekerja keras mengurusi rumah tangga karena suaminya ternyata seorang pemabuk dan suka pergi ke tempat pelacuran (terakhir diketahui suaminya mati dibunuh orang di tempat pelacuran). Ia juga mengalami tekanan batin karena kebebasannya dibelenggu untuk menari, meski ada penari berkasta brahmana juga namun ia dilarang menari oleh suaminya karena takut mencemarkan nama baik keluarganya sebab ia sebenarnya berasal dari kasta sudra.

Akhirnya Jero Kenangan dikarunia seorang anak yang diberi nama Ida Ayu Telaga Pidada. Ia berharap anaknya kelak yang seorang Ida Ayu dapat memenuhi obsesinya yang tak kesampaian sebagai seorang tugeg (penari kenamaan, sebutan untuk penari dari kasta brahmana).

 Ida Ayu telaga Pidada tumbuh dewasa menjadi gadis cantik dan pandai menari, seperti Jero Kenanga dulu. Ia dipuja setiap kali menari. Walau begitu, ia merasa tidak bebas hidup sebagai keluarga brahmana. Ia merasa banyak aturan yang harus ia taati terutama dalam hal memilih laki-laki. Dalam hal yang satu ini tentunya atas permintaan, nasihat, dan wejangan ibunya yang sangat terobsesi mengangkat derajatnya.

Suatu hari ketika telah selesai berdoa di pura, ia bertemu dengan seorang laki-laki dan jatuh cinta padanya. Laki-laki itu bernama Wayan Sasmitha dari kasta sudra. Diam-diam ia menjalin hubungan cinta dengan Wayan Sasmitha. Namun ternyata hubungan itu diketahui oleh ibunya dan tidak merestui. Walau demikian, Ida Ayu Telaga Pidada memiliki sifat yang sama dengan ibunya: keras kepala. Ia tidak suka dibelenggu dan terang-terangan melakukan pemberontakan ketika ia dilarang bertemu dengan Wayan Sasmitha. Alhasil, ia hamil di luar nikah. Jero kenangan sangat kecewa dan sedih sebab pertama anaknya tidak menuruti perintahnya dan kedua karena keinginannya kandas sebab mau tidak mau anaknya harus menikah dengan laki-laki berkasta sudra itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun