Meimura dan para seniman pendukungnya tetap menggunakan model pertunjukan Besutan, termasuk masih menggunakan iringan gamelan ludruk. Namun mereka mengubah atau, lebih tepatnya, meringkas struktur pertunjukan dan para pelakunya.Â
Transformasi yang mereka lakukan adalah memasukkan teknik pemanggungan, teknologi, maupun wacana-wacana yang ada dalam masyarakat lokal-modern sebagai bagian dari pertunjukan mereka.Â
Artinya, mereka memang melakukan peringkasan sebagai siasat agar pertunjukan tidak terlalu lama dan fokus kepada wacana yang akan disampaikan ke publik penonton yang mayoritas kurang tahu sosok Besut.Â
Kenyataan ini sekaligus menegaskan kekuatan dan kemampuan para seniman untuk terus menegosiasikan kerakyatan mereka, meskipun sudah disesuaikan dengan kondisi zaman yang tentu saja berubah.
BESUT DAN SUMO GAMBAR DALAM RITUS TRAVESTI
Dalam bingkai transformasi, Meimura, sebagai sutradara sekaligus aktor utama Ritus Travesti, berusaha menafsir-ulang tradisi Besutan dan subjektivitas seorang Besut dalam narasi peradaban masyarakat pascakolonial. Diakui atau tidak, sudah banyak generasi muda atau generasi milleneal yang tidak mengerti sosok Besut serta kontribusinya dalam perkembangan ludruk.Â
Apalagi, susbtansi tubuh dan pikirannya yang cerdas dan liat di tengah-tengah kekuasaan. Untuk itulah, jalan transformasi estetika merupakan strategi yang disengaja. Bagaimanapun juga, sebagai aktor teater yang sudah terlibat dalam bermacam gaya pertunjukan, Meimura membaca banyak kecenderungan dramatik: dari tradisional hingga modern, dari realis hingga surealis.
Namun, ia juga tidak bisa melepaskan imajinasi, pikiran, dan orientasi estetiknya dari proses ikut mengelola kesenian ludruk Paguyuban Irama Budaya Nusantara di Surabaya. Pembacaan terhadap permasalahan, potensi, dan kemungkinan-kemungkinan untuk menerobos bermacam batasan dan keterbatasan kesenian rakyat itulah yang melahirkan Ritus Travesti.Â
Selain itu, transformasi tradisi Besutan ke dalam lakon pertunjukan teater dengan hanya 1 pelaku atau 2 pelaku mengindikasikan kesadaran fungsional moda lakon yang disesuaikan dengan kebutuhan pertunjukan keliling.
Pada awal pertunjukan, obor masih dihadirkan sebagai bagian ritual. Namun, bersama-sama sapu lidi, obor itu langsung dibawa oleh Besut yang menggelandang Sumo Gambar.Â
Besut bukan lagi ditampilkan sebagai figur yang berjalan ngesot dengan mata terpejam dan mulut mengulum sirih. Besut adalah sosok tegar dengan badan dibalut kain putih. Teknik pemunculan dan pilihan untuk mengubah penampilan fisik seorang Besut merupakan strategi estetik berdimensi kompleks.Â