Selain obsidian, di daerah Cicalengka juga pernah ditemukan benda tinggalan budaya yang lain, antara lain berupa arca Durga dan bongkah-bongkah batu yang nampaknya sengaja dibuat. Bahkan, di daerah itu juga ada sebuah bukit yang dinamakan Pasir Candi; nama itu tentu saja seharusnya dikaitkan dengan adanya kemungkinan bangnan berupa candi di situ.
Dalam hal itu, sehubungan dengan ditemukannya batu candi dan arca, seorang Belanda ahli kebudayaan Sunda bernama J. Noorduyn sampai berpendapat bahwa nama kendan itu sebenarnya merupakan "perusakan" dari kaindraan menjadi kendraan akhirnya menjadi kendan. Itu berarti, menurut Noorduyn, daerah itu merupakan salah satu "pusat kebudayaan" yang bersifat Hindu, mengingat Indra adalah nama salah satu dewa penting dalam panteon Hindu.
Apakah betul ada hubungan antara Kendan dan pusat kehidupan, tentu masih perlu kajian lebih mendalam. Namun, yang pasti, nama kendan juga ditemukan dalam naskah Carita Parahyangan (CP) ketika memberitakan kehadiran Wretikandayun. Hingga saat ini CP sebagai salah satu sumber sejarah Tatar Sunda diakui keabsahannya. Itu berarti bahwa embaran yang terkandung dalam naskah itu, walaupun tidak semuanya, banyak yang dianggap sahih.
Dalam kaitannya dengan Kendan dan Wretikandayun, kesahihannya diawali dengan kehadiran tokoh Rahyang Sanjaya yang dianggap sebagai cikal bakal para raja di Tatar Sunda. Para widyakalawan dan widyapurbawan sudah sepakat mengakui bahwa Rahyang Sanjaya pada CP itu adalah Sanjaya pada Sthirangga yang ditemukan di Gunung Wukir, Jawa Tengah. Berarti, Sanjaya CP adalah tokoh yang benar-benar pernah hidup dan berperan dalam "panggung sejarah" Nusantara umumnya dan sejarah Tatar Sunda khususnya.
Jika ketokohan Sanjaya sudah absah, selanjutnya adalah pengakuan atas kehadiran tokoh lain yang erat kaitannya dengan Sanjaya. Tokoh-tokoh itu antara lain adalah Wretikandayun dari Kendan dan Maharaja Tarusbawa dari Sunda. Kesejarahan Wretikandayun didasarkan kepada embaran CP yang mengatakan bahwa Wretikandayun adalah ayah Rahyang Mandiminyak, sementara Mandiminyak adaah ayah Sena atau kakek Sanjaya. Kehadiran Sena diabadikan juga dalam prasasti Sthirangga dengan nama Sanna sebagai raja yang saudara Sannaha.
Mengenai Maharaja Tarusbawa, kehadirannya didasarkan kepada embaran CP bahwa Sanjaya setelah dewasa pergi ke arah barat, menemui tohaan di sunda 'yang dipertuah di Sunda' dan bahkan kemudian menjadi menantu raja Sunda itu. Artinya, pada waktu itu juga terdapat sebuah negara bernama Sunda di sebelah barat, sedangkan negara asal Sanjaya bernama Galuh. Kendan kemudian menjadi salah satu negara bawahan Galuh.
Galuh yang terbelah Citanduy
Setelah pengiriman utusan tahun 666 dan 669 dari To-lo-mo ke Cina, tidak ada lagi berita Cina yang menyebut-nyebut To-lo-mo. Sebalinya, CP juga tidak pernah menyebut Tarumanagara. Hal itu memunculkan dugaan bahwa sejak tahun 669 itu Taruma runtuh dan digantikan oleh negara lain. CP yang merupakan karya historiografi Parahyangan, memang mengawali kisahanya menjelang atau setelah keruntuhan Taruna. Artinya, daerah atau negara yang disebut-sebut dalam CP haruslah baru muncul dan berperan sekitar Tarumanagara runtuh, yaitu Kendan, Sunda, dan Galuh.
Hal itu tidak bertentangan dengan embaran prasasti Canggal atau Sthirangga yang menyebutkan tahun 732. Selama ini tahun itu dianggap sebagai tahun awal kekuasaan Sanjaya sebagai raja Galuh. Namun, sumber naskah yang hingga sekarang masih diragukan keabsahannya justru menyebutkan bahwa tahun itu adalah akhir kekuasaan Sanjaya di Galuh, dan tahun awal kekuasaannya di Mataram. Karena CP menyebutkan Sanjaya berkuasa selama sembilan tahun, berarti bahwa ia memerintah sejak tahun 723, setelah berhasil merebut lagi tahta dari iparnya, Rahyang Purbasora. Selanjutnya CP mengembarkan masa kekuasaan Purbasora selama tujuh tahun (716-23) setelah ia merebut kekuasaan dari raja Sena yang berkuasa sebelumnya selama tujuh tahun (709-16) seperti juga halnya dengan masa pemerintaha Mandiminyak (702-9).
Berkat perkawinannya dengan cucu raja Sunda, Sanjaya juga mewarisi tahta Sunda bersama dengan istrinya. Dengan demikian, ia menjadi raja baik di Galuh maupun di Sunda selama tujuh tahun (723-32). Setelah itu ia melepaskan haknya, baik atas tahta Galuh maupun tahta Sunda, karena tahun 732 itu ia menjadi raja Mataram, menggantikan kedudukan ayahnya (atau lebih benar ibunya sebagai ahli waris) untuk waktu yang cukup lama.
Karena CP tidak pernah menyebut nama raja Sunda sebelum Tarusbawa, dapat diartikan bahwa ia berkuasa sejak tahun keruntuhan Tarumanagara sampai meninggal dan digantikan oleh Sanjaya (669-723). Setelah Sanjaya (723-32), yang menjadi raja berikutnya menurut CP adalah Rahiyang Panaraban yang oleh Purbacaraka dianggap sama dengan Rakai Panangkaran pada prasasti Mantyasih (907). Dugaan Purbacaraka itu dengan sendirinya mengajak kita untuk menganggap bahwa sesudah Sanjaya, hanya ada satu negara, Mataram (saja) atau Sunda (saja).