Mohon tunggu...
Deni Saputra
Deni Saputra Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru dan Penggiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar menulis untuk memahami kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membaca Sastra "Tarian Bumi" Karya Oka Rusmini Lagi, Yuk!: Tinjauan Sosiologis-Ekspresif

11 November 2021   08:44 Diperbarui: 11 November 2021   08:46 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pendahuluan

Sepertinya warna-warna lokal kini banyak ditemui dalam setiap karya sastra seperti cerpen dan novel. Kekuatan warna lokal ini ternyata menjadi akar yang paling kuat, entah dalam setting sebuah cerita atau dalam pengetahuannya, terutama di sini dalam realitas sosial masyarakat. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa sastra modern tidak lepas sama sekali dari sastra tradisional, meski dalam kenyataannya sastra modern yang membicarakan lokal budaya selalu mengusung kritik terhadap budaya tersebut. 

Sastra merupakan suatu sarana atau media yang menarik yang mencerminkan masyarakat, zaman, dan prilaku manusia-manusia di dalamnya pada suatu waktu. Oleh sebab itu sastra selalu merefleksikan kehidupan nyata dalam bentuk fiksi.

Dalam novel Tarian Bumi, Oka Rusmini membicarakan budaya Bali secara modern dan kental: sistem kasta masyarakat Hindu Bali, peranan perempuan Bali dan keinginan serta obsesinya, tatanan keluarga Bali (Banjar), dan kehidupan sosial masyarakat Bali lainnya yang dihadapkan kepada dunia modern. Dalam novel ini, sebenarnya Oka berusaha memaparkan pemikirannya, mendekonstruksi, dan menyadarkan pembacanya terhadap realitas yang ada untuk bisa diterima masyarakat Hindu Bali, khususnya, terhadap tatanan adat mereka yang kian tidak mapan. 

Secara gamblang, novel ini mengatakan bahwa budaya tidak selamanya indah, cantik, kaya, dan perlu dilestarikan. Budaya juga merupakan bentukan pola pikir dan prilaku masyarakat sehingga memiliki kekurangan atau sisi negatif yang harus diminalisasi dalam penerapan budaya agar tidak merugikan masyarakat budaya itu sendiri.

Atas dasar latar belakang inilah novel Tarian Bumi ini dikaji dengan pendekatan sosiologi sastra. Sebab dengan pendekatan ini kita dapat melihat bagian-bagian lain dari sebuah karya sastra yang mungkin saja tak pernah terlintas dalam pikiran kita.

 Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra merupakan disiplin ilmu yang terdiri dari sejumlah studi-studi empiris yang semuanya berurusan dengan sastra dengan masyarakat.[1] Pendekatan ini berguna untuk melihat sastra sebagai cermin masyarakat sebab kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya karya sastra. Hal ini dikarenakan karya sastra yang berhasil yaitu yang mampu merefleksikan zamannya. (Faruk, 1994: 3).

Sosilogi sastra dapat meneliti sekurang-kurangnya melalui tiga perspektif. Pertama, perspektif teks sastra. Kedua, perspektif biografis. Ketiga, perspektif reflektif. Perspektif pendekatan dan penelitian sosiologi sastra ini juga sama halnya dengan teori beberapa tokoh-tokoh seperti Alan Swingewood, Ian Watt, R. H. Abrams, serta Rene Wellek dan Austin Warren.

Menurut Alan Swingewood ada tiga pendekatan dalam sosiologi sastra, yaitu : (1) pendekatan yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosio budaya. (2) Pendekatan yang memandang kedudukan sosial pengarang, dan (3) pendekatan yang menekankan pada resepsi masyarakat terhadap karya sastra.

Ian Watt (1964) dalam esainya yang berjudul Literature and Society membicarakan konteks hubungan sosial sastrawan, fungsi sosial sastra, dan sastra sebagai cerminan masyarakatnya. Dalam kontek sosial pengarang tentu ada hubungan antara posisi sosial pengarang dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam sastra itu sendiri menilai sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai cerminan masyarakat. Sedangkan dalam fungsi sosial sastra melihat sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial.

Abrams (1976) berpendapat bahwa ada tiga pendekatan yang digunakan untuk menganalisis karya sastra, yaitu: (1) pendekatan mimesis, melihat sastra sebagai cerminan kenyataan, (2) pendekatan ekspresif, melihat sastra dalam hubungannya dengan pengarangnya, dan (3) pendekatan pragmatis, kaitan pembaca atau penikmat sastra terhadap suatu karya sastra.

Rene Wellek dan Austin Warren membuat klasifikasi: (1) sosiologi pengarang, yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan segala yang menyangkut pengarang sebagai pencipta sastra. (2) sosiologi karya sastra, yang bertitik tolak dari dalam karya sastra itu sendiri, menjadi pokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastradan apa yang menjadi tujuannya serta (3) sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.

 Dengan demikian ada tiga bagian terpenting dalam pendekatan sosiologi sastra. Pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisis sastra sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Kedua, perspektif biografis, yaitu peneliti menganalisis pengarangnya. Ketiga, perspektif reflektif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.

 Sinopsis Novel Tarian Bumi Karangan Oka Rusmini

Luh Sekar adalah seorang penari joged berkasta sudra. Suatu hari dalam suatu acara ia terpikat oleh seorang laki-laki yang mengibingnya dari kasta brahmana bernama Ida Bagus Ngurah Pidada. Ida Bagus Ngurah Pidada adalah anak dari keturunan kasta brahmana, Ida Bagus Tugur dan Ida Ayu Sagra Pidada, yang dalam keluarganya sangat menjunjung derajat kasta brahmana dan pernikahan satu darah (satu kasta).

Sebenarnya Luh Sekar tidak mencintai Ida Bagus Ngurah Pidada, namun karena lelaki itu memiliki uang banyak dan sering memberinya uang sangat banyak ketika menjadi pengibingnya saat jogged. Luh Sekar selalu bercita-cita menaikan derajatnya sebagai seorang sudra, kalau bisa menikah dengan orang berkasta bramana agar dapat menaikan derajatnya dan dihargai oleh masyarakat. Akhirnya Luh Sekar menerima lamaran Ida Bagus Ngurah Pidada dan menikah dengannya. Pernikahannya ini sangat ditentang oleh keluarga Ida Bagus Ngurah Pidada, terutama ibunya. 

Demikian juga dengan ibu Luh Sekar, sebenarnya kurang setuju anaknya menikah dengan laki-laki brahmana karena ia tahu anaknya harus melewati acara pengukuhannya menjadi brahmana dan menerima banyak peraturan baru. Luh Sekar akan mendapat gunjingan dari keluarga suaminya juga masyarakat (terutama kasta brahmana), ia akan dilarang menjadi penari joged karena badannya akan disentuh laki-laki lain. Dan ia akan dibiarkan tinggal di rumah serta mengurus rumah tangga.

Meski perubahan itu sangat drastis, namun obsesi Luh Sekar untuk mengangkat derajat dirinya telah mengakar sehingga ia tidak peduli dengan pandangan masyarakat serta kekolotan adat. Ia memberontak. Akhirnya ia mendapat gelar bangsawan brahmana, namanya menjadi Jero Kenanga. Walau demikian mewah Jero Kenanga mendapatkan hidup, tetapi ternyata ia tidak menikmati menjadi seorang brahmana karena selalu mendapat pergunjingan terutama dari ibu suaminya, selain itu ia dituntut bekerja keras mengurusi rumah tangga karena suaminya ternyata seorang pemabuk dan suka pergi ke tempat pelacuran (terakhir diketahui suaminya mati dibunuh orang di tempat pelacuran). Ia juga mengalami tekanan batin karena kebebasannya dibelenggu untuk menari, meski ada penari berkasta brahmana juga namun ia dilarang menari oleh suaminya karena takut mencemarkan nama baik keluarganya sebab ia sebenarnya berasal dari kasta sudra.

Akhirnya Jero Kenangan dikarunia seorang anak yang diberi nama Ida Ayu Telaga Pidada. Ia berharap anaknya kelak yang seorang Ida Ayu dapat memenuhi obsesinya yang tak kesampaian sebagai seorang tugeg (penari kenamaan, sebutan untuk penari dari kasta brahmana).

 Ida Ayu telaga Pidada tumbuh dewasa menjadi gadis cantik dan pandai menari, seperti Jero Kenanga dulu. Ia dipuja setiap kali menari. Walau begitu, ia merasa tidak bebas hidup sebagai keluarga brahmana. Ia merasa banyak aturan yang harus ia taati terutama dalam hal memilih laki-laki. Dalam hal yang satu ini tentunya atas permintaan, nasihat, dan wejangan ibunya yang sangat terobsesi mengangkat derajatnya.

Suatu hari ketika telah selesai berdoa di pura, ia bertemu dengan seorang laki-laki dan jatuh cinta padanya. Laki-laki itu bernama Wayan Sasmitha dari kasta sudra. Diam-diam ia menjalin hubungan cinta dengan Wayan Sasmitha. Namun ternyata hubungan itu diketahui oleh ibunya dan tidak merestui. Walau demikian, Ida Ayu Telaga Pidada memiliki sifat yang sama dengan ibunya: keras kepala. Ia tidak suka dibelenggu dan terang-terangan melakukan pemberontakan ketika ia dilarang bertemu dengan Wayan Sasmitha. Alhasil, ia hamil di luar nikah. Jero kenangan sangat kecewa dan sedih sebab pertama anaknya tidak menuruti perintahnya dan kedua karena keinginannya kandas sebab mau tidak mau anaknya harus menikah dengan laki-laki berkasta sudra itu.

Dalam prosesi pernikahannya dengan Wayan Sasmitha, Ida Ayu Telaga Pidada harus melewati ritual penurunan derajatnya dari seorang brahmana menjadi seorang sudra. Ritual ini sangat merendahkan derajatnya sebab dalam ritual ini ia yang hanya memakai selembar kain tidur telentang. Sementara pemangku adat akan mencuci kakinya di ubun-ubunnya. Sama dengan ritual pengukuhan Jero Kenanga dulu, ritual ini dipercaya sebagai pencucian karena dianggap orang yang pindah kasta akan memberikan malapetaka atau kesialan bagi keluarga besar (Gubreg). Namun Telaga benar-benar memberontak, ia tidak peduli pada semua adat itu, baginya yang terpenting adalah membebaskan dirinya dan mencintai Wayan Sasmitha. Ia pun menginginkan yang mencuci kaki di ubun-ubunnya adalah ibunya sendiri, Jero Kenanga. Ia tidak rela pemangkunya nanti adalah perempuan brahmana yang lain. Ia tahu ibunya dulu adalah seorang sudra, oleh sebab itu ia merasa lebih bangga bila yang melakukan pengukuhan itu adalah ibunya sendiri.

Diakhir cerita, Ida Bagus Tugur mulai dapat menerima Telaga sebagai cucunya dan mencintainya meski akan menjadi seorang sudra. Pikirannya pun terbuka kalau hidup ini sudah layak diperbaiki dan menerima banyak hal. Ia tidak lagi menjadi seorang yang narsis terhadap kasta brahmananya. Telaga yang telah dikarunia seorang anak perempuan bernama Luh Sari juga senang melihat perubahan ini. Dari sejak kecil Luh Sari telah memperlihatkan bakat menari yang bagus sekali. Ia pun cantik dan mulai memperlihatkan obsesi sebagai seorang sudra yang ingin menjadi seorang brahmana. Mungkin ini karma tapi Telaga tidak peduli, tidak pula memikirkan itu, baginya Luh Sari bisa menjadi apa saja yang ia mau.    

Kajian Pendekatan Sosiologi Sastra Sosiologi Pengarang (Oka Rusmini)

Sebuah Tinjauan Sosiologis-Ekspresif

Oka Rusmini lahir di Jakarta 11 Juli 1967, Ibunya seorang Jawa sedangkan Ayahnya keturunan bangsawan kasta brahmana Bali. Oleh sebab itu sebenarnya ia menyandang nama Ida Ayu Oka Rusmini. Sampai SD ia masih tinggal di Jakarta, SMP ia melanjutkannya di Bali karena Ayahnya menikah lagi dengan perempuan Bali, hingga sekarang ia menetap di Bali.

Lingkungan tempat tinggalnya mengajarkan padanya tentang budaya Bali yang menurutnya tidak hanya cantik, tetapi juga memiliki sisi gelap. Oleh sebab itu, tidak hanya novel Tarian Bumi ini saja, ia mengambil warna lokal Bali. Kumpulan cerpennya Monolog Pohon dan Sagra serta dua novelnya yang lain Kenanga dan Patiwangi selalu membicarakan dan menyingkap Bali bukan dari wajah cantiknya, tapi dari sisi gelap kultur dan manusia-manusianya.

Mungkin terselip jiwanya dalam tiap cerita yang ditulis. Oka adalah anak keras kepala yang sedikitnya memiliki trauma terhadap orang tuanya. Ia termasuk anak perempuan satu-satunya yang memberontak. 

Dimulai dari pembangkangannya terhadap Ayahnya yang menghendakinya menjadi seorang dokter dan tidak menyetujuinya untuk kuliah di jurusan sastra. Ia minggat dan memilih kuliah di jurusan sastra. Ia membiayai kuliahnnya sendiri dengan tulisan-tulisannya hingga kini ia mampu menghasilkan banyak kumpulan serta antologi puisi dan cerpen, beberapa novel, serta menulis naskah drama dan cerita anak. 

Karyanya pun telah diterjemahkan di Australia dan Swedia juga beberapa Negara lain. Ini membuktikan kemampuannya dalam sastra dan mengangkat namanya di dunia sastra Indonesia. Berdasarkan inilah ia merasa pikiran orang tuanya (Ayahnya) perlu diubah bahwa tak selamanya anak harus terus mengikuti keinginannya. Anak juga punya hak untuk memilih. 

 Hal kedua yang terlihat dalam pemberontakannya adalah ketika ia memilih menikah dengan seorang Jawa dan menjadi muslim. Ini tentunya sangat ditentang oleh keluarganya sebab untuk meneruskan kasta brahmana yang disandangnya, paling tidak ia harus menikah dengan orang Bali. Pemberontakan ini sangat tercermin dalam novel Tarian Bumi. Secara tidak langsung ia mengkritik beberapa budaya yang sudah tidak mapan dipakai dalam tatanan Bali. Terutama yang paling menonjol adalah yang terlalu mendesreditkan  perempuan-perempuan Bali tentang dengan siapa mereka harus menikah dan bagaimana masyarakat menilai pilihan perempuan. 

 Novel merupakan pilihan Oka dalam menyampaikan kritik-kritik budaya dan ideologi pemikirannya tentang perempuan khususnya. Sebab dalam budaya Bali ia menilai perempuan lebih banyak dijadikan objek dan mendapat persepsi yang tidak terlalu baik di masyarakat bila melakukan atau mendapatkan keinginannya.

 Sejak muda, Telaga sebenarnya benci terlahir sebagai seorang putri bangsawan. Terlalu banyak aturan adat yang harus dijalaninya. Lebih-lebih karena ibunya sendiri seorang sudra, yang disunting oleh lelaki brahmana. Dengan cara penceritaan kilas balik, Oka Rusmini mengungkapkan pergolakan batin Telaga yang kecewa dengan orang-orang yang "menjadi peta dalam proses kelengkapan pembentukan Telaga sebagai perempuan".

 "Aku tidak pernah meminta peran sebagai Ida Ayu Telaga Pidada. Kalaupun hidup terus memaksaku memainkan peran itu, aku harus menjadi aktor yang baik. Dan hidup terus bertanggung jawab atas permainan gemilangku sebagai Telaga."

Telaga bergumam, membiarkan perempuan tua itu mencuci kaki di ubun-ubunnya untuk menjelmakan dirinya menjadi perempuan baru. Perempuan sudra! (Tariam Bumi: 222).

 Memasuki tubuh Oka dalam tubuh Telaga dalam novel ini, jelas kita dapat melihat pemberontakan batinnya. Apalagi ketika kita tahu latar belakang kehidupan Oka yang ternyata memeram sesuatu dari masa lalunya dengan keluarga. Bukankah ia melepas sandang bangsawan dari kasta tertinggi karena ia menikah dengan seorang Jawa? Dalam wawancara pribadinya pun ia menyebutkan ketidaksukaannya terhadap beberapa budaya Bali yang dinilai tidak lagi relevan untuk masyarakat masa kini[3]. Beberapa kesamaan tersebut bila dirumuskan sebagai berikut:

 

No.

Oka Rusmini

Telaga

1.

Memiliki sifat keras kepala dan  tidak mematuhi serta memenuhi keinginan sang Ayah (orang tua).

Memiliki sifat keras kepala dan tidak mematuhi nasihat Ibu (Luh Sekar/Jero Kenanga).

2.

Memilih melepas gelar bangsawan bramananya dan menikah dengan lelaki Jawa.

Memilih menjadi sudra dan menikah dengan Wayan Sasmitha yang berkasta sudra.

3.

Tidak menyukai dan mengkritik beberapa kultur Bali yang dinilai sudah tidak sesuai dengan masyarakat dan dinilai terlalu banyak aturan.

Sejak kecil menunjukan rasa tidak sukanya terhadap lingkungan (adanya diskriminasi kasta) dan pergunjingan masyarakat terhadap urusan rumah tangga orang lain.

4.

Memliki kesenjangan hubungan yang tidak harmonis dengan keluarga karena keputusan-keputusan yang diambilnya.

Telaga tidak direstui oleh Ibunya (Jero Kenanga merasa sangat kecewa, sedih, dan marah) karena keputusan yang diambilnya.

5.

Termasuk pengarang perempuan yang membicarakan tentang ketertindasan atau objektisasi perempuan oleh laki-laki (feminis).

Sama seperti Luh Sekar pada awalnya, Telaga juga memilih laki-laki yang bisa menghargainya dan tidak memperalatnya. Dialog-dialog Luh Sekar kepada Telaga juga sebaliknya adalah dialog-dialog feminis yang membicarakan ketertindasan mereka dalam hidup mereka.

 

Tak dapat disangkal, Tarian Bumi hadir dalam bentuk novel sebagai resepsi pula bagi penulisnya secara tidak langsung, di alam bawah sadarnya. Secara keseluruhan merupakan perpaduan antara tekanan atau pengalaman hidup pengarangnya secara psikologis maupun secara sosial. Beberapa persamaan psikologis pengarang di atas melatari tokoh-tokoh perempuan dalam Tarian Bumi. Pemberontakan terhadap adat, pembangkangan terhadap kultur, dan kekeraskepalaan tokoh-tokoh perempuannya terhadap cinta, pemikiran, dan kehidupan yang kian lama kian modern.

 

Daftar Pustaka

 

Dhana, I Nyoman. 1994. Pembinaan Budaya dalam Keluarga Daerah Bali. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. FBS Universitas Negeri Yogyakarta.

Rusmini, Oka. 2004. Tarian Bumi. Magelang: Indonesiatera.

Setia, Putu. 1987. Menggungat Bali. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Suasthawa Dharmayudha, I Made, I Wayan Koti Santika. 1991. Filsafat Adat Bali. Denpasar: Upada Sastra.

Untjen Djusen, Rambrata. 2000. Sastra dan Tanggung Jawabnya. Jakarta: Bukit Timbel.

Van Luxemburg, Jan, dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.

Wiana, Ketut dan Raka Santeri. 1993. Kasta dalam Hindu. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun