Mohon tunggu...
Deni Saputra
Deni Saputra Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru dan Penggiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar menulis untuk memahami kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sastra Lisan Sunda: Antara Ada dan Tiada

1 Oktober 2021   09:42 Diperbarui: 1 Oktober 2021   09:56 1077
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

SASTRA LISAN SUNDA: ANTARA ADA DAN TIADA

Pendahuluan

Sastra merupakan perwujudan pikiran dalam bentuk tulisan. Sastra menjadi bagian dari budaya masyarakat. Sastra memuat materi yang tinggi dipelihara secara turun temurun oleh para pujangga, banyak yang secara lisan karena media tulisan sangat terbatas. Secara garis besar sastra lisan sudah jarang ditemukan dalam kehidupan masyarakat. 

Seharusnya setiap daerah memiliki sastra lisan atau tradisi lisan yang perlu dipelihara keeksistensiannya, seperti halnya sastra lisan Sunda. Masyarakat Sunda bias dikatakan memiliki kekayaan sastra lisan dari leluhurnya, tetapi saat ini sudah mulai pudar keberadaannya.

Tradisi lisan dalam format konvensional barangkali memang telah pudar dalam kehidupan sastra kita. Sastra lisan sebagai penopang tradisi kelisanan sendiri memiliki beberapa stereotip dan karakteristik tersendiri, yaitu:

  1. Biasanya melakukan transedensi dan perumitan atas realitas
  2. Berupa eksploitasi mimpi
  3. Menghadirkan pembangkitan emosi
  4. Memiliki tendensi tersampaikannya ajaran atau pesan yang disampaikannya

Sepertinya dari karakteristik di atas, sastra lisan yang dimiliki masyarakat Sunda merupakan ajaran yang disampaikan secara turun temurun. Dengan demikian tak jarang sastra lisan Sunda atau daerah lainnya memiliki pesan yang sangat erat dengan kehidupan manusia sehari-hari.

Sastra lisan sebagai warisan budaya nusantara makin kurang mendapat perhatian lantaran kurangnya penggalakan kepada generasi penerus. 

Akibatnya, generasi penerus lebih mengenal budaya pop ketimbang budaya tradisional, padahal sastra lisan banyak mengandung kearifan lokal. 

Dilihat dari medium ekspresinya, lisan, merupakan ciri umum sastra tradisional. Aspek lisan itu memberi isyarat bahwa sastra lisan dalam aktualisasi komunikasinya selalu menghendaki kehadiran pendengar. 

Tidak dapat dipungkiri bahwa sastra lisan merupakan awal mula keeksistensian kesusastraan Indonesia dan menjadikannya suatu kekayaan yang tidak akan pernah hilang dan tetap diakui oleh masyarakat Indonesia.

Eksistensi Sastra Lisan Sunda

Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan suku bangsa di Indonesia yang berusia tua. Sastra lisan Sunda merupakan kebudayaan tradisisonal yang memiliki warna lokal daerah Sunda. Artinya nilai-nilai tradisisonal yang paling menonjol pada karya sastra berwarna lokal. 

Warna lokal Sunda yang secara kuantitatif hadira agak banyak pada adan setelah tahun lima puluhan, yang sebelumnya telah dirintis pada masa sebelum perang menunjuk pada kenyataan-kenyataan social budaya Sunda dengan segala aspeknya.

Warna lokal Sunda di tengah karya sastra modern mengandung nilai komunikatif bagi saling pengertian antardaerah dalam kerangka Indonesia. 

Nilai tersebut berusaha menggali dan mengkaji setiap aspek kebudayaan Sunda demi sumbangan kepada kepentingan kebudayaan nasional. 

Dengan demikian sastra lisan daerah Sunda sudah menjadi bagian yang menumbangkan kebudayaan dengan warna local Sundanya. Karena pada dasarnya setiap sastra lisan atau sastra-satra lainnya yang berasal dari daerah memiliki atau membawa identitas daerahnya tersebut.

Macam-macam Sastra Lisan Sunda

Pantun

Di dalam bahasa Sunda terdapat kesusastraan yang kaya. Bentuk sastra Sunda yang tertua adalah ceritera-ceritera pantun, yaitu ceritera pahlawan-pahlawan nenek moyang Sunda dalam bentuk puisi diselang-seling oleh prosa berirama seperti bentuk panglipur lara. 

Tukang-tukang pantun mendongengkan ceritera pantunnya dengan iringan bunyi kecapi. Ceitera itu mengetengahkan pahlawan-pahlawan dan raja-raja pada zaman Sunda purba, zaman Galuh dan Pajajaran, dan selalu menyebut nama raja Sunda yang terkenal ialah Siliwangi. 

Bagi orang Sunda ceritera pantun itu menduduki tempat yang khas dalam hatinya yang menggugah perasaan kebesaran orang Sunda.

Wayang

Ceritera-ceritera wayang kebanyakan berasal dari epos Ramayana dan Mahabrata, tetapi sekarang sudah banyak sekali variasi karangan dari dalang sendiri. 

Wayang di Sunda lebih merupakan hiburan, dan orang yang menyaksikannya biasanya tidak terlalu tertarik oleh lakonnya, melainkan oleh keterampilan sang dalang untuk memainkan wayangnya, atau lebih tertarik oleh nyanyian-nyanyian sindennya. 

Walupun kebanyakan orang Sunda beragama Islam, mereka memberikan kepada pertunjukkan wayang itu suatu tempat tertentu dalam kebudayaan, karena di dalamnya terdapat berbagai unsure kesenian ialah seni sastra, seni tembang, dan gamelan.

Wawacan

 Ceritera wawacan dalam bahasa Sunda banyak diambil dari ceritera-ceritera Islam. Dahulu wawacan itu sering dinyanyikan, dan ini disebut beluk. 

Biasanya orang membacakan satu kalimat dari wawacan itu yang berbentuk puisi tembang dari Jawa, dan seorang yang lain menyanyikannya. 

Orang yang membaca dan menyanyi duduk di tikar di bawah atau tidur-tiduran, demikian pula yang mendengarkannya. 

Beluk itu biasanya diperdengarkan sambil menunggui orang yang melahirkan. Lamanya hamper semalam suntuk. Sekarang sudah jarang orang mendengarkan beluk.

Wawacan yaitu sosok ceritera yang tertuang dalam bait-bait, dengan segala ikatan dan aturannya, yang disebut "dang ding" yang dapat dialunkan dalam lagu. 

Banyak wawacan yang tertulis dalam huruf Arab, banyak pula yang tertulis dalm huruf latin. Kesempatan mempergelarkannya biasanya dalam acara-acara tertentu, seperti selamatan/kenduri, selamatan kelahirana anak, dan lain-lain. 

Dari seluruh khasanah wawacan Sunda, kita kenal antara lain; Wawacan Ranggawulung, Wawacan Suriakanta, Wawacan Amir Hamzah, Wawacan Danumaya, dan lain-lain.

Cerita Rakyat

Dalam kesusastraan Sunda terdapat bermacam-macam ceritera rakyat seperti: Sangkuriang yaitu ceritera tentang terjadinya gunung Tangkubanprahu dan danau purba di dataran tinggi Bandung, serta varian-variannya mengenai terjadinya beberapa gunung dan danau di Jawa Barat. 

Satu macam ceritera rakyat di Sunda adalah ceritera si Kabayan satu contoh sastra yang dilukiskan sebagai seorang yang malas dan bodoh, tetapi sering-sering tampak pula kecerdikannya. Yang menarik dari cerita rakyat ialah bahwa hampir dari semua daerah memiliki cerita berbentuk legenda, mite, dan cerita berunsur histories, serta fable. Hal demikian sudah pasti memberi kekayaan informasi bagi setiap pembacanya.

Ceritera Leluhur Orang Sunda

Anggapan bahwa di Tatar Sunda tidak banyak tinggalan budaya berupa candi atau bangunan suci lain dari masa sebelum Islam, mulai terbantah melalui temuan-temuan yang bemunculan dalam 20 tahun terakhir ini.

Candi yang paling awal ditemukan adalah Candi Lanang dan Candi Wadon di Cibuaya Kabupaten Karawang, sekira 50 tahun yang lalu. Temuan itu disusul dengan temuan Candi Cangkuang Kabupaten Garut, sekira tahun 1967 atau 1968 dan yang "dipaksakan" agar dapat dibina ulang sebagaimana adanya sekarang ini. Setelah itu muncul candi-candi di Batujaya Kabupaten Karawang, yang tersembunyi di balik hunyur 'busut', jumlahnya tidak akan kurang dari 25 buah walaupun yang sudah digali atau dikupas baru sekira 10, dan mulai digarap tahun 1985. 

Dalam waktu yang hampir bersamaan, ditemukan juga candi di daerah Pamarican Kabupaten Ciamis. Akhirnya, seolah-olah "pelipur lara" atas talajak Prof. Said Agil Munawar (entah sebagai pribadi entah sebagai Menteri Agama) yang mencari harta karun di situs Batutulis Kotamadya Bogor, tahun 2002 muncul candi Bojongmenje Kabupaten Bandung. 

Sangat dapat diharapkan dalam waktu dekat akan bermunculan candi, stupa atau tinggalan budaya dari masa pra-Islam lainnya, entah kapan dan di mana.

Kendan: situs sejak masa nirleka

Menurut para widyapurbawan, daerah Ujungberung, Cicalengka, dan Nagreg adalah daerah pinggilan sebelah timur "Danau Bandung" yang sangat berperan pada masa nirleka. Di daerah itu ditemukan batu yang memberikan petunjuk bahwa batu itu merupakan alat perlengkapan hidup manusia pada saat tersebut. Di samping itu, juga ditemukan batu yang nampaknya belum dimanfaatkan namun diduga justru merupakan bahan baku pembuatan alat-alat itu.

Salah satu tempat yang meninggalkan banyak sekali batu jenis obsidian adalah Kendan, terletak di daerah Cicalengka. Karena banyaknya obsidian di situ, menurut penduduk setempat batu itu dinamakan batu kendan.

Selain obsidian, di daerah Cicalengka juga pernah ditemukan benda tinggalan budaya yang lain, antara lain berupa arca Durga dan bongkah-bongkah batu yang nampaknya sengaja dibuat. Bahkan, di daerah itu juga ada sebuah bukit yang dinamakan Pasir Candi; nama itu tentu saja seharusnya dikaitkan dengan adanya kemungkinan bangnan berupa candi di situ.

Dalam hal itu, sehubungan dengan ditemukannya batu candi dan arca, seorang Belanda ahli kebudayaan Sunda bernama J. Noorduyn sampai berpendapat bahwa nama kendan itu sebenarnya merupakan "perusakan" dari kaindraan menjadi kendraan akhirnya menjadi kendan. Itu berarti, menurut Noorduyn, daerah itu merupakan salah satu "pusat kebudayaan" yang bersifat Hindu, mengingat Indra adalah nama salah satu dewa penting dalam panteon Hindu.

Apakah betul ada hubungan antara Kendan dan pusat kehidupan, tentu masih perlu kajian lebih mendalam. Namun, yang pasti, nama kendan juga ditemukan dalam naskah Carita Parahyangan (CP) ketika memberitakan kehadiran Wretikandayun. Hingga saat ini CP sebagai salah satu sumber sejarah Tatar Sunda diakui keabsahannya. Itu berarti bahwa embaran yang terkandung dalam naskah itu, walaupun tidak semuanya, banyak yang dianggap sahih.

Dalam kaitannya dengan Kendan dan Wretikandayun, kesahihannya diawali dengan kehadiran tokoh Rahyang Sanjaya yang dianggap sebagai cikal bakal para raja di Tatar Sunda. Para widyakalawan dan widyapurbawan sudah sepakat mengakui bahwa Rahyang Sanjaya pada CP itu adalah Sanjaya pada Sthirangga yang ditemukan di Gunung Wukir, Jawa Tengah. Berarti, Sanjaya CP adalah tokoh yang benar-benar pernah hidup dan berperan dalam "panggung sejarah" Nusantara umumnya dan sejarah Tatar Sunda khususnya.

Jika ketokohan Sanjaya sudah absah, selanjutnya adalah pengakuan atas kehadiran tokoh lain yang erat kaitannya dengan Sanjaya. Tokoh-tokoh itu antara lain adalah Wretikandayun dari Kendan dan Maharaja Tarusbawa dari Sunda. Kesejarahan Wretikandayun didasarkan kepada embaran CP yang mengatakan bahwa Wretikandayun adalah ayah Rahyang Mandiminyak, sementara Mandiminyak adaah ayah Sena atau kakek Sanjaya. Kehadiran Sena diabadikan juga dalam prasasti Sthirangga dengan nama Sanna sebagai raja yang saudara Sannaha.

Mengenai Maharaja Tarusbawa, kehadirannya didasarkan kepada embaran CP bahwa Sanjaya setelah dewasa pergi ke arah barat, menemui tohaan di sunda 'yang dipertuah di Sunda' dan bahkan kemudian menjadi menantu raja Sunda itu. Artinya, pada waktu itu juga terdapat sebuah negara bernama Sunda di sebelah barat, sedangkan negara asal Sanjaya bernama Galuh. Kendan kemudian menjadi salah satu negara bawahan Galuh.

Galuh yang terbelah Citanduy

Setelah pengiriman utusan tahun 666 dan 669 dari To-lo-mo ke Cina, tidak ada lagi berita Cina yang menyebut-nyebut To-lo-mo. Sebalinya, CP juga tidak pernah menyebut Tarumanagara. Hal itu memunculkan dugaan bahwa sejak tahun 669 itu Taruma runtuh dan digantikan oleh negara lain. CP yang merupakan karya historiografi Parahyangan, memang mengawali kisahanya menjelang atau setelah keruntuhan Taruna. Artinya, daerah atau negara yang disebut-sebut dalam CP haruslah baru muncul dan berperan sekitar Tarumanagara runtuh, yaitu Kendan, Sunda, dan Galuh.

Hal itu tidak bertentangan dengan embaran prasasti Canggal atau Sthirangga yang menyebutkan tahun 732. Selama ini tahun itu dianggap sebagai tahun awal kekuasaan Sanjaya sebagai raja Galuh. Namun, sumber naskah yang hingga sekarang masih diragukan keabsahannya justru menyebutkan bahwa tahun itu adalah akhir kekuasaan Sanjaya di Galuh, dan tahun awal kekuasaannya di Mataram. Karena CP menyebutkan Sanjaya berkuasa selama sembilan tahun, berarti bahwa ia memerintah sejak tahun 723, setelah berhasil merebut lagi tahta dari iparnya, Rahyang Purbasora. Selanjutnya CP mengembarkan masa kekuasaan Purbasora selama tujuh tahun (716-23) setelah ia merebut kekuasaan dari raja Sena yang berkuasa sebelumnya selama tujuh tahun (709-16) seperti juga halnya dengan masa pemerintaha Mandiminyak (702-9).

Berkat perkawinannya dengan cucu raja Sunda, Sanjaya juga mewarisi tahta Sunda bersama dengan istrinya. Dengan demikian, ia menjadi raja baik di Galuh maupun di Sunda selama tujuh tahun (723-32). Setelah itu ia melepaskan haknya, baik atas tahta Galuh maupun tahta Sunda, karena tahun 732 itu ia menjadi raja Mataram, menggantikan kedudukan ayahnya (atau lebih benar ibunya sebagai ahli waris) untuk waktu yang cukup lama.

Karena CP tidak pernah menyebut nama raja Sunda sebelum Tarusbawa, dapat diartikan bahwa ia berkuasa sejak tahun keruntuhan Tarumanagara sampai meninggal dan digantikan oleh Sanjaya (669-723). Setelah Sanjaya (723-32), yang menjadi raja berikutnya menurut CP adalah Rahiyang Panaraban yang oleh Purbacaraka dianggap sama dengan Rakai Panangkaran pada prasasti Mantyasih (907). Dugaan Purbacaraka itu dengan sendirinya mengajak kita untuk menganggap bahwa sesudah Sanjaya, hanya ada satu negara, Mataram (saja) atau Sunda (saja).

Namun kisah prasasti Mantyasih sama sekali berlainan dengan kisah CP. Prasasti Mantyasih menyebutkan para raja yang berkuasa sejak Sanjaya hingga Rakai Balitung (732-910; prasasti dibuat pada masa pemerintahan Balitung dalam tahun 907), sedangkan CP mengisahkan para raja Sunda atau Parahiyangan, baik yang berkuasa di Galuh maupn di Sunda hingga keruntuhan kerajaan Sunda atau Pajajaran sejak Panaraban (732-1579).

Dengan demikian, embaran naskah Wangsakerta yang menyebutkan bahwa Sanjaya dari istrinya yang berasal dari Sunda menurunkan raja-raja Sunda, sedangkan dari istrinya dari Kalingga menurunkan raja-raja Mataram, patut diperhatikan. 

Dalam kaitannya dengan negara Galuh, terbuka kemungkinan untuk menafsirkan bahwa pada masa awal kehadirannya (sejak Mandiminyak hingga Sanjaya), negara itu menguasai daerah bagian timur Tatar Sunda hingga bagian barat daerah Jawa Tengah sekarang. Menurut van der Meuler, ditemukannya banyak nama tempat berunsur galuh di daerah bagian barat Jawa Tengah itu, seperti Galuh Timur (Bumiayu), Galuh (Purbalingga), Sirah Galuh (Cilacap), Segaluh dan sungai Begaluh (Leksono), bahkan Samigaluh (Purworejo) dan Segaluh (Purwodadi), juga merupakan sesuatu yang patut diperhitungkan. Bahkan, lebih lanjut van der Meulen mengatakan terdapat tiga kerajaan Galuh, yaitu Galuh Purba yang berpusat di daerah Ciamis, Galuh Utara (Galuh Lor, Galuh Luar) yang berpusat di daerah Dieng, dan Galuh (saja) yang berpusat di Denuh (Tasikmalaya sekarang).

Dugaan van der Meulen itu memberikan petunjuk bahwa pada masa jayanya, kerajaan Galuh menguasai wilayah yang "terbelah" oleh sungai besar di daerah itu, Citanduy. Lebih jauh dapat juga dikemukakan kemungkinan bahwa "pembagian kekuasaan" melalui perang tanding antara Ciung Wanara dan Hariang Banga pun, sebenarnya terjadi di tepi sungai itu, bukan di Cipamili sebagaimana dikisahkan melalui tradisi lisan carita pantun Ciung Wanara.

Menurut tradisi lisan Jawa, pendiri kerajaan Majapahit (atau Jawa) adalah Ciung Wanara atau Jaka Susuruh. Hal itu ditunjang oleh tradisi lisan lainnya yang menyebutkan bahwa di daerah Banyumas terdapat tempat keramat yang diakui sebagai kuburan Ciung Wanara. Bahkan, tidak pula mustahil orang Bali juga mengakui tokoh itu sebagai orang yang berjasa di Bali. Bukankah pasukan yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai pada masa perang kemerdekaan, bernama Batalyon Ciung Wanara?

Dalam hal ini yang menarik justru tradisi lisan Sunda. Melalui tradisi itu orang Sunda pada umumnya yakin bahwa leluhurnya adalah Ciung Wanara yang berhasil mengalahkan saudara tirinya. Hariang Banga dalam perang tanding di tepi Cipamali, di daerah Comal Pemalang, sekarang. Artinya, baik orang Sunda, Jawa, maupun Bali, semuanya mengakui bahwa leluhurnya sama, yaitu Ciung Wanara.

Padahal, CP menyebutkan bahwa leluhur orang Sunda adalah Rahyang Tamperan atau Rahyang Panaraban, sedangkan yang menurunkan raja-raja Jawa (melalui Kalinggai Bhumi Mataram) adalah Rakai Panangkaran. Mungkinkah pilihan itu disebabkan oleh tradisi lisan itu, yang menyebutkan bahwa Ciung Wanara adalah anak permaisuri, sedangkan Hariang Banga anak selir? Jika harus memilih, tentunya memang lebih nyaman menjadi turunan permaisuri daripada turunan selir, bukan?

Padahal juga, terbuka kemungkinan untuk menganggap keduanya sebagai anak permaisuri dan karenanya juga sama-sama berhak atas tahta. Ciung Wanara adalah anak raja Galuh (katakanlah Sanjaya) dari putri Kalingga sehingga mempunyai hak atas tahta Mataram, sedangkan Hariang Banga adalah raja Galuh dari putri Sunda sehingga mempunyai hak atas tahta Sunda (dan Galuh). Dalam naskah Wangsakerta dengan tegas disebutkan bahwa Hariang Banga adalah Rahiang Tamperan.

Dengan demikian, agak jelas kiranya bahwa "panggung sejarah" Tatar Sunda selama dua abad (VII-VII) tergelar di bagian tenggara, meliputi daerah yang sekarang termasuk Priangan Timur dan Banyumas. Nama tempat yang masih bersemangat Sunda, seperti Cimanggu, Bantarkawung, Dayeuhluhur, dan Tungganggunung, serta masih digunakannya bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari penduduk asli di umumnya daerah-daerah itu, memberikan petunjuk akan kewibawaan dan kekuasaan Galuh di masa silam.

Penutup

Adalah satu kenyataan bahwa sastra lisan yang telah diteliti sejak sebelum perang hingga kini, secara kuantitatif jumlahnya kecil sekali. Ia seolah tidak sebanding dengan seluruh kekayaan yang melimpah ruah itu dalam kesusastraan Indonesia. Sastra lisan sebenarnya bagian dari tradisi lisan sehingga jika kita menilik tradisi lisan itu sudah hilang maka sastra lisan masih bisa dipelihara keberadaannya. Karena yang punah itu hanya pertunjukan atau pergelarannya saja, kemungkinan sastra lisan dapat dipindahkan dalam sebuah tulisan yang bisa disimpan untuk diberikan pada masyarakat secara turun temurun.

Sastra lisan Sunda dapat dikatakan memiliki kekayaan yang luas dan berkedudukan penting dalam kesustraan tradisional Indonesia. Dengan jenisa sastra lisan seperti; pantun, wayang, wawacan, dan cerita rakyat, merupakan bagian kecil dari kesustraan tradisional yang dimiliki masyarakat Sunda. Hilangnya atau merananya sastra lisan Sunda justru terletak pada aspek pergelarannya karena sastranya masih dapat diselamatkan, antara lain dengan tulisan.

Salah satu hal yang menyebabkan luruh atau merananya seni tradisional ialah hilang atau semakin menipisnya jumlah penyampai atau pelisannya, karena salah satu kekuatan sastra tradisional terdapat pada aspek lisannya. Adapun aspek lisan itu hanya bisa muncul manakala ada si pelisan baik itu juru pantun Sunda, dalang, juru kisah, juru cerita, tukang kaba, atau tukang kentrung.

Daftar Pustaka

Kartini, dkk. 1979. Yuhana Sastrawan Sunda. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Koentjaraningrat. 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Mahmud, Kusman K. 1991. Sastra Indonesia dan Daerah: Sejumlah Masalah. Bandung: Angkasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun