Ceritera-ceritera wayang kebanyakan berasal dari epos Ramayana dan Mahabrata, tetapi sekarang sudah banyak sekali variasi karangan dari dalang sendiri.Â
Wayang di Sunda lebih merupakan hiburan, dan orang yang menyaksikannya biasanya tidak terlalu tertarik oleh lakonnya, melainkan oleh keterampilan sang dalang untuk memainkan wayangnya, atau lebih tertarik oleh nyanyian-nyanyian sindennya.Â
Walupun kebanyakan orang Sunda beragama Islam, mereka memberikan kepada pertunjukkan wayang itu suatu tempat tertentu dalam kebudayaan, karena di dalamnya terdapat berbagai unsure kesenian ialah seni sastra, seni tembang, dan gamelan.
Wawacan
 Ceritera wawacan dalam bahasa Sunda banyak diambil dari ceritera-ceritera Islam. Dahulu wawacan itu sering dinyanyikan, dan ini disebut beluk.Â
Biasanya orang membacakan satu kalimat dari wawacan itu yang berbentuk puisi tembang dari Jawa, dan seorang yang lain menyanyikannya.Â
Orang yang membaca dan menyanyi duduk di tikar di bawah atau tidur-tiduran, demikian pula yang mendengarkannya.Â
Beluk itu biasanya diperdengarkan sambil menunggui orang yang melahirkan. Lamanya hamper semalam suntuk. Sekarang sudah jarang orang mendengarkan beluk.
Wawacan yaitu sosok ceritera yang tertuang dalam bait-bait, dengan segala ikatan dan aturannya, yang disebut "dang ding" yang dapat dialunkan dalam lagu.Â
Banyak wawacan yang tertulis dalam huruf Arab, banyak pula yang tertulis dalm huruf latin. Kesempatan mempergelarkannya biasanya dalam acara-acara tertentu, seperti selamatan/kenduri, selamatan kelahirana anak, dan lain-lain.Â
Dari seluruh khasanah wawacan Sunda, kita kenal antara lain; Wawacan Ranggawulung, Wawacan Suriakanta, Wawacan Amir Hamzah, Wawacan Danumaya, dan lain-lain.