Dalam konsep demikian apa yang dikatakan gender tidak lebih dari performativitas, sebagaimana orang berjalan, mengenakan pakaian, dan bertindak. Jadi, gender hanyalah pergelaran yang dibuat untuk memuaskan ekspetasi sosial, dan bisa jadi bukan ekspresi sebenarnya dari identitas gender seseorang.Â
Manusia hanya meniru secara berulang kali atas apa yang mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, mereka harus betindak sebagaimana perilaku gender tertentu sesuai dengan wacana dan pengetahuan yang mengkonstruksi mereka sebagai subjek. Konsep ini juga bisa mengganggu prinsip-prinsip gender dominan karena manusia bisa melakukan performativitas secara lentur, tidak harus mengikuti identitas gender mereka
Ada sokongan tradisi ludruk terhadap transformasi Besut-Rusmini yang dilakukan Meimura. Apa yang diutamakan adalah bagaimana transformasi lentur tanpa mengubah jenis kelamin itu mampu menyampaikan pesan kepada publik bahwa kekakuan dalam memahami binerisme kelamin dan gender akan membatasi sudut pandang dalam memahami persoalan kehidupan dan budaya, serta memunculkan penindasan dalam wacana dan praksis kepada para Liyan yang secara sosio-kultural berbeda.Â
Kekauan stigmatik, lebih jauh lagi, akan mengabaikan peran dan kontribusi strategis yang telah diberikan oleh para travesti dan subjek gender lain kepada masyarakat, budaya, dan bangsa ini. Sungguh ironis ketika mereka yang sudah memberikan tubuh, batin, pikiran, dan tindakan kreatifnya untuk budaya dan bangsa harus terus mendapatkan stigma. Â
Itulah mengapa, cok bakal atau sesajen sebagai sarana utama ritual dalam pertunjukan bisa dimaknai secara kontekstual dalam relasinya dengan bangunan budaya, bangsa, dan negara. Menjadi perempuan di atas panggung pertunjukan bukan sekedar pilihan untuk mendapatkan honor.Â
Lebih dari itu, pilihan itu menegaskan kompleksitas refleksi batin seorang lelaki ataupun seorang banci. Mereka harus mengatasi batasan dan stigma yang dilontarkan pihak-pihak tertentu atas pilihan kultural tersebut, meskipun itu akan berkontribusi kepada bangunan budaya dan bangsa.Â
Maka, tidak mengherankan kalau proses transformasi dari tubuh Besut ke tubuh Rusmini, selain menegaskan performativitas gender lentur dalam tubuh manusia, juga mengindikasikan pilihan sakral yang tidak mudah. Untuk itulah, cok bakal disiapkan sejak awal untuk mengawal jalannya transformasi tersebut. Sumo Gambar pun mengiringinya dengan tarian sebagai penanda dan restu kultural.Â
Kalau pada masa lampau ritual dalam Besutan bisa saja ditafsir sebagai bentuk kekangan kepada rakyat yang harus mengikuti banyak aturan. Kehadirannya dalam Ritus Travesti bisa ditafsir secara berbeda. Yang berlangsung bukan transformasi atau perubahan bentuk, alih-alih pergeseran atau perubahan makna.Â
Cok bakal adalah penopang utama ritual suci agar doa yang disampaikan bisa sampai ke Tuhan Sang Penentu. Selain itu, kehadiran pernik-pernik sesajen juga memiliki makna-makna kultural yang disesuaikan dengan alam pikir warga. Dalam bangunan kebudayaan dan kebangsaan, cok bakal dan ritus merupakan simbol keragaman etnis, budaya, agama/kepercayaan, dan kepentingan yang diwadahi dalam satu kuali, bernama Indonesia.Â