Rusmini mengenakan busana tradisional Jombang; menggunakan kain jarik, kebaya, dan kerudung lepas. Man Gondo berbusana Jawa Timuran, sedangkan Sumo Gambar berbusana ala pria Madura.
Karakteristik personal yang sangat khas dari seorang Besut adalah cerdas, terbuka, perhatian, kritis, transformatif, dan nyeni. Karakteristik tersebut menegaskan keistimewaan Besut dalam struktur dan wacana pertunjukan. Bahwa sebagai representasi rakyat kebanyakan, Besut bukanlah manusia biasa, tetapi subjek ideal yang diimajinasikan memiliki kekuatan diskursif dan strategis untuk memahami permasalahan yang berlangsung dalam masyarakat.Â
Para pencipta kesenian ini menempatkan subjek cerdas itu berasal dari kalangan rakyat biasa, bukan berasal dari kelompok ningrat yang terbukti hanya memperjuangkan kepentingan mereka. Dalam suasana kolonial banyak kaum ningrat yang bekerjasama dengan penjajah.Â
Sementara, rakyat kecil adalah subjek yang selalu mengalami penderitaan, tetapi mereka tidak diam: mereka mengamati dan mengawasi tindak-tanduk penjajah, termasuk orang-orang yang sengaja bekerjasama dengan penjajah. Di sinilah kita jumpai peran diskursif dan praksis kehadiran tubuh dan pikiran Besut sebagai subjek yang menjaga kewarasan warga awam dalam suasana penindasan kolonial. Â Â
Besutan selalu diawali dengan ritual yang berfungsi sebagai pengantar. Tafsir yang berkembang, ritual melambangkan masyarakat yang hidupnya terbelenggu, terjajah, terkebiri, dibutakan, dan hanya boleh berjalan menurut apa kata penguasa (baca: penjajah). Tafsir ini tentu bisa dikritisi karena ritual bukan sesuatu yang membelenggu tetapi bagi masyarakat diposisikan sebagai doa yang akan mengawal permintaan mereka agar sampai ke Tuhan.Â
Menariknya, setiap ritual selalu dimulai dengan munculnya Pembawa Obor. Ia melangkah dengan kewaspadaan tinggi, hati-hati, dan terus mengendalikan Besut yang selalu di belakangnya. Besut yang matanya terpejam (dilarang banyak tahu), mulutnya tersumbat susur (dilarang berpendapat), berjalan ngesot mengikuti ke mana obor bergerak.Â
Besut selalu sigap menanti setiap peluang. Pada satu kesempatan, Besut meloncat berdiri, tangannya merebut pegangan obor, dan dengan sekuat tenaga, susur yang ngendon di mulutnya disemprotkan ke nyala obor hingga padam. Mendadak matanya terbuka, mulutnya bebas, langsung menari dengan heroik.Â
Penggambaran tubuh Besut yang dalam satu kesempatan seperti dikendalikan memang mendekatkan kepada makna pengawasan kolonial. Namun, makna pengawasan tersebut tidak bisa sepenuhnya mengendalikan subjek pribumi, sehingga mereka memilih untuk bersiasat dengan menampakkan ketertundukan, tetapi tetap menimbang segala kemungkinan.Â
Dan, mereka tetap mengunyah sirih di mulut sebagai bentuk kekuatan yang tidak pernah hilang sepenuhnya; setiap saat bisa dipanggil. Subjek rakyat tetap bersiaga dan setiap saat akan menggunakan kekuatan untuk merespons permasalahan dan kekuasaan yang menindas.Â