Namun kisah prasasti Mantyasih sama sekali berlainan dengan kisah CP. Prasasti Mantyasih menyebutkan para raja yang berkuasa sejak Sanjaya hingga Rakai Balitung (732-910; prasasti dibuat pada masa pemerintahan Balitung dalam tahun 907), sedangkan CP mengisahkan para raja Sunda atau Parahiyangan, baik yang berkuasa di Galuh maupn di Sunda hingga keruntuhan kerajaan Sunda atau Pajajaran sejak Panaraban (732-1579).
Dengan demikian, embaran naskah Wangsakerta yang menyebutkan bahwa Sanjaya dari istrinya yang berasal dari Sunda menurunkan raja-raja Sunda, sedangkan dari istrinya dari Kalingga menurunkan raja-raja Mataram, patut diperhatikan.Â
Dalam kaitannya dengan negara Galuh, terbuka kemungkinan untuk menafsirkan bahwa pada masa awal kehadirannya (sejak Mandiminyak hingga Sanjaya), negara itu menguasai daerah bagian timur Tatar Sunda hingga bagian barat daerah Jawa Tengah sekarang. Menurut van der Meuler, ditemukannya banyak nama tempat berunsur galuh di daerah bagian barat Jawa Tengah itu, seperti Galuh Timur (Bumiayu), Galuh (Purbalingga), Sirah Galuh (Cilacap), Segaluh dan sungai Begaluh (Leksono), bahkan Samigaluh (Purworejo) dan Segaluh (Purwodadi), juga merupakan sesuatu yang patut diperhitungkan. Bahkan, lebih lanjut van der Meulen mengatakan terdapat tiga kerajaan Galuh, yaitu Galuh Purba yang berpusat di daerah Ciamis, Galuh Utara (Galuh Lor, Galuh Luar) yang berpusat di daerah Dieng, dan Galuh (saja) yang berpusat di Denuh (Tasikmalaya sekarang).
Dugaan van der Meulen itu memberikan petunjuk bahwa pada masa jayanya, kerajaan Galuh menguasai wilayah yang "terbelah" oleh sungai besar di daerah itu, Citanduy. Lebih jauh dapat juga dikemukakan kemungkinan bahwa "pembagian kekuasaan" melalui perang tanding antara Ciung Wanara dan Hariang Banga pun, sebenarnya terjadi di tepi sungai itu, bukan di Cipamili sebagaimana dikisahkan melalui tradisi lisan carita pantun Ciung Wanara.
Menurut tradisi lisan Jawa, pendiri kerajaan Majapahit (atau Jawa) adalah Ciung Wanara atau Jaka Susuruh. Hal itu ditunjang oleh tradisi lisan lainnya yang menyebutkan bahwa di daerah Banyumas terdapat tempat keramat yang diakui sebagai kuburan Ciung Wanara. Bahkan, tidak pula mustahil orang Bali juga mengakui tokoh itu sebagai orang yang berjasa di Bali. Bukankah pasukan yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai pada masa perang kemerdekaan, bernama Batalyon Ciung Wanara?
Dalam hal ini yang menarik justru tradisi lisan Sunda. Melalui tradisi itu orang Sunda pada umumnya yakin bahwa leluhurnya adalah Ciung Wanara yang berhasil mengalahkan saudara tirinya. Hariang Banga dalam perang tanding di tepi Cipamali, di daerah Comal Pemalang, sekarang. Artinya, baik orang Sunda, Jawa, maupun Bali, semuanya mengakui bahwa leluhurnya sama, yaitu Ciung Wanara.
Padahal, CP menyebutkan bahwa leluhur orang Sunda adalah Rahyang Tamperan atau Rahyang Panaraban, sedangkan yang menurunkan raja-raja Jawa (melalui Kalinggai Bhumi Mataram) adalah Rakai Panangkaran. Mungkinkah pilihan itu disebabkan oleh tradisi lisan itu, yang menyebutkan bahwa Ciung Wanara adalah anak permaisuri, sedangkan Hariang Banga anak selir? Jika harus memilih, tentunya memang lebih nyaman menjadi turunan permaisuri daripada turunan selir, bukan?
Padahal juga, terbuka kemungkinan untuk menganggap keduanya sebagai anak permaisuri dan karenanya juga sama-sama berhak atas tahta. Ciung Wanara adalah anak raja Galuh (katakanlah Sanjaya) dari putri Kalingga sehingga mempunyai hak atas tahta Mataram, sedangkan Hariang Banga adalah raja Galuh dari putri Sunda sehingga mempunyai hak atas tahta Sunda (dan Galuh). Dalam naskah Wangsakerta dengan tegas disebutkan bahwa Hariang Banga adalah Rahiang Tamperan.
Dengan demikian, agak jelas kiranya bahwa "panggung sejarah" Tatar Sunda selama dua abad (VII-VII) tergelar di bagian tenggara, meliputi daerah yang sekarang termasuk Priangan Timur dan Banyumas. Nama tempat yang masih bersemangat Sunda, seperti Cimanggu, Bantarkawung, Dayeuhluhur, dan Tungganggunung, serta masih digunakannya bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari penduduk asli di umumnya daerah-daerah itu, memberikan petunjuk akan kewibawaan dan kekuasaan Galuh di masa silam.
Penutup
Adalah satu kenyataan bahwa sastra lisan yang telah diteliti sejak sebelum perang hingga kini, secara kuantitatif jumlahnya kecil sekali. Ia seolah tidak sebanding dengan seluruh kekayaan yang melimpah ruah itu dalam kesusastraan Indonesia. Sastra lisan sebenarnya bagian dari tradisi lisan sehingga jika kita menilik tradisi lisan itu sudah hilang maka sastra lisan masih bisa dipelihara keberadaannya. Karena yang punah itu hanya pertunjukan atau pergelarannya saja, kemungkinan sastra lisan dapat dipindahkan dalam sebuah tulisan yang bisa disimpan untuk diberikan pada masyarakat secara turun temurun.