Lebih lanjut, Aschroft (2001b: 5-6) menjabarkan bahwa representasi menggambarikan bagaimana formasi identitas dan perjuangan untuk formasi identitas berlangsung. Karena pemosisian identitas kultural melibatkan perjuangan untuk piranti representasi dikarenakan masyarakat terjajah pertama-tama mengambil bahasa penjajah untuk merepresentasikan diri mereka.Â
Saat ini piranti untuk merepresentasikan identitas kultural juga mencakup bentuk seni plastis dan visual, film dan televisi, serta, secara krusial, strategi-strategi untuk mengonsumsi produk-produk tersebut. Maka dari itu, transformasi, yang mendeskripsikan cara untuk melihat identitas kultural, juga mendeskripsikan proses strategis yang dengannya identitas kultural direpresentasikan.Â
Dengan mengambil piranti representasi, masyarakat terjajah dan pascakolonial di seluruh dunia mengapropriasi dan mentransformasi proses-proses tersebut ke dalam alat-alat apropriasi kultural. Perjuangan untuk representasi inilah yang mengartikulasikan secara gamblang basis material, kekonstruktifan dan energi dialogis imajinasi pascakolonial.
Bagaimanapun juga, dalam dunia yang sudah dipenuhi oleh beragam warna dan praktik budaya modern, dari produk estetik-industrial hingga orientasi dalam menjalani kehidupan, masyarakat lokal tidak mungkin bisa kembali ke alam tradisional secara mutlak.Â
Ketenaran seni modern merupakan kondisi hegemonik yang menjadikan makna dan bentuk budaya tradisional semakin terpinggirkan. Untuk kembali ke dalam praktik pertunjukan tradisional sepenuhnya, tentu akan menimbulkan kesulitan tersendiri.Â
Oleh karena itu, mengapropriasi bentuk seni modern sebagai piranti untuk merepresentasikan identitas lokal sebagai pengikat masyarakat adalah sebuah kewajaran, meskipun hal itu juga membutuhkan perjuangan tersendiri.Â
Dengan cara transformasi-lah identitas lokal bisa terus disebarluaskan dalam bentuk-bentuk naratif maupun pertunjukan yang sudah berubah dari bentuk aslinya, meskipun tidak sepenuhnya.Â
Kemampuan para aktor dan kreator lokal untuk memosisikan identitas dalam proses apropriatif dan transformatif representasi dengan menggunakan bentuk seni modern inilah yang menjadi karakteristik utama imajinasi pascakolonial di tengah-tengah hegemoni modernitas dewasa ini.
Tentu saja, konsep-konsep di atas harus dibaca-ulang agar bisa digunakan untuk membaca pertunjukan Ritus Travesti. Berbeda dengan pemahaman Aschroft yang menyatakan bahwa para aktor lokal bisa menggunakan sastra, film, maupun televisi, Ritus Travesti tidak memindah karya kreatif mereka ke dalam bentuk seni modern untuk memosisikan identitas lokal.Â