Muncul dari belakang penonton merupakan mekanisme untuk menjaga substansi Besut sebagai representasi rakyat kebanyakan yang berani melakukan tindakan-tindakan kultural-politis, sekecil apapun. Menjaga semangat kerakyatan agar tetap menyala adalah pilihan diskursif yang dilekatkan melalui tubuh Besut yang berjalan tegap dengan obor di tangan.
Ia ingin mengabarkan sesuatu kepada penonton, bahwa narasi rakyat biasa harus terus dinyalakan dalam ruang-ruang sosio-kultural yang diwarnai modernitas ataupun intelektualitas. Bahwa cahaya kerakyatan semestinya tetap menerangi batin dan pikiran manusia-manusia yang sudah menikmati budaya modern.
Motivasi itulah yang mendorong dibawanya tubuh arkaik Besut ke dalam ruang dan laku modern; tidak dalam bentuk rentah, tidak pula dalam tampilan ngesot. Besut adalah tubuh yang secara fisik berusaha memasuki arena kehidupan kontemporer dengan membawa pesan perjuangan rakyat kepada khalayak penonton.
Dengan penuh semangat, sembari menggelendeng Sumo Gambar menuju panggung, Besut berujar:
“Sumo Gambar, cukup ya olehmu dapuk, rikolo semono. Londo menang awakmu melok Londo. Jepang menang awakmu melok Jepang. Semono ugo saiki, dapukmu pancet, awakmu seneng melok panguasa gak ketang mbledat larat nguntal, ngemplang rakyat.”
Ucapan dalam bahasa Jawa dialek Arek tersebut menegaskan permintaan Besut kepada Sumo Gambar agar mengubah watak dan perilakunya yang selalu berpihak kepada penguasa, meskipun mereka menekan rakyat. Sifat oportunis Sumo Gambar ini memang tidak pantas dipelihara karena bisa menganggu solidaritas.
Tubuh Sumo Gambar yang ditarik oleh Besut pun dibawa dari masa lalu ke masa kini; melintasi dimensi waktu dan ruang, tanpa beban. Ada aroma ketidaksukaan yang membuncah karena watak dan perilaku oportunis Sumo Gambar yang selalu berpihak penguasa tanpa mempedulikan bagaimana karakternya.
Tragisnya, itu berlangsung dari masa kolonial hingga saat ini. Di era pascakolonial atau era demokrasi yang seharusnya memberikan keutamaan kepada warga negara atau rakyat, mentalitas komprador alias ngathok kepada para penguasa tanpa mau mempedulikan apa yang berlangsung di ranah publik, demi untuk membuat kenyang perutnya.
Maka, substansi pikiran masa lalu Besut dan Sumo Gambar pun mengalami perjalanan antarwaktu dan antarperistiwa; masa lalu dalam masa kini, tanpa beban, karena ada kepentingan politiko-kultural berupa wacana yang disampaikan kepada para penonton millineal.
Sesampai di tengah panggung, Besut pun menyiapkan cok bakal atau sesajen yang akan digunakan untuk ritual. Sumo Gambar berjalan mengelilinginya dengan pelan. Besut pun kembali berkata:
“Cukup yooo dapukmu, zaman iki, anak turunmu gak gelem "dondi, adigang adigung adiguno, sopo siro sopo ingsung, pek pinek barange liyan, anak putumu dino iki pingin orip sak iyek sak eko proyo, gotong royong nggayuh Gemah ripah loh jinawe, toto tetrem kerto raharjo. Cukup yo Sumo Gambar... Critakno anak putumu, lakumu sak lawasi jajah deso milangkori karo aku.”
Besut ingin memutus mata rantai oportunisme yang ada dalam pikiran dan batin Sumo Gambar karena generasi masa kini, sejatinya, sudah tidak mau dengan tindakan-tindakan jahat yang merugikan rakyat, bangsa, dan negara.
Tentu hal itu juga ditujukan kepada orang-orang di masa kini yang bertendensi sama. Ia memahami generasi masa kini adalah generasi yang mempunyai harapan, impian, dan orientasi baru yang berbeda dari apa-apa yang diyakini dan dilakoni Sumo.